Rabu, 11 Februari 2015

(Ngaji of the Day) Hukum Menikah di Bulan-bulan Tertentu



Hukum Menikah di Bulan-bulan Tertentu

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum. Saya ingin bertanya, apakah menikah di bulan Dzulhijjah (Apit/ Dulkangidah/ Dulkaidah) itu terlarang? Mohon dalilnya, baik secara syar'i, maupun tradisi. Terima kasih.

Ega Prasetya Noor

Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bapak Ega Prasetya yang dimuliakan Allah, nikah adalah acara sakral. Dengan nikah hal yang awalnya haram menjadi halal. Aqad nikah yang dilakukan di depan wali dan saksi-saksi berlaku tanpa batas waktu sampai ada hal yang menyebabkan aqad itu gugur. Karena nikah terkait dengan kehidupan rumah tangga ke depan dalam waktu yang tak terbatas, maka sebagian masyarakat menentukan waktu pelaksanaan aqad nikah dengan memilih bulan, hari atau tanggal tertentu dengan metode perhitungan dari warisan leluhur atau primbon. Ini dilakukan agar kehidupan rumah tangga kedua mempelai selalu tentram dan penuh kebaikan.

Dalam syari’at Islam, sebenarnya tidak ada larangan menikah di bulan tertentu. Ini dapat kita lihat dalam riwayat tentang pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti ’Aisyah. Pada saat itu, orang-orang menganggap makruh/mendatangkan kesialan jika menikah di bulan Syawal. Untuk menepis kepercayaan mereka Rasulullah SAW menikahi Siti ’Aisyah di bulan Syawwal. Ketika mengomentari hadits yang menerangkan peristiwa tersebut Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarh Al-Nawawi Ala Muslim hal. 209.

وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع

Artinya : Siti Aisyah r.a dengan perkataan ini, bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang dibayangkan sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan syawa., ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ini adalah peninggalan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawwal yang diambil dari Isyalah dan Raf̕’I (mengangkat).

Walaupun demikian, orang yang tidak mau melangsungkan pernikahan di bulan tertentu dan memilih waktu yang menurutnya tepat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku tidaklah sepenuhnya salah. Selama keyakinannya tentang yang memberi pengaruh baik atau buruk adalah Allah SWT. dan hari, tanggal dan bulan tertentu itu diperlakukan sebagai adat kebiasaan yang diketahui oleh manusia melalui kejadian-kejadian yang berulang(dalam bahasa jawa disebut ilmu titen) yang semuanya itu sebenarnya dijalankan oleh Allah SWT maka sebagian ulama memperbolehkan. Dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, Hamisy Bughyatul Mustarsyidin, hal. 206 disebutkan:

مسألة): إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات،

Artinya : (permasalahan) Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli nujum berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi dmeikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah, maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk.

Kesimpulannya adalah kita harus tetap berkeyakinan bahwa yang menentukan semuanya adalah Allah SWT., sedangkan fenomena-fenomena yang terjadi berulang-ulang yang kemudian menjadi kebiasaan hanyalah data sementara bagi kita untuk menentukan langkah yang harus diambil, dalam hal ini menentukan waktu pernikahan.

Semoga keimanan kita selalu melekat pada diri kita hingga akhir hayat. Aaamiiin….

والله أعلم بالصواب

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ihya’ Ulumuddin
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar