“Islamic Valentine Day”
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
13
Februari 2015
JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena
sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad
baik tentang cinta kemanusiaan.
Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve
Ramadhan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan
atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik
yang berasal dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah
tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan
Islam.
Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan
pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan
Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas
tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah
Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya
masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun
yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya
kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”,
“dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam
Indonesia” — yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka
masing-masing.
Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan
Islamnya Allah sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah
atas kehidupan. Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu
menerimanya. La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada
paksaan dalam menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala
sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang
menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa
diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan
psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan
pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase
kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam
bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang
penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan
training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang
yang mencari sorga, berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa
dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian
putih-putih bagaikan pasukan Malaikat Jibril.
Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai
formula dunia modern, industri liberal, mode show, pembuatan film, diskusi
pengajian, yang penting dikasih kostum Islam. Tentu saja tidak usah kita
teruskan sampai tingkat menyelenggarakan tayangan “Gosip Islami”, “Lokalisasi
Pelacuran Islami”, “Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan
volley ball wanita Muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian
dengan tolol dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah
sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai Hari Valentine Islami….
Tapi sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam
versi Rasulullah Muhammad SAW. Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an
sebagai Fathan Mubina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadhan,
tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari
Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan
besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal….
Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang: “…hadza laisa
yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa….”. Wahai
manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih
sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing. Pasukan
Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup mati,
diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman:
malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah memerintahkan pampasan
perang, berbagai harta benda dan ribuan onta, dibagikan kepada para tawanan.
Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga
mengeluh dan memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka
dikumpulkan dan Muhammad SAW bertanya: “Sudah berapa lama kalian bersahabat
denganku?” Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun…. “Selama kalian
bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau
tidak mencintai kalian?”
Tentu saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya:
“Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”
Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa
dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di
situ sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak
berbeda: “Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh mbok ya
juga diberi onta dan emas barang segram dua gram…?” []
--
--
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar