Kamis, 27 Agustus 2015

Kang Sobary: Kemerdekaan di Hati Rakyat



Kemerdekaan di Hati Rakyat
Oleh: Mohamad Sobary

Anak-anak sekolah berbaris menuju ke lapangan. Bapak guru maupun ibu guru mendampingi mereka. Anak-anak kelas satu sampai kelas enam, semua ”tumpah” di jalanan.

Jiwa mereka bergembira, terutama karena pada hari itu mereka merdeka semerdeka- merdekanya untuk tidak memikirkan pelajaran-pelajaran yang ruwet. Mereka merdeka dari matematika. Mereka merdeka dari prakarya. Mereka merdeka dari ilmu bumi. Mereka pun merdeka di lapangan yang luas itu untuk membeli es lilin, kue-kue, roti, permen, dan berbagai jenis buah-buahan.

Mereka bergembira memperingati hari kemerdekaan bangsa kita dengan sikap merdeka pula. Di sana ada upacara bendera. Kita menghormati bendera, yang sudah dikerek di ujung tertinggi tiang bendera tersebut, dengan rasa hormat disertai rasa syukur.

Bendera itu melambangkan kemerdekaan kita. Hormat pada bendera itu fungsi suatu kesadaran politik dan gambaran rasa syukur karena perjuangan kita telah sampai di titik yang paling menentukan: kita merdeka. Bagi ”kita”, anak-anak sekolah, merdeka ya merdeka.

***

Di sekolah, sesudah acara di lapangan itu selesai, masih ada deretan acara peringatan. Seorang teman, anak kelas enam yang kreatif, menyusun sebuah cerita. Kemudian cerita itu dimainkan sebagai drama perjuangan kemerdekaan. Banyak pejuang kita tertangkap dan dibunuh. Banyak pejuang kita tertembak dan gugur di medan tempur.

Banyak pula pahlawan garis depan yang tersesat dan tak pernah kembali. Ini drama kepahlawanan terbaik yang kita miliki di sekolah. Di luar dugaan, drama itu diminta untuk dimainkan lagi di kelurahan. Kita meraih sukses besar. Sukses itu diulang di kecamatan. Ada empat sekolah yang diminta mementaskan drama perjuangan, karangan anak-anak.

Pak Camat menikmati pertunjukan drama itu. Pada hari keempat, sesudah sekolah kami tampil dengan rasa cemas, apakah kami bisa meraih nomor satu, ada kejutan besar. Pak Camat membacakan pengumuman dengan pelan-pelan, sengaja membuat hati anakanak merasa makin cemas. Suara Pak Camat terdengar lebih pelan lagi ketika menyebut juara satu.

Tapi, biarpun suara itu begitu pelan, kami mendengar, juara satu itu sekolah kami. Ini tahun pertama sekolah kami menjadi juara. Ini hasil kerja beberapa anak kreatif. Keesokan harinya, di kelurahan, ada acara meriah: panjat pinang. Di pucuk pohon pinang yang dibuat licin itu ada hadiah besar: ada kambing, ada ayam jago, ada jam tembok seharga lima ratus ribu, ada sarung, ada mi instan.

Warga masyarakat berlomba meraih hadiah itu. Mungkin bukan hadiah itu sendiri yang menarik. Lombanya, yang sebentar- sebentar menimbulkan gelak tawa meriah, mungkin lebih menarik. Sukar memanjat pohon pinang yang dibuat licin itu. Orang dewasa yang mencobanya selalu gagal. Bapak-bapak gendut yang kesulitan merangkul pohon pinang karena terganjal perutnya menjadi bahan tertawaan yang menyegarkan.

Kelihatannya, inilah makna merdeka di mata rakyat di kampung- kampung. Mereka menganggap merdeka terletak di dalam acara yang mereka buat. Mereka menikmati kemerdekaan untuk dengan susah payah meraih hadiah di pucuk pohon pinang yang tak mudah diraih itu. Kita memasang bendera merah putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di puncak pohon besar, di atas bukit yang mencolok mata.

Juga di pohon munggur dipinggir- pinggir jalan. Ini semua merupakan tanda bahwa secara politik kita sudah menjadi bangsa merdeka sejak 70 tahun yang lalu. Rakyat, di kampungkampung, menyadari kemerdekaan kita sebagai kemerdekaan. Merdeka ya merdeka. Selesai. Belanda sudah kita usir sampai hidup mereka begitu kocarkacir dan penuh ketakutan ketika Jepang mulai menginjakkan kaki di Tanah Air kita ini.

Jepang itu juga sudah kita tendang jauhjauh. Penguasa asing, bangsa kate, yang berkuasa setahun jagung menurut penuturan pujangga Jawa, Prabu Jayabaya, sudah berakhir. Jadi sekali lagi, suasana jiwa rakyat di kampungkampung, memang merdeka. Bagi mereka, merdeka ya merdeka. Selesai.

Di daerah-daerah di mana pergolakan politik mengalami titik kulminasinya yang tinggi, di mana korban bergelimpangan, dan ketakutan begitu mencekam, semua lenyap begitu kita menginjakkan kaki di halaman pertama sejarah Republik kita. Saat itu menjadi bangsa merdeka artinya ketakutan hilang, kecemasan lenyap. Kekhawatiran berubah menjadi optimisme.

Kemerdekaan itu hak segala bangsa. Juga, hak kita. Mengapa tidak. Penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Itu jelas sekali karena penjajah itu kejam, dan mereka tak menghargai kemanusiaan dan keadilan. Para pahlawan kita, gerilyawan yang gagah berani menyergap konvoi tentara musuh, kita kenang sebagai tokoh-tokoh berambut panjang, karena di daerah pertahanan kita, di luar daerah pendudukan, mencukur rambut merupakan persoalan yang sulit.

Ada gerilyawan yang bersumpah tak bakal mencukur rambut sebelum kita merdeka. Ini sumpah kepahlawanan yang kita anggap suci, sesuci sumpah Resi Bisma untuk tidak menikah sepanjang masa hidupnya.

***

Kaya-miskin sama saja di dalam kaca mata politik: dua-duanya warga negara. Kaum terpelajar dan bukan golongan terpelajar, atau mereka yang terdidik dan mereka yang tak terdidik, statusnya sama: mereka semua warga negara. Kita warga negara Indonesia. Kita bangsa Indonesia. Kita sama-sama memiliki negeri ini. Indonesia milik kita.

Bangsa Indonesia itu suatu kesatuan demografis, sekaligus kesatuan politis, yang membuat kita merasa ada keterikatan, ada kesamaan status dan cita-cita tentang hidup yang kita anggap ideal. Apa yang kita anggap ideal? Kaya - miskin tak mungkin dihapuskan. Tapi, jarak yang kaya dari yang miskin sebaiknya jangan terlalu jauh.

Kenikmatan hidup yang kaya, jangan terlalu mencolok dibandingkan dengan apa yang bisa diraih yang miskin. Terdidik-bukan terdidik, terpelajar- bukan terpelajar, yang pandai dan yang bodoh, jaraknya jangan terlalu jauh, bedanya jangan terlalu mencolok. Bangsa merdeka, juga kita, punya cita-cita politik yang luhur: meraih kehidupan yang adil, dan makmur, bagi kita semua, tanpa kecuali.

Kalau sudah makmur, kita harus membikin kemakmuran itu merata. Kita menciptakan keadilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukankah itu keadilan bagi kita semua? Rakyat miskin tidak iri pada yang kaya, tapi jarak kaya-miskin jangan terlalu mencolok. Rakyat yang kurang pendidikan tak merasa iri pada mereka yang terdidik, tapi jarak kedua kelompok itu jangan terlalu jauh. Acara panjat pinang sudah berakhir.

Tak satu pun orang yang memenangkannya. Hadiahnya, akhirnya dijual pada warga yang mau membelinya. Uangnya dipakai untuk memeriahkan acara pada malam besoknya. Semua warga, malam itu, dianggap pemenang. Hadiah pun, yang diwujudkan dalam bentuk makanan, dinikmati bersama.

Pak Camat berpidato singkat: ”Kita merdeka secara dewasa. Kita dewasa menyikapi kemerdekaan kita.” Inilah merdeka di kampung. Ini kemerdekaan di hati rakyat. []

Koran SINDO, 25 Agustus 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar