Senin, 24 Agustus 2015

(Buku of the Day) Islam dan Urusan Kemanusiaan (Konflik, Perdamaian, dan Filantropi)



Nurani Kemanusiaan yang Universal


Judul                : Islam dan Urusan Kemanusiaan (Konflik, Perdamaian, dan Filantropi)
Editor               : Hilaman Latief dan Zezen Zaenal Muttaqin
Penerbit            : Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit      : Cetakan Pertama,  Februari 2015
Tebal                : 413 halaman
ISBN                 : 978-602-290-024-5
Peresensi          : Muhammad Ridha Basri, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Anggota Komunitas Sahabat Pena Nusantara.

“Kemanusiaan itu satu, seperti juga lapar. Tidak ada lapar secara Islam. Tidak ada lapar secara Kristen.” (Muslim Abdurrahman)

Perang dan damai merupakan rangkaian siklus tak terputus. Rotasi kesinambungan ini sangat mengkawatirkan populasi manusia di seluruh dunia. Di satu sisi, keberadaannya bisa dianggap wajar dalam setiap proses interaksi manusia. Namun, berpasrah dengan bencana kemanusiaan ini bukanlah sikap yang harus dikedepankan. Upaya yang serius untuk memutus siklus itu sangat urgen segera dilakukan dengan beragam strategi jitu. Tanggung jawab sebagai aktor perdamaian bukan hanya diemban oleh orang atau komunitas tertentu saja, tapi juga oleh semua manusia yang memiliki nurani kemanusiaan.

Holsti, mengutip hasil penelitian Zeev Maoz, menyebutkan bahwa sejak tahun 1815 (bertepatan dengan Kongres Viena) hingga tahun 1976, telah terjadi 827 macam konflik. Data sebelumnya, berdasarkan data Quincy Wright yang mengidentifikasi perang di negara-negara Barat sejak 1480 hingga 1940, menemukan adanya 278 konflik (Artikel Muhammad Amin Summa, hlm.70). Sampai abad ke-21, gelombang konflik masih terus berlangsung. Diantara dalam lingkup antar suku, intra negara, antar agama, hingga antar negara  dan kepentingan. Dan tidak ada yang bisa menjamin, konflik dan peperangan itu akan berhenti atau semakin menjadi-jadi di masa yang akan datang.

Menyadari dampak negatif yang luar biasa dari beragam kasus tersebut, maka buku ini hadir sebagai salah satu “alarm” untuk penyadaran segenap elemen. Bagaimana seharusnya pensikapan terhadap dialektika, bagaimana menumbuhkan rangsangan pensikapan secara tepat, landasan orientasi, dan hal lain yang melingkupi konflik, perdamaian, dan filantropi akan dibahas dalam buku ini.Utamanya adalah kalangan muslim Asia Tenggara, yang memiliki kekhasan, menjadi keunikan dan sekaligus kelebihan. Dibanding dengan negara-negara Arab tempat awal mula berkembangnya Agama, keberadaan perang seolah sudah menjadi karakter atau hobi mereka. Sementara bagi kalangan rumpun Melayu secara umun, watak “kemayu” terasa lebih kentara.

Dari segi respon terhadap keberadaan bencana kemanusiaan, baik yang berupa bencana alam secara langsung atau pun bencana yang disebabkan oleh tangan manusia layaknya perang, masyarakat Asia Tenggara juga memiliki keunikan. Bencana tsunami Aceh, gempa bumi Yogyakarta, konflik di Maluku, Perang di Timor Leste, ketegangan antar kelompok Muslim dan Budha di Myanmar, peperangan di Mindanau dan Thailand selatan merupakan di antara peristiwa yang telah menelan korban manusia yang tidak sedikit. Jatuhnya korban sipil yang tidak bersalah, telah menstimulasi lahirnya berbagai lembaga kemanusiaan dan filantropi di kawasan ASEAN, utamanya Indonesia. Mereka lahir dari kumpulan berlatar agama atau latar ideologi organisasi atau bahkan kesamaan visi misi sebagai aksi kemanusiaan.

Tulisan Hajriyanto Y Thohari di bagian awal buku ini mengemukakan pentingnya merawat benih-benih kemanusiaan dan filantropi yang mulai tumbuh subur di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menguatkan ikatan dan menyamakan persepsi para tokoh agamawan dan pemuka Islam. Mereka adalah orang-orang yang sanggup mempengaruhi opini publik untuk penegakan kemanusiaan dan kebangsaan. Dakwah Islam kontesktual harus berorientasi pada prinsip pengentasan ketidakadilan, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan, serta menjunjung kebinnekaan dan anti kekerasan. Hal ini sesuai dengan argumen Farish Noor, ang menyatakan bahwa kemenangan dan kejayaan Islam akan segera nyata dan bersinergi dengan komitment umatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, kebhinnekaan, pemenuhan hak-hak kaum minoritas, keadilan gender, dan prinsip-prinsip kebangsaan (Artikel Hajriyanto Y Thohari, hlm. 62).

Buku ini terasa lebih lengkap dengan adanya bahasan tentang perspektif Muslim tentang jihad, konflik, dan perdamaian yang diulas pada bagian kedua. Selama ini, kalangan tertentu sering “mengkambinghitamkan” doktrin agama Islam merupakan pemicu utama tersulutnya api konflik di berbagai belahan dunia. Sebelumnya, di bagian pertama buku ini terlebih dahulu memaparkan prinsip umum tentang hukum humaniter Islam, yang memberi gambaran tentang bagaimana Islam memaknai fiqhal-siyar, serta bukti-bukti ketidakterlibatan antara ideologi Islam dengan kekerasan dan terorisme. Dalam bab ketiga dan keempat, pembahasan terasa lebih membumi dan menyangkut pengalaman langsung di ranah grassroot. Bab ketiga mengupas tentang ragam rekonsiliasi perdamaian pascakonflik, dengan latar ulasan kasus perseteruan Tanjung Priok dan Talang Sari. Artikel kedua bagian ini mengupas perdamaian yang digagas AMAN (Asian Muslim Action Network-Thailand), terhadap rekonsiliasi kerusuhan masyarakat Tionghoa di Jawa Tengah. Bab keempat mengupas tentang filantropi dan kegiatan kemanusiaan yang berkembang di masyarakat dengan lembaga konkrit; semisal lembaga di bawah NU dan Muhammadiyah, Dompet Dhuafa, dan Komunitas Tionghoa Muslim.

Terakhir, buku ini mencoba menyempurnakan dan menggabungkan prinsip-prinsip hukum Humaniter Internasional dengan ajaran agama Islam. Karena bagaimana pun juga masa depan dunia dengan wajah perdamaian, konflik, bencana, ketidakadilan, dan lainnya sangat ditentukan oleh watak penghuni planet bumi itu sendiri –tentunya di bawah izin dan ketentuan Tuhan--. Sementara umat Islam yang secara kuantitas lebih dari satu miliar, memiliki pengaruh dan tanggung jawab moral yang besar untuk ikut serta mewujudkannya. Indonesia sebagai pemegang rekor umat Muslim mayoritas dengan falsafah kebangsaan Pancasila, memiliki potensi untuk mengambil bagian dalam percaturan urusan kemanusiaan di ranah lokal, nasional, dan international. Termasuk urusan filantropi, kuantitas Muslim yang begitu besar sangat potensial untuk mengumpulkan dana-dana kemanusiaan dari berbagai lapisan, dan kemudian menyalurkan serta membantu setiap manusia yang membutuhkan tanpa memandang perbedaan latar belakang agama, suku, dan bangsa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar