Idul
Fitri, Saatnya Kembali ke Desa
Oleh:
Said Aqil Siroj
Idul
Fitri kembali tiba mengharu biru negeri kita. Sebuah ritual tahunan bagi umat
Islam yang tak hanya diwarnai hiruk-pikuk ibadah ritualistik dan spiritual,
tetapi juga menyimpan nilai-nilai sosial dan kultural.
Sungguh,
Idul Fitri ibarat "rites of passage", ritus-ritus peralihan dari
tahap-tahap penting berpuasa di bulan Ramadhan, merawat jiwa dari berbagai
godaan fisik hingga tahap pelepasan yang mewujud dalam Idul Fitri. Ritus-ritus
inilah kiranya bisa membangunkan individu untuk "melampaui" berjibun
rintangan, lalu meraih "pencerahan" sehingga melahirkan elan vital
baru dalam menapaki kehidupan selanjutnya.
Desa
membangun
Setelah
menjalankan "pelatihan rohani" dengan puasa sebulan penuh, datanglah
Idul Fitri, yang berarti kembali ke fitrah yang secara spiritual digambarkan
sebagai "kembali pada pusat spiritual". "Kembali ke fitrah"
ini rasanya tak cukup ditafsir secara simbolik-spiritualistik yang
mengawang-awang, tapi membumi di alam nyata, menjelma dalam bentuk berbondong-bondong
menjelang Idul Fitri untuk melakukan perjalanan penuh onak duri kembali ke
desa.
Sekian
lama hidup di kota yang pengap, terpenjara oleh ritme kota yang kapitalistik
serta berpeluh-peluh dalam berjuang demi karier hidup, kini masyarakat
"siuman", tersadarkan kembali bahwa ada "habitat asali"
yang harus diraih dan dirasakan kembali, yaitu kembali ke desa, kembali ke
asalnya masing-masing.
Di Idul
Fitri kali ini, kita perlu turut melarutkan diri, menyambut dengan sigap dan
sukacita semangat baru yang saat ini tengah digelorakan pemerintah melalui
Kementerian Desa, yaitu lewat pencanangan "Desa Membangun". Semboyan
baru ini haruslah mampu menyuntik gairah baru bagi bangsa kita untuk
menumpahkan segala daya upaya demi kemaslahatan pembangunan yang tak lagi berangkat
dari kota, melainkan bertumpu dari desa.
Sejauh
yang saya baca dan pahami, desa adalah entitas penting dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan telah ada sejak sebelum NKRI diproklamasikan pada
17 Agustus 1945. Desa di masa lampau-menyitir Rosyidi Ranggawidjaya
(2013)-merupakan komunitas sosial dan merupakan pemerintahan asli bangsa
Indonesia yang keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Bahkan
terbentuknya Indonesia mulai dari pedesaan. Fakta menunjukkan, sebagian besar
wilayah Indonesia adalah pedesaan.
Namun,
sekian lama desa-desa terlupakan dan belum mendapat perhatian langsung dari
pemerintah. Selama ini desa selalu dipandang sebagai obyek pembangunan yang
mengandalkan tetesan sisa anggaran pembangunan perkotaan. Dampaknya, desa menjadi
daerah tertinggal dan minim pembangunan.
Cara
pandang pembangunan tersebut di Indonesia mengidap kekeliruan fatal. Jadilah
Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang identik dengan pusat kebijakan.
Pasalnya, pusat kebijakan ini sering kali dimaknai, dipercayai, hingga
didesakkan juga sebagai pusat pembangunan.
Kebijakan
yang "kalap" ini telah begitu menghunjam dengan menjadikan kota
sebagai pusat segalanya. Akibatnya, konsentrasi pembangunan selama ini
sungguh-sungguh terpusat di kota-kota. Desa pun terabaikan, tak ada kemajuan di
desa. Lalu desa ditinggalkan warga terbaik dengan urbanisasi ke kota.
Akibatnya, ribuan desa jadi desa tertinggal. Tak ayal, terjadi kepincangan
pembangunan, ketidakadilan pusat dan daerah, kota dan desa.
Sekarang
telah lahir Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hal ini jelas
merupakan sebuah capaian besar dalam proses berbangsa dan kenegaraan Indonesia.
UU ini telah memberi arah yang benar bagi proses pembangunan di Indonesia dan
menjadi harapan besar bagi masyarakat desa. Desa sebagai entitas yang punya
sifat dan ciri khas dapat membangun desanya dengan modal kekuatan dan peluang
yang dimiliki.
Pemberdayaan
Amanat UU
Desa makin kuat karena menjadi cita-cita mulia, yaitu membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan.
Pengaturan desa dalam UU Desa berlandaskan pada asas rekognisi, yaitu pengakuan
terhadap hak asal-usul dan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan
berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan
masyarakat desa.
Asas
utama ini hendak mengukuhkan adanya keberagaman yang selama ini bersemayam di
desa. Karena itu, perlu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Desa-desa
di negeri kita sangat menonjol dalam hal kebersamaan, kegotongroyongan,
kekeluargaan, tradisi musyawarah, demokrasi, dan kemandirian. Di sini, hanya
perlu penguatan dalam hal partisipasi warga desa turut berperan aktif dalam
pembangunan desa. Begitupun, penguatan dalam hal kesetaraan yang berarti
kesamaan warga desa dalam kedudukan dan peran tanpa membeda-bedakan dari segi
agama, etnis, jender, status sosial, dan lainnya.
Oleh
karena itu, dalam proses "Desa Membangun" hanya perlu mengedepankan
pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan warga desa
melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Juga jangan sampai terlewatkan
sisi keberlanjutan, proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi,
dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan
desa.
"Desa
Membangun" bukan saja mengakui dan menghormati keragaman desa, kedudukan,
kewenangan, dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan. Lebih dari itu,
melalui UU Desa berarti melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi
dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang negara kepada desa merupakan
resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi,
eksploitasi, dan marjinalisasi yang terjadi selama ini yang dilakukan oleh
kekuatan politik dan kapital. Desa perlu mendapatkan proteksi yang bukan hanya
proteksi kultural, juga proteksi dari intervensi berlebihan yang dilakukan oleh
kekuatan supradesa, politisi, dan investor.
Walhasil,
dari desalah kita berasal, maka kita perlu kembali ke asal. Dengan mudik, mari
bersama kita menggelorakan warga desa untuk memperbaiki nasib lewat "Desa
Membangun". Desa haruslah menjadi "ladang" pembangunan yang tak
hanya fisik, tetapi membangun peradaban yang akan melahirkan insan-insan
genial. []
KOMPAS,
16 Juli 2015
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar