Selasa, 17 Februari 2015

(Ngaji of the Day) Bagi Hasil yang Cacat pada Bank Syariah



Bagi Hasil yang Cacat pada Bank Syariah

Bank Syariah sebagai salah satu usaha keuangan di Indonesia telah hadir semenjak awal tahun 1990an. Bank Syariah datang dengan menawarkan sistem bagi hasil yang bebas riba. Dengan sistem bagi hasil ini diharapkan terjalin kerjasama yang lebih seimbang antara nasabah dan pihak bank selaku pengelola.

Hal ini telah ditetapkan dalam Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur tentang legalitas Perbankkan Syariah. Ciri utama Perbankan Syariah adalah berdasarkan bagi hasil antara pemilik harta sebagai shahib al-mal atau nasabah dan pihak bank sebagai pengelola atau mudharib. Dengan kesepakatan nisbah (prosentase bagi hasil) sesuai kesepakatan para pihak. Dalam kesepakatannya, biasanya antara 70 % banding 30 %, 65 % banding 35 %, atau 60 % banding 40 %.

Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian, pembagian bagi hasil itu selalu stabil dan anehnya selalu berada di bawah prosentasi bunga bank konvensional. Hal ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang. Bagaimanakah sebenarnya proses pembagian hasil itu terjadi? Padahal dengan jelas syariah mengharuskan keterbukaan dalam sistem pembagian hasil antara nasabah (shahibul mal) dan pengelola (mudharib). Sebagaimana diterangkan dalam Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. 

وَأَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْعَامِلِ أَنْ يَأْخُذَ نَصِيبَهُ حِصَّتَهُ مِنْ الرِّبْحِ إلَّا بِحَضْرَةِ رَبِّ الْمَالِ وَأَنَّ حُضُورَ رَبِّ الْمَالِ شَرْطٌ فِي قِسْمَةِ الْمَالِ وَأَخْذِ الْعَامِلِ حِصَّتَهُ وَأَنَّهُ لَيْسَ يَكْفِي فِي ذلِكَ أَنْ يُقْسِمَهُ بِحُضُورِ بَيِّنَةٍ وَلَا غَيْرِهَا

الْقَولُ فِي أَحْكَامِ الطَّوَارِئِ وَاخْتَلَفُوا إِذَا أَخَذَ الْمُقَارِضُ حِصَّتَهُ مِنْ غَيرِ حُضُورِ رَبِّ الْمَالِ ثُمَّ ضَاعَ الْمَالُ أَوْ بَعْضَهُ

Dan para ulama seantero kota sepakat, sungguh ‘amil tidak boleh mengambil laba yang menjadi bagiannya melainkan dihadiri oleh pemilik modal dan kehadiran pemilik modal merupakan syarat pembagian harta dan pengambilan bagian laba oleh ‘amil. Sungguh dalam hal tersebut tidak dicukupkan dengan mendatangkan saksi maupun selainnya.

Pendapat yang dimenangkan pada beberapa hukum kasus susulan. Para ulama berbeda pendapat saat ‘amil mengambil laba yang menjadi bagiannya tanpa kehadiran pemilik modal, kemudian harta atau sebagiannya tersebut hilang.

Demikianlah seharusnya Bank Syariah segera membenahi sistem yang ada, agar tidak terjadi cacat syariah yang mencederai norma syariah itu sendiri. Sebagaimana diputuskan dalam Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah Muktamar NU 2010. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar