Pada Usia 70 Tahun
Oleh: Budiarto Shambazy
Ada perbedaan menarik di antara logo resmi pemerintah dalam rangka
perayaan kemerdekaan. Sepuluh logo (perayaan 60 sampai 69 tahun) berbentuk
bulat, dengan angka tahun perayaan di tengah bulatan, yang dikurung merah-putih
dan kalimat "Kemerdekaan Republik Indonesia".
Untuk tahun ini, logo tetap bulat dengan angka tahun perayaan,
kali ini 70 tahun, yang tetap menonjol di dalam bulatan. Namun, kalimat berubah
menjadi "Indonesia Merdeka". Yang menarik di bawah bulatan terdapat
pula kalimat baru "Ayo Kerja". Ini tentu sekadar ajakan atau imbauan
yang cukup bernada simpatik, bukan slogan bombastis atau seperti kata Srimulat,
gombal kere amoh.
Slogan atau tagline hanyalah teks yang bertujuan untuk menjelaskan
sebuah pemikiran/renungan supaya dapat menimbulkan efek dramatis. Slogan
penting untuk memasarkan produk atau gagasan agar mudah dicerna publik.
Slogan "Ayo Kerja" mudah dicerna pula oleh kalangan
publik kita. Slogan ini cukup realistis karena bekerja adalah sebuah kemuliaan
bagi kita semua. Dua kata yang terkandung tidak serumit slogan-slogan ala Orde
Baru. Slogan yang sukar dipahami, misalnya "Manusia Indonesia yang
Seutuhnya" atau "Memasyarakatkan Olahraga, Mengolahragakan
Masyarakat".
Pun slogan "Ayo Kerja" rasanya tak mengganggu ruang
privasi atau menyinggung sensitivitas kultural yang sering kali berpengaruh
dalam kehidupan sosial dan politik kita. Apalagi belakangan ini kita suka
"membesar-besarkan diri" melalui slogan-slogan bombastis, seperti
"Indonesia Kaya" atau "Indonesia Bergegas".
Semoga saja slogan ini tak membuat publik gusar karena dianggap
seolah-olah kita enggan bekerja. Semoga pula tidak ada yang menggerutu,
"Saya mau kerja apa wong pengangguran kok!"
Untuk ukuran usia negara, 70 tahun itu masih seumur jagung. Usia
kita lebih kurang sama dengan empat negara yang jauh lebih maju daripada kita:
Tiongkok, India, Malaysia, dan Singapura.
Kita masih bisa berkilah GDP Tiongkok dan India jauh lebih besar
dibandingkan dengan kita, yang membuat mereka lebih maju. Kita juga boleh tepuk
dada bahwa sistem politik Malaysia dan Singapura kurang demokratis dibandingkan
dengan kita. Dalam usia 70 tahun, kita bahkan lebih maju dibandingkan dengan
Amerika Serikat karena di sana belum pernah ada perempuan presiden.
Keberagaman kita lebih erat-lekat dibandingkan dengan negeri
bineka yang terpecah, seperti Uni Soviet atau Yugoslavia.
Namun, kebanggaan sebuah bangsa tidak hanya tersimbolisasi dari
pencapaian-pencapaian konkret yang tertera dari angka-angka statistik semata.
Kebanggaan sebuah bangsa hendaknya juga bisa dijawab dari pertanyaan paling
fundamental: apakah kita makin dewasa seiring bertambahnya usia (the older, the
wiser)?
Mungkin untuk mencari jawabnya, kita simak juga tugas-tugas yang
diwarisi para pendiri bangsa. Sudahkah kita menjadi Pancasilais sejati, menolak
berpisah dari NKRI, menghargai kebinekaan, serta mengerti satu-satunya tujuan
UUD 1945 adalah menyejahterakan rakyat?
Pancasila oleh Orde Baru dianggap sakti dan Pak Harto pernah
beranggapan siapa yang menyerang dirinya, berarti menyerang Pancasila. Tidak
aneh mungkin lebih dari separuh rakyat tidak hafal lengkap jika diminta
menyebut lima sila-apalagi mengerti dan mempraktikkannya.
Masih segar dalam ingatan, setelah Reformasi tak sedikit provinsi
sinis terhadap NKRI, mulai dari Timor Timur sampai yang bangga dengan Iramasuka.
Mungkin jumlah provinsi yang minta merdeka saat itu sama banyaknya dengan
jumlah provinsi yang secara sukarela mau bergabung dengan NKRI dalam periode
1945-1950.
Apakah kita menghargai kebinekaan? Rasanya belum mengingat
penodaan terhadap kebinekaan "baru" saja terjadi ketika pawai
keberagaman diserang geng radikal di Tugu Monas, Jakarta, persis pada
peringatan Harlah Pancasila, 1 Juni 2008.
Kita belum menghargai kebinekaan karena larangan mendirikan rumah
ibadah atau beribadah, antara lain yang dialami Gereja Yasmin di Bogor atau di
Masjid Tolikara. Ancaman dan serangan terhadap kaum Syiah atau Ahmadiyah belum
hilang 100 persen.
Kebinekaan kita kayak sambal, tiap daerah/provinsi pasti
berbeda-beda meski semuanya berasal dari cabai. Sambal tidak boleh absen dalam
sajian tiap hari, makanya sebagian dari kita masih gemar "kepedasan"
(amok).
Sepanjang kita pahami, cita-cita mencapai kesejahteraan rakyat,
seperti tujuan UUD 1945, masih sebatas cita-cita. UUD 1945 masih berpihak
kepada mafia migas, mafia beras, para begal DPRD, koruptor, dan seterusnya. UUD
1945 memang bukanlah "kitab suci" yang tidak boleh diubah
serampangan. Tetapi, apakah amandemen yang memasuki serial kelima masih perlu
diuber- uber saat kita tak patuh pada naskah aslinya?
Selama 70 tahun kita sudah menjalani Demokrasi Terpimpin,
Demokrasi Pancasila, sampai democrazy pasca Reformasi. Kita pernah pula
menjalani sistem campuran demokrasi "parlemensial/presidenter" (jika
parlemen merasa sial, presidennya gemeter). Kita juga sempat punya "Trias
Poli-thieves". Inilah tiga cabang kekuasaan yang terdiri dari
"ekseku-thieves", "legisla-thieves", dan
"yudika-thieves".
Pendek kata, apa pun sistemnya, kultur politik kita belum berubah.
Sebagian besar dari kita sesungguhnya belum merdeka alias masih dijajah oleh
bangsa sendiri. Ancaman terbesar bagi kita adalah diri kita sendiri, dan musuh
paling berbahaya bagi kita adalah diri kita sendiri.
Saya bisa keliru, pasti di antara Anda ada yang yakin kita telah
merdeka. Bisa juga Anda yakin bahwa ancaman terbesar dan paling berbahaya
datang dari negara-negara di sekeliling kita. Semua berpulang kepada Anda untuk
merenungkan telah seberapa dewasa kita sebagai bangsa.
Apa renungan Anda menghadapi 70 tahun kemerdekaan 17 Agustus 2015
ini? Demokrasi sehat mensyaratkan masyarakat bermartabat, yang sadar dirinya
masing-masing merupakan warga yang punya kehormatan, elok laku, toleran, dan
menghargai sesama. Jika syarat-syarat itu mungkin Anda nilai terlalu berat,
kita camkan saja slogan "Ayo Kerja" dalam rangka merayakan 70 tahun
proklamasi. Selamat bekerja! []
KOMPAS, 8 Agustus 2015
Budiarto
Shambazy | Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar