Haji Abdul Karim dan
Perlawanan Kaum Tarekat
Dalam sejarah
Indonesia, tercatat bahwa pada abad ke-19 terjadi sekitar 400 kali perlawanan
melawan Belanda yang kebanyakan dipimpin oleh ulama-ulama tarekat. Diantaranya
yang cukup besar yakni di Cilegon tahun 1888 yang dipimpin KH Wasith, H Marjuki
dan KH Tubagus Ismail, keduanya adalah murid Syaikh Abdul Karim dan Syeikh
Nawawi Al-Bantani, mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah (TQN).
Haji Abdul Karim
adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya
mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian
Kiai ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872.
Haji Abdul Karim
mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak
murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala
di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar
pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula
sebagai “Kiyai Agung”.
Dalam pada itu,
antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer
ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak.
Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak
ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat.
Rakyat Banten semakin
menderita akibat ulah Pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan kebijakan Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel). Kebijakan itu membuat rakyat menderita, terjadi
kemelaratan di daerah Banten, seperti yang tergambar dalam sebuah kisah Saijah
dan Adinda dalam buku Max Havelaar karya Douwes Dekker (Multatuli).
Rakyat akhirnya marah
dan berusaha untuk melakukan perlawanan. Hendri F Isnaeni dalam bukunya Doktrin
Agama Syekh Abd Karim Al-Bantani Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888,
menggambarkan semangat perlawanan rakyat ketika itu yang juga diperkuat oleh
kebencian religius mereka terhadap kekuasaan orang-orang kafir Belanda.
9 Juli 1988, rakyat
yang dipmipin ulama menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Serangan itu membuat
mereka untuk sementara dapat mengalahkan Belanda dan dapat menguasai Cilegon.
Namun bantuan serdadu Belanda yang dikirim beberapa waktu sesudahnya mampu memadamkan
perlawanan rakyat ini.
Para tokohnya, Haji
Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya
dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris
dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad
Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya
dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan
pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Pada akhirnya,
meskipun mereka kalah secara fisik, terbukti semangat dan ketokohan para ulama
mampu menggerakkan semangat rakyat untuk melawan penjajahan. Meskipun pada masa
perjuangan mereka, belum tercapai kemerdekaan yang diinginkan. Namun, oleh
murid-murid Syaikh Nawawi saat dia di Mekah, yakni generasi KH Hasyim Asy’ari,
KH Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya, cita-cita kemerdekaan itu akhirnya
dapat tercapai. []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar