Kontekstualisasi Al-Qur'an dalam Era Tinggal Landas
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
Al-Qur'an yang telah diwahyukan dan diturunkan Allah Swt kepada RasulNya yang terakhir, ayat demi ayat selama 23 tahun, mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan kitab-kitab samawiyah lain sebelumnya. Ciri-ciri itu antara lain al-Mu'jiz, artinya mempunyai kekuatan melemahkan. Dari segi nilai sastra dan gramatikanya yang tinggi, sastrawan mana pun tidak mampu menandinginya, meski pada waktu itu banyak yang mencoba membuat al-Qur'an buatan. Ciri lain ialah, membaca al-Qur'an saja tanpa memahami arti dan maknanya, dihitung sebagai ibadah.
Al-Qur'an yang merupakan sumber utama dan pertama bagi ajaran
Islam, pada dasarnya mengajak semua manusia agar mau menghambakan dan
mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dengan aqidah dan syari'atNya, serta
berakhlak mulia baik bagi Allah mau pun dalam pergaulan hidup dengan sesama
manusia dan makhluk lain. Sebagai dasar orientasi hidup manusia, al-Qur'an
mengacu ke arah tumbuhnya inspirasi yang terefleksikan dalam sifat, sikap dan
perilaku yang inheren pada eksistensi dan proses hidup manusia sebagai titah.
yang akrom.
Pada masa pembangunan, kontekstualisasi al-Qur'an menjadi penting.
Pembangunan manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, merupakan proses interaksi dari
serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia,
dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, politik dan utamanya
aspek agama. Potensi, profesi dan berbagai wawasan keagamaan dan sosial tertata
dalam suatu sistem dan mekanisme yang terarah.
Kualitas manusia yang menyangkut berbagai aspek, dikelola dengan
dukungan sumber daya manusia sendiri dan kekuatan dari luar dirinya. Dalam hal
ini al-Qur'an sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah,
syari'ah dan akhlaq karimah.
***
Manusia (bani Adam) oleh Allah SWT dalam al-Qur'an disebut
mempunyai karamah (kemuliaan) dan kehormatan di atas semua makhluk lainnya.
Nilai lebih ini bermakna sebagai titik pembeda dan makhluk lain, tentu saja
dengan konsekuensi yang berat, bahkan teramat berat. Karena, pada diri manusia
terdapat nafsu yang tidak selamanya bisa diajak kompromi untuk melestarikan
karamah tersebut.
Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada kediriannya
dan sering membuat manusia kehilangan nilai karamahnya. Salah satu aspek dari
kekaramahan itu adalah kemampuan fisik dan rasio. Kemampuan inilah yang pada
dasarnya akan menumbuhkan sumber daya manusia, sekaligus memacu ke arah
pencapaian kualitasnya, manakala dibarengi kemauan berikhtiyar.
Namun di sisi lain—meskipun memiliki nilai karamah—manusia oleh
al-Qur'an disebut 'abdu. 'Abdu yang berarti hamba, menuntut tanggung jawab yang
melekat pada diri manusia. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, manusia
mukallaf diberi berbagai taklif (tanggung jawab) yang harus dilaksanakan
menurut ketentuan dan kemampuan berikhtiyar.
Sejauh mana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu ia
mempertahankan nilai karamahnya. Sejauh mana manusia menghambakan dirinya
terhadap Allah SWT, sejauh itu pula manusia melaksanakan tanggung jawabnya
sebagai 'abdu. Ini berarti, manusia di dalam hidup dan kehidupannya selalu
harus beribadah kepada Allah, karena Allah tidak menciptakan jin dan mausia
kecuali untuk beribadah kepadaNya.
Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, namun ia diberi
kedudukan sebagai khalifah Allah dengan berbagai tingkat dan derajatnya, satu
di atas yang lain, dalam hubungannya secara vertikal dengan Allah mau pun
hubungan horisontal antar sesama manusia dan alam lingkungan. Khalifah sebagai
pengganti, diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya.
Namun wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus diemban.
Tugas itu dalam al-Qur an disebut 'imaratul ardli, di samping 'ibadatullah.
Allah menciptakan manusia dari bumi ini dan menugaskan manusia melakukan
'imarah (pengelolaan dan pemeliharaan) di atasnya. Karena manusia di dalam
melaksanakan wewenang dan tugas 'imarah-nya sering berbuat sewenang-wenang,
bahkan merusak lingkungan dan tidak mengindahkan manusia lain yang berada pada
posisi di bawahnya, maka Allah selanjutnya memerintahkan manusia agar mohon
ampunan Allah dengan bertaubat.
'Imaratul ardli yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu
saja bukan sekadar membangun tanpa tujuan, apalagi hanya untuk kepentingan diri
sendiri. Tugas membangun justru merupakan sarana yang sangat mendasar untuk
melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu 'ibadatullah. Lebih dari itu adalah
sarana untuk mencapai sa'adatud darain (kebahagiaan dunia dan akhirat) sebagai
tujuan hidup manusia.
Dari sinilah dapat dipahami, masyarakat dalam konsepsi al-Qur'an
adalah masyarakat 'ibadah dan 'imarah, di mana satu dengan yang lain saling
berkait erat. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah SAW ketika beliau hijrah ke
Madinah dengan membangun secara berurutan, dua bangunan monumental yang hingga
sekarang masih dilestarikan bahkan dikembangkan. Dua bangunan itu adalah masjid
Quba' dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, yang
secara simbolik merupakan wujud konsepsi manusia seutuhnya.
***
Dalam hal perubahan masyarakat sebagai proses pembangunan,
al-Qur'an mengisyaratkan, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga
mereka sendiri mengubah keadaannya. Mengubah di sini berarti berupaya dan
ikhtiyar yang menuntut berbagai kemampuan yang disebut kualitas. Ini berarti,
membangun manusia butuh kualitas. Garis lingkar balik seperti ini terjadi,
karena manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Pada dasarnya keberhasilan
proses pembangunan itu banyak ditentukan oleh sumber daya manusia.
Allah SWT dalam al-Qur'an memerintahkan kepada manusia agar mempu
berpacu dalam berbagai kebajikan (istibaqul khairat). Perintah ini dipahami
untuk menumbuhkan sikap dan perilaku kompetisi yang sehat untuk mencapai
al-khairat, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan lumintu, serta wawasan
kreatif dan inovatif yang luas, di samping daya analisis untuk mengantisipasi
proses transformasi menuju masa depan.
Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai dinamika, bukan
hanya sebagai metode yang menitiktekankan pada program-program. Wujud dinamika
ini adalah gerakan-gerakan yang selalu menuntut etos kerja tinggi dari semua lapisan
masyarakat. Etos kerja ini dalam al-Qur'an disebut sebagai ibtigha'
al-fadlillah (secara optimal berupaya mencari anugerah Allah) atau secara umum
disebut sebagai amal shalih. Kehidupan Rasulullah dalam kesehariannya
menunjukkan adanya etos kerja yang tinggi. Beliau selalu mempunyai kesibukan,
sampai-sampai membantu isterinya menjahit dan memperbaiki sandal. Bahkan beliau
dalam sebunh hadits mengatakan, seberat-berat siksa manusia pada hari kiamat
adalah orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan menganggur.
Kualitas manusia pada dasarnya, ditentukan oleh potensi dirinya.
Potensi diri yang membentuk kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan.
Secara umum, potensi yang telah dibekalkan Allah kepada setiap manusia mukallaf
adalah potensi rasio dan fisik. Yang pertama berkembang menjadi potensi ilmu
pengetahuan dan teknolgi, profesi dan kemampuan rasionalitas lainnnya. Dan yang
kedua berkembang menjadi keterampilan, etos kerja dan ketahanan tubuh dengan
kesehatan yang prima.
Dalam al-Qur'an potensi tersebut diformulasikan secara singkat
dalam kalimat qawiyyun atau makinun, yang berarti punya quwwah (potensi) atau
makanah (ketangguhan). Sebuah firman Allah menyebutkan, "Sebaik-baik orang
yang kamu serahi tugas mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan
berkemampuan menerima amanat serta dipercaya". Ayat ini dapat dipahami,
bahwa setiap upaya apapun untuk mencapai prestasi menuntut adanya potensi dan
amanah yang membentuk kualitas. Rasulullah dalam hal ini mengatakan,
"Orang mukmin berpotensi lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada
orang yang lemah".
***
Pembangunan bukan saja membawa perubahan secara fisik, namun juga
perubahan transendental. Hal ini antara lain terlihat dari perubahan nilai
religius menjadi nilai ekonomis. Artinya, langkah dan gerak manusia yang semula
diperhitungkan secara religius, bergeser menjadi diperhitungkan untung ruginya
secara materiil belaka. Hampir dapat dipastikan, nilai ekonomis akan makin
berkembang pesat pada era tinggal landas. Era di mana kapitalisasi makin
merambah berbagai aspek kehidupan dan industrialisasi mulai menjangkau semua
aspek komoditas, etos kerja makin meningkat, peran ketrampilan dan modal makin
dominan. Perhitungan untung rugi secara materiil makin kuat posisinya.
Akibatnya, nilai religius terbentur dan terlempar.
Era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang
menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun justru di situlah
nilai-nilai iman dan tawakal terancam. Di situ pula unsur ghurur al-dunya makin
mendapat banyak peluang untak menggiring nafsu manusia pada puncak
keangkaramurkaannya.
Tawakal dan iman terancam oleh posisi ikhtiyar yang makin dominan.
Dalam hal ini al-Qur'an memandang kehidupan dunia ini sebagai materi yang
menipu manusia (mata' al-ghurur). Makin maju kehidupan dunianya, manusia makin
melalaikan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Maka al-Qur'an memberi
petunju akan keseimbangan yang sering diformulasikan dalam kalimat al-wasath
dan al-'adlu.
Keadilan sebagai konsepsi al-Qur'an dipahami sebagai keseimbangan
dalam kehidupan manusia. Menakuti manusia dengan siksaan Allah, diimbangi
dengan sikap optimis terhadap ampunan dan rahmat Allah. Kewajiban diimbangi
dengan hak. Keberanian fisik diim.
bangi keberanian mental. Potensi rasio diimbangi potensi fisik.
Meskipun al-Qur'an menunjukkan, seluruh isi bumi ini diciptakan untak manusia,
dengan pengertian manusia diberi kebebasan mengolah dan memanfaatkannya untuk
kepentingan hidup, namun al-Qur'an juga memberikan batas-batas tertentu yang tidak
boleh dilampaui agar terjadi keseimbangan, tidak israf (berlebihan) dan tabdzir
(mubazir). Sampai pada soal makan dan minum, al-Qur'an melarang israf dan
tabdzir. Tidak boleh melampaui batas kualitas, batas kuantitas, batas maksimal
dan minimal, agar terjadi keseimbangan dalam tubuh manusia.
Era tinggal landas harus dilandasi semangat keseimbangan antara
etos kerja dan tawakal. Etos kerja dan gerakan-gerakan pembangunan dipahami
sebagai ikhtiyar yang pada dasarnya hanya merupakan sarana, karena yang menentukan
keberhasilannya adalah Allah dengan qudrah dan iradah-Nya. Tawakal tanpa
ikhtiyar akan menimbulkan sikap fatalistik yang berakibat pada munculnya sikap
thama' (dependen) yang tidak dibenarkan. Sebaliknya, ikhtiyar tanpa tawakal
bisa menghilangkan nilai imani. Bila manusia hanya berpegang pada ikhtiyar lalu
gagal, ia akan kehilangan keseimbangan, stress dan tidak mustahil putus asa
(ya'su). Sikap ini dilarang keras oleh al-Qur'an.
Dalam menghadapi era tinggal landas, perlu potensi pengendalian
diri dalam arus transformasi. Hanya dengan pengendalian diri ini, manusia akan
dapat eksis pada kediriannya, karamah dan akram. Akram di sisi Allah dalam
al-Qur'an disebut, adalah orang yang paling bertaqwa sesuai dengan statusnya
sebagai hamba.
Ini bisa dicapai dengan mengembangkan potensi ruhaniah, iman,
aqidah Islamiyah, ketaqwaan yang diformulasikan dalam ajaran syari'ah Islamiyah
dan akhlaq karimah. Potensi ini justru menjadi sarana mengatasi kesulitan dan
memberikan jalan keluar serta mendapatkan rizqi tak terduga sesuai dengan
jaminan Allah yang dituangkan dalam al-Qur'an. Ini berarti bahwa era tinggal
landas harus diimbangi dengan peningkatan wawasan keagamaan dan kualitas
keberagamnan Islam, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan antara 'ibadatullah
dan 'imaaratul ardli, antara masjid dan pasar. []
*) Tulisan ini pernah disampaikan KH MA Sahal Mahfudh pada seminar
menjelang MTQ Nasional di Yogyakarta pada 2 Februari 1991. Bisa ditemukan dalam
buku "Nuansa Fiqih Sosial", 2004 (Yogyakarta: LKiS) dengan judul yang
sudah diubah, "Kontekstualisasi Al-Qur'an".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar