Senin, 23 Februari 2015

(Buku of the Day) Pluralisme Kaum Sarungan Pesantren dan Deradikalisasi Agama di Sulawesi Selatan



Mengkaji Pluralisme Kaum Santri Sulawesi Selatan


Judul buku        : Pluralisme Kaum Sarungan Pesantren dan Deradikalisasi Agama di Sulawesi Selatan 
Penulis             : Dr. KH. Afifuddin Harisah (Pimpinan Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar)
Editor               : Akramunnisa
Penerbit            : Lembaga Ladang Kata, Yogyakarta
Cetakan            : 2015
Tebal                : XX + 248 Halaman
ISBN                 : 978-602-1093-03-0
Peresensi          : Andy Muhammad Idris, Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Universitas Islam Makassar

KH Afifuddin Harisah Pimpinan Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar dalam bukunya yang bertajuk “Pluralisme Kaum Sarungan Pesantren dan Deradikalisasi Agama di Sulawesi Selatan” mencoba menyajikan data-data lapangan dan mengungkap peran pesantren terkait wacana pluralisme dalam beragama.

Buku Pluralisme Kaum Sarungan ini berawal dari Disertasi penulis di Program Doktor Universitas Islam Negeri Alauddin tahun 2013. Selama dua tahun penulis melakukan studi lapangan yang berdasar pada studi kepustakaan yang intens. 

Ada tiga pesantren di Sulawesi Selatan yang menjadi objek penelitian terkait wacana pesantren dan upaya deradikalisasi agama yakni; Pesantren As’adiyah Sengkang, Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, dan Pesantren Modern Tarbiyah Takalar. 

Dari hasil penelitiannya, penulis mengungkapkan Pertama, Pesantren As’adiyah Sengkang di Kabupaten Wajo sebagai lembaga Pendidikan Islam yang menyatakan diri menganut paham Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja). Paham ini dipertahankan karena dinilai paling tepat diajarkan kepada santri dan masyarakat di Sulawesi Selatan.

Kedua, Pesantren Darul Istiqamah Maccopa sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang berjuang di jalan Allah swt atas dasar al-Qur’an dan Sunnah yang sahih untuk mencerdaskan umat dan membangun kehidupan sesuai ajaran Islam. Ketiga, Pesantren Modern Tarbiyah Takalar merupakan lembaga pendidikan yang terbuka untuk seluruh umat Islam, yang bertekad untuk menciptakan insan Indonesia sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dengan Kurikulum Pendidikan Nasional dan kepesantrenan dengan pola pendidikan 24 jam, guna melahirkan generasi yang mampu mandiri di era globalisasi.

Selanjutnya, penulis mencoba menyajikan data tentang (Ideologi) pluralisme pada pesantren di Sulawesi Selatan. Pesantren di Sulawesi Selatan sangat memahami dan menerima ide pluralitas sebagai konsep hidup dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Pada kenyataannya, pesantren-pesantren di Sulawesi Selatan menerima dan menyikapi secara positif kemajemukan keberagamaan. Namun, perlu dicermati bahwa pluralisme yang dipahami pesantren bukanlah pluralisme yang secara mentah-mentah diadopsi dari Barat, meski secara substansial tetap mengacu pada sikap positif dan empatik terhadap pluralitas.

Pluralisme, dalam konsep pesantren adalah penerimaan dan pengakuan tentang adanya realitas kemajemukan atau keragaman, termasuk agama, keyakinan, dan pemikiran. Pluralisme berbeda dari pluralitas. Pluralitas lebih dipahami sebagai kondisi riil dan realitas yang menunjukkan adanya keragaman, namun tidak berkonotasi pada aspek penyikapan bagaimana merespon dan mengelola keragaman tersebut. Pesantren dalam hal ini tidak mengingkari pluralitas, bahkan menyebutnya sebagai bagian dari hukum dan hakikat penciptaan alam (sunnatullah). Inilah merupakan elemen penting bagi terciptanya lingkungan pendidikan yang pluralistik.

Pada umumnya pesantren di Sulawesi Selatan, apapun afiliasi dan organisasi keagamaan yang memayunginya, mengakui bahwa Islam sangat kaya dengan keragaman penafsiran dan pemahaman. Khazanah keilmuan Islam, yang didalami dan dikaji di pesantren, menampilkan perbedaan-perbedaan pendapat, aliran dan sekte pemikiran. Pluralitas ini tidak menciptakan absurditas dalam tradisi keilmuan Islam, bahkan justru menciptakan dinamikan intelektual tersendiri, khususnya dalam merespon perkembangan pemikiran kontemporer.

Dan akhirnya, ketiga pesantren ini menganggap keberagaman adalah realitas yang tak terelakkan, demikian pula agama dan sistem keyakinan manusia. Agama-agama tetap selamanya berbeda dan tak akan mungkin disatukan, kecuali pada beberapa nilai-nilai moralitas yang bersifat universal. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar