Rabu, 05 Agustus 2015

Kang Sobary: Mudik dari Lebaran ke Lebaran



Mudik dari Lebaran ke Lebaran
Oleh: Mohamad Sobary

Tiap saat, dalam hidup yang serba resah dan terburu-buru, kita heran, bulan Ramadan tiba-tiba sudah datang lagi.

Dan bulan yang usianya hanya tiga puluh hari itu pada minggu kedua sudah mengingatkan: dua minggu lagi harus mudik. Cukup tak cukup ongkos, mudik tak bisa ditunda. Lebaran itu sebuah kepastian. Keramaian mudik itulah yang kita lihat sejak beberapa hari sebelum Lebaran dan beberapa hari setelahnya. Puncaknya puncak acara dimulai pada malam takbiran.

Malam itu segenap kegembiraan, rasa syukur, kelegaan, dan suasana hati yang penuh kemenangan, menguasai jiwa kita. ”Allaahu Akbar. Allaahu akbar. Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu Allaahu akbar ” Takbir sambung menyambung.

Ketika ungkapan memuji kebesaran Allah, dengan segenap keistimewaan-Nya berakhir, orang memulai lagi dari awal, dan hingga akhir, untuk dimulai lagi dari awal, tak hentihentinya seperti air mengalir dari puncak gunung menuju ke lembah-lembah yang menantikan aliran itu. Malam penuh kegembiraan.

Di tengah banyak warga kampung yang memenuhi masjid, terdengar juga suara tangis anak-anak. Ada pula jerit bocahbocah balita yang ikut bergembira. Tangis dan jerit yang merusak kekhusyukan orang-orang dewasa yang bertakbir, tidak dianggap merusak. Anak-anak ya anak-anak. Jarak antara gembira dan tangis bagi mereka dekat sekali.

Mungkin gembira dan tangis itu bagi mereka satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jerit kemarahan dan teriak kebosanan pun silih berganti. Tapi orangorang tua, yang merasa dulu juga pernah menjadi anakanak, tidak ada yang marah. Dengan penuh kasih dari orang yang sudah penuh dengan sikap bijaksana, suara-suara itu diterima dengan lapang dada.

Seribu tahun tak lama. Bahkan, demi kejelasan ukuran yang lebih khusus, seribu tahun itu dianggap hanya sekejap saja. Lebaran tahun lalu itu seperti baru kemarin pagi. Dan tiba-tiba sekarang sudah Lebaran lagi. Di masjid ada hidangan. Pada tengah malam, ketika semua sudah merasa capek, tapi entah mengapa anak-anak juga belum ada yang tertidur, hidangan itu dibagikan.

Masjid tiba-tiba senyap. Semua memasuki wilayah kekhusyukan yang lain: khusyuk menikmati hidangan malam lebaran. Hidangan itu dimasak kaum ibu selama berjam-jam sambil tetap berpuasa. Mereka masak sambil berdiri dan harus mondar- mandir ke sana ke mari di dapur umum yang dibuat dadakan. Ibu-ibu pula yang berbelanja setelah dana takbiran yang dihimpun dari para jamaah, terutama dari para warga kampung yang baru mudik dari kota-kota besar yang jauh.

Dana selalu cukup. Ibu-ibu harus dianggap seniman sejati dalam menciptakan dana yang terbatas untuk diubah menjadi hasil belanja di pasar yang serbacukup. Kemudian, ketika dimasak dan diatur dengan baikdan kelihatan anggun-jangan salah, ini ciptaan kaum ibu pula.

Kaum laki-laki yang mengerti cara mengapresiasi hasil kerja kaum ibu menyatakan, masakan mereka sedap, sambal goreng hatinya sangat pas rasanya, gurih dan pedasnya terkombinasi dengan tepat. Dan, kaum ibu pun bersyukur karena hasil kerjanya membahagiakan pihak lain. ”Seribu tahun tak lama”, kata sebuah lagi.

Setahun apa lagi. Memang. Lebaran membawa kelelahan finansial, tetapi membahagiakan jiwa kita. Para migran dari Jakarta yang pulang kampung pada malam takbiran itu tak merasakan kelelahan itu. Di malam takbiran yang ada hanya kegembiraan. Dalam acara salat Id di lapangan, dan salaman untuk saling memaafkan, kegembiraan memuncak lagi.

Suasana jiwa seperti disulap. Kesadaran kritis melemah. Alam penuh suka cita, yang sama sekali tidak kritis, menjadi raja. Hidup kaum migran, yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta, juga di kota-kota lain, pada malam itu hadir di masjid. Semua berhimpun di tengah komunitas kaum beriman, kaum muslimin dan muslimat, yang cerah, gembira, suka cita.

Mungkin inilah kenyataan tentang hidup mereka: dunia kaum migran berputar dari lebaran ke lebaran berikutnya. Atau dari mudik yang berkeringat, penuh risiko, penuh beban finansial, ke mudik tahun berikutnya, dengan segenap beban dan tanggung jawab yang mungkin bahkan makin meningkat.

Biaya tahunan bukan makin menurun tapi meningkat, bukan makin ringan tapi makin berat dan makin berat. Dilihat dari segi ini tampaknya bagi mereka, hidup itu sebuah ritus perjalanan mudik tahunan. Rutenya jelas: Jakarta- kampung, balik lagi ke Jakarta, kemudian mudik lagi, ke kampung lagi. Lingkaran hidup yang mereka tempuh tak memiliki ujung tak memiliki pangkal.

Mereka terjebak di dalamnya. Jalan keluar mungkin tak pernah ditemukan. Tapi, mungkin mereka berbahagia. Ini suatu suasana psikologi politik dan keagamaan yang teraduk-aduk menjadi satu, dan tak memberi kaum migran suatu pilihan. Suasana psikologi politik keagamaan itu tak pernah memberi mereka kebebasan.

Yang terjadi sebaliknya: lilitannya makin kuat, makin menghimpit. Kita tak pernah tahu mengapa kebahagiaan bisa ditemukan di tengah suasana kejiwaan dan politik seperti itu. Pertempuran melelahkan di kota-kota, ketertindasan ekonomi yang tak pernah melonggarkan lilitannya mungkin tak lagi tertahan, kalau yang dinamakan mudik lebaran, suatu momentum pembebasan, tak pernah ada.

Apakah Lebaran yang berputar dalam sumbu perputaran tahunan yang terasa sangat cepat dan tiap saat selalu mengejutkan itu justru menjadi obat paling pahit yang menyehatkan? Apakah mudik Lebaran lalu berarti kembali kesumber air bersih, dan mereka meminumnya sepuas hati demi meraih apa yang disebut bahagia tadi? Para migran sendiri mungkin tak tahu pula apa jawabnya.

Dan, mungkin mereka tak pernah pula untuk tahu. Perkara tahu itu mungkin tak penting. Bagi mereka, yang penting merasakan atau mengalami sendiri apa yang harus dialami. Para migran bukan sosiolog, dan juga bukan antropolog yang pandai membuat suatu analisis. Hidup, bagi mereka, bukan untuk dianalisis, tetapi untuk dirasakan, untuk dijalani, untuk dialami sendiri, tanpa meminjam perasaan orang lain.

Mengalami sendiri, merasakan sendiri itu wujud hidup yang autentik. Para analis di media boleh mengatakan apa saja. Bagi mereka, mudik dari Lebaran ke Lebaran itu sebuah ritus tahunan yang ruwet. Tapi, mereka berbahagia. []

Koran SINDO, 24 Juli 2015 − 08:43 WIB
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar