Kamis, 20 Agustus 2015

Adhie: Merdeka di Tanah Jawa



Merdeka di Tanah Jawa
Minggu, 16 Agustus 2015 , 11:17:00 WIB
Oleh: Adhie M. Massardi

AGUSTUS adalah bulan kemerdekaan. Bulan kemerdekaan bagi orang Jawa untuk mempertanyakan arti kemerdekaan. Sebab hanya orang (di) Jawa yang merdeka yang boleh bertanya: "Apakah kita sudah merdeka?"

Kalau pertanyaan yang sama dilontarkan saudara kita di Aceh atau Papua, Kalimantan atau Sumatera, Sulawesi, NTB atau NTT, persoalannya jadi lain. Para penanyanya bisa dikategorikan sebagai kelompok separatis. Dianggap mau memisahkan diri dari NKRI.

Kalau mengingat soal ini, Bang A'at bahagia jadi orang Jawa dan tinggal di (pulau) Jawa, terutama di bulan Agustus. Makanya, sejak 10 Agustus Bang A'at sudah pasang pita "merah-putih" di antena radio taksinya. Apalagi oleh Pak RT ia diminta mimpin kontingen kampung untuk mengikuti berbagai lomba "17-an" di kelurahan.

Tahun ini untuk kelima kalinya Bang A'at terlibat langsung dalam acara "17-an". Dia menjadi langganan kepanitiaan "17-an" gara-gara dalam sebuah acara kongkow di warung ujung gang bersama Pak RT, Bang A'at bicara sejarah dan arti kemerdekaan yang pernah ia dengar dari kiai di kampungnya, dan dari orang-orang pergerakan yang pernah naik taksi yang dikemudikannya.

"Kenapa hari kemerdekaan dipilih tanggal 17 dan bukan 18 atau 28?" tanya Bang A'at waktu itu.

Tentu saja para peserta kongkow tidak ada yang bisa menjawab.

"Biar acara peringatan HUT Kemerdekaan RI bisa disebut 17-an," kata Bang A'at. Jawaban ini mengundang senyum beberapa peserta kongkow. Bukan karena lucunya, tapi ini kan teka-teki anak SD yang jadi tren di kalangan para pelawak pemula.

Merasa kurang mendapat respons positif, Bang A'at melanjutkan sambil bawa-bawa nama kiai. Mungkin biar agak berbobot. Katanya, "17-an" itu menurut kiai di kampungnya, dibacanya harus dieja begini: "satu-tujuh-an" alias "satu tujuan". Jadi bukan "tujuhbelasan".

"Satu tujuan itu: negara makmur yang berkeadilan dan keadilan yang berkemakmuran. Jadi para pendiri bangsa ini tidak asal ambil tanggal, ada pesan-pesan tersembunyi di balik semua itu," jelas Bang A'at.

Sudah puluhan tahun Pak RT dan warga merayakan "17-an", tapi baru sekarang tahu cara membacanya. Tapi belum kelar kagumnya pada Bang A'at, sopir taksi kita ini melanjutkan ceramah kemerdekaannya. Kali ini soal kenapa lomba "panjat pinang" selalu menjadi primadona dalam setiap acara "17-an".

"Lomba panjat pinang yang licin itu," kata Bang A'at, "hanya bisa dimenangkan dalam kebersamaan, dan bukan perorangan. Maknanya, ya persatuan".

Tapi dalam perkembangannya, Bang A’at melihat filosofi panjat (pohon) pinang "bersatu untuk meraih kemenangan" itu dibelokkan ke arah yang salah. Dijerumuskan dalam kancah demokrasi politik pemilihan umum (pemilu). Baik dalam pemilu legislatif maupun eksekutif: bupati, walikota, gubernur hingga presiden.

Bang A’at melihat para pemenang kontestasi politik pemilu legislatif, pemilu kepala daerah serta pilpres itu kelakuannya mirip pemenang lomba panjat pinang. Mereka mengambil semua harta kekayaan milik negara yang bisa diraih dari puncak kekuasaan, seolah-olah itu hadiah acara "17-an".

Kalau toh berbagi, yang mendapat bagian hanyalah kelompok mereka sendiri. Persis seperti kelompok peserta lomba panjat pinang berbagi hadiah yang bergelantungan di atas pohon pinang itu, yang berhasil diraih salah satu di antara mereka yang didorong ke atas untuk memenangi kontestasi panjat pohon kekuasaan itu.

Lalu rakyat?

Rakyat mereka anggap sekedar penggembira, tukang sorak sambil mengibar-ngibarkan bendera merah-putih kecil dari kertas minyak. Kelak, lima tahun lagi, rakyat itu dikumpulkan di lapangan yang sama, untuk disapa.

Sejak "ceramah kemerdekaan" itulah Bang A'at setiap Agustus ditunjuk Pak RT jadi pemimpin kontingen. Khususnya untuk lomba panjat pinang. Sementara inti ceramahnya soal kebersamaan untuk mencapai satu tujuan tak pernah ada yang paham dan ingin memahami.
Yang menarik, seperti sering diberitakan di media massa, kebersamaan untuk menuju "kemakmuran" itu justru makin terjalin di kalangan polisi, jaksa, hakim, politisi di legislatif dan eksekutif serta para pembesar partai politik.

Memang mereka itulah penikmat kemerdekaan sejati. Weh! [***]

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar