Senin, 31 Agustus 2015

Ulil: Dialog, Bukan Konfrontasi



Dialog, Bukan Konfrontasi
Oleh: Ulil Abshar Abdalla

Banyak hal yang perlu disesalkan setelah terjadinya Selasa Kelabu, atau tragedi 11 September yang memakan korban dua gedung kembar WTC di New York dan gedung Pentagon. Hal pertama yang patut disesalkan adalah bangkitnya kembali “naluri-naluri” lama yang meresap dalam bawah sadar orang-orang Barat pada umumnya, yaitu adanya semacam prasangka buruk terhadap dunia Islam.

Seperti yang ditulis oleh Edward Said, seorang Kristen Palestina yang sekarang tinggal di New York, dalam bukunya yang sudah klasik, Covering Islam, bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat “mengumumkan” (gerenralizing) mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat nuansa-nuansa yang lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.

Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan. Prasangka itu ibarat sebuah virus yang kadang-kadang tidur, tetapi tidak pernah benar-benar mati. Setiap suatu peristiwa tragis terjadi di dunia Islam, atau di dunia Barat yang ada sangktu pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan muncul kembali.

Seorang anggota National Security Council, Peter Rodman, menulis di National Review pada tanggal 11 Mei 1992 begini, “Yet now the West finds itself challeged from the outdside by a militant, atavistic force driven by hatred of all Western political thought, harking back to age-old grievances against Christendom”.

Lihatlah, tulisan dengan nada yang hampir serupa tiba-tiba muncul kembali dalam sebuah berita di harian The New York Times tanggal 16 September 2001, seperti berikut ini, “The airborne assault on the World Trade Center and the Pentagon is the culmination of a decade-long holy war against the United States that is escalating methodically in ambition, planning and execution.”

Kata “Christendom” dan “holy war” digunakan dalam dua tulisan itu seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama dunia Islam. Sudah tentu harus diberi catatan di sini bahwa kata “crusade” atau “holy war” kerapkali digunakan oleh para penulis Barat dalam pengertiannya yang umum, tanpa ada muatan keagamaan di dalamnya.

Ketika kontroversi soal aborsi pecah di Amerika beberapa tahun silam, misalnya, tak jarang orang-orang yang pro terhadap aborsi digambarkan sebagai pihak yang melakukan “crusade” atau perang salib melawan kehidupan sang janin.

Judul sebuah buku tulisan Charles A. Scontras tentang penggunaan anak-anak sebagai buruh adalah contoh menarik, In the Name of Humanity: Maine’s Crusade Against Child Labor. Tentu kata “crusade” di situ tak ada sangkut pautnya dengan perang salib abad pertengahan antara orang-rang Islam dan Kristen.

Hal yang sama juga terjadi pada pihak Islam. Seperti kita tahu, begitu rencana pemerintah Amerika Serikat untuk mengadakan serangan balasan kepada Afghanistan diumumkan oleh Presiden Bush, reaksi yang muncul dari kalangan (sebagian) umat Islam adalah seruan “Jihad” melawan Amerika Serikat.

Bahkan dalam kadar yang lebih buruk lagi, ada kelompok-kelompok yang ingin melakukan “penyisiran” atas orang-orang asing, terutama warga Amerika Serikat, di Indonesia. Beberapa kelompok Islam menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi suatu konfontasi total antar dunia Islam dan dunia Barat alias Kristen. Teori (?) “benturan peradaban” yang pernah dikemukakan oleh Samuel Huntington tiba-tiba menjadi kutipan di mana-mana.

Padahal, seperti kita tahu, kesan semacam itu jelas tak benar. Usaha untuk membangun jembatan dialog antar-peradaban bukan berarti tidak ada. Bahkan, “dialog antar-peradaban”-lah yang lebih sering terjadi ketimbang “benturan peradaban”.

Tak terhitung jumlahnya para pelajar dari dunia Muslim yang pergi setiap tahunnya ke negeri-negeri Barat, entah di Eropa, Amerika atau Australia, untuk menimba ilmu-ilmu “sekular” di negara-negara itu. Bahkan harus diakui bahwa banyak di antara orang-orang yang begitu keras melakukan “serangan” atas Barat, adalah didikan unversitas-universitas di negeri-negeri itu.

Juga tak terhitung jumlahnya para sarjana Barat yang setiap tahun melakukan perjalanan “intelektual” ke negeri-negeri Islam. Usaha untuk menampilkan Islam dalam pelbagai wajah dan seginya juga dilakukan oleh para sarjana, wartawan, dan kalangan lain.

Kita masih ingat usaha yang dilakukan oleh Presiden Iran, Ali Khamenei, untuk mengampanyekan dialog antar peradaban, sebagai suatu usaha untuk membuktikan bahwa “benturan” bukanlah jalan satu-satunya yang mungkin. Lepas dari sejumlah prasangka buruk yang masih mengendap dalam bawah sadar media Barat terhadap dunia Islam, seperti dengan baik diulas dengan kritis oleh Edward W. Said dalam bukunya Covering Islam itu, tetapi tak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah “niat baik” sarjana Barat untuk memahami dunia Islam dengan cukup baik.

Saya kira buku History of God tulisan seorang mantan biarawati, Karen Arsmtrong, yang menjadi bacaan laris di negeri-negeri Barat, adalah salah satu contoh baik. Buku-buku populer yang ditulis oleh seorang antropolog Amerika bernama Elisabeth Warnock Fernea adalah contoh lain. Fernea telah menulis buku yang cukup laris mengenai masyarakat Irak, dengan tajuk Guest of the Sheik.

Dia juga menulis dua buku lain yang cukup enak dinikmati oleh pembaca awam, Street in Marrakech dan In Search of Islamic Feminism. Bersama suaminya yang juga seorang antropolog, Robert A. Fernea, dia menulis sebuah kesaksian tentang hidup “dalam” masyarakat Islam di Timur Tengah, The Arab World: Personal Encounters.

Nama yang sangat dikenal tetapi juga sering disalahpahami di dunia Islam adalah John L. Esposito yang menulis empat jilid The Oxford Ecyclopaedia of the Modern Islamic World, sebuah buku sumber yang cukup penting baik bagi sarjana Muslim atau Barat umumnya.

Bersama sejumlah intelektual lain di Georgetown University, Esposito mendirikan sebuah pusat pengembangan “saling pengertian” antara Islam dan Kristen, yakni Center for Muslim-Christian Understanding. Di pusat ini, berkumpul sejumlah sarjana yang sangat dikenal di kalangan peminat kajian Islam di Indonesia, seperti John O. Voll, Yvonne Yazbeck Haddad, dan seorang cendekiawan negeri jiran Malaysia, Osman Bakar.

Harap diketahui, bahwa Georgetown University adalah perguruan tinggi yang didirikan oleh gereja Katolik di Washington, DC. Pendirian suatu pusat saling pengertian antara Islam dan Kristen di perguruan tinggi milik gereja Katolik adalah suatu contoh yang menarik, sebab hal ini memperlihatkan bahwa dialog antara kedua agama itu adalah hal yang mungkin, bahkan “sudah semestinya”.

Yang menarik adalah bahwa sejak musim semi tahun 1999, Georgetown University telah mengangkat seorang “chaplain” penuh untuk mahasiswa Muslim di universitas tersebut. “Chaplain” adalah kedudukan yang menyerupai seorang “imam”. Posisi ini dijabat oleh seorang ulama asal Yordania, Imam Yahya Hendi.

Sudah tentu bukan berarti tidak ada masalah dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat sendiri terhadap dunia Islam. Suatu paradoks yang sering mengganggu akal sehat orang banyak adalah kampanye besar-besaran Amerika Serikat untuk menyebarkan ide tentang demokrasi dan hak asasi, tetapi memberikan dukungan yang sepertinya tanpa cadangan terhadap Kerajaan Saudi Arabia yang banyak melakukan pelanggaran hak-hak sipil di dalam negeri.

Kebijakan Amerika menyangkut Palestina yang dianggap berat sebelah dan mendiskiminasikan warga Palestina jelas menjadi asal muasal kejengkelan dan kebencian terhadap pemerintah Amerika di kawasan Arab. Namun, mencampuradukkan antara pemerintah Amerika dengan warga negara Amerika adalah tindakan yang ceroboh.

Tidak semua warga Amerika setuju terhadap kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahnya, sehingga amat tidak masuk akal tindakan “penyisiran” atas warga Amerika di Indonesia. Penyisiran semacam itu mengandaikan bahwa ada kesebangunan antara pendapat pemerintah dan warganya, padahal dalam kenyataannya sama sekali tidak.

Keadaan setelah terjadinya tragedi gedung WTC dan Pentagon juga patut disesalkan, karena seolah-olah jalan dialog antar peradaban adalah suatu hal yang sulit ditempuh. Seolah-olah timbul kesan bahwa antara dunia “Barat” dan “Islam” terdapat jurang menganga yang susah untuk dijembatani.

Orang-orang yang percaya bahwa dunia terbentuk oleh dua blok besar yang saling bermusuhan, blok “kebaikan” dan blok “kejahatan”, sangat diuntungkan oleh keadaan semacam ini. Pandangan yang hitam-putih menjadi mudah dipeluk, sebab pandangan semacam inilah yang paling sederhana untuk dicerap oleh pikiran yang tidak kritis.

Sesuatu yang kerapkali dilupakan oleh banyak orang adalah bahwa apa yang disebut sebagai “Barat” dan “Islam” tidak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Barat? Barat dari sebelah mana. Dalam pengertian yang populer, Barat kerapkali diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Jelas, ada perbedaam yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua itu.

Barat juga sering disamakan dengan Amerika (Serikat). Seperti kita tahu, Amerika adalah negeri kontinental yang terdiri dari berbagai negara bagian, dengan masyarakat yang begitu beragam pandangan-pandangannya. Kecenderungan yang menonjol dalam masyarakat Amerika adalah adanya semangat “anti-negara” yang begitu kuat, karena warisan sejarah di negeri Eropa di mana negara adalah identik dengan kekuasaan imperial yang menindas dan disokong oleh gereja (Katolik).

Etos “anti-negara” inilah yang menjelaskan kuatnya semangat federalisme di negeri itu, dan kejengkelan pada segala hal yang “memusat”. Itulah sebabnya, negeri Amerika yang begitu “imperial” sebetulnya tidak disertai dengan kesadaran warga negaranya yang “imperial”. Orang-orang Amerika, dalam kesan saya, sangat “cuek” pada hal-hal yang menyangkut kebijakan luar negeri pemerintahnya.
Hal yang hendak ditunjukkan dengan penjelasan ini adalah bahwa jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Barat sebagai sesuatu yang jelas dan tunggal; jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Amerika sebagai identik dengan pemerintahnya; jelas tidak tepat mengandaikan masyarakat Amerika sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya.

Hal yang sama juga terjadi pada Islam. Apa yang sering diteriakkan sebagai “Islam” dengan tanda pentung besar sebetulnya tidaklah sejelas yang dikira banyak orang. Sebab, pada akhirnya, pengertian mengenai Islam adalah pengertian kemasyarakatan. Maksudnya: Islam toh wujudnya adalah orang-orang yang hidup dalam sejarah yang kongkret. Pada tataran itu, Islam sebetulnya tidak berwajah satu dan seragam.

Dilihat dari segi manapun, mustahil mengatakan tentang konfrontasi antara “Barat” dan “Islam”. Islam yang mana? Seperti kita ketahui, pandangan-pandangan umat Islam mengenai tragedi WTC dan Pentagon sangatlah beragam. Jika kita mengandaikan bahwa dengan tragedi itu dunia Islam telah “mengobarkan jihad” versus Amerika, seperti yang kerapkali diucapkan oleh par juru khotbah, Islam mana yang dimaksudkan di sana?

Kesalahpahaman lain juga kerapkali muncul, yaitu mengucapkan dalam satu tarikan nafas Rakyat Afghanistan-Pemerintah Taliban-Negara Afghanistan-Islam. Karena mayoritas masyarakat Afghan adalah Muslim, dan diperintah oleh pemerintahan Taliban yang “seolah-olah” secara lahiriah menegakkan syariat Islam, maka serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan adalah serangan terhadap Islam.

Rencana Amerika Serikat untuk menyerang Aghanistan jelas tindakan yang harus ditentang. Tetapi menyamakan serangan itu seolah-olah sebagai serangan atas Islam, jelas tindakan yang ceroboh. Simpati yang mendalam jelas patut diberikan kepada rakyat Afghanistan yang telah menderita karena konflik-konflik internal menjelang invasi Uni Soviet ke negeri itu pada tahun 1979, karena invasi itu sendiri, karena perang saudara yang terus berkobar setelah invasi itu berakhir, juga karena kebijakan represif pemerintahan Taliban yang memberangus hak-hak sipil warganya.

Kebijakan pemerintahan Taliban yang membawa akibat tragis buat kaum perempuan di negeri itu jelas sesuatu yang tak bisa dikatakan “Islami”. Yang hendak mengetahui secara persis bagaimana “jahatnya’ pemerintahan Taliban terhadap kaum perempuan, bisa menengok situs berikut ini www.rawa.org.

Amat disesalkan jika para penguasa Taliban yang karena berjubah dan berjenggot itu serta merta dianggap dari ‘luar’ Afghanistan sebagai wakil dari dunia Islam, sementara perlakuan pemerintahan itu terhadap warganya sangat berlawanan dengan nilai-nilai profetis Islam sendiri.

Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.

Jalan ini hanya akan menguntungkan oran-orang dengan pandangan yang konservatif dan ekstrim dalam agama manapun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elit agama manapun yang hendak memanipulasi ignoransi umatnya untuk kepentingan yang sempit dan cupet. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar