Jokowi Akhir-akhir Ini
Oleh: Budiarto Shambazy
SEWAKTU kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo acap kali
menyebut beberapa kata kunci tentang kabinet yang akan dibentuk jika terpilih
sebagai presiden. Tiga kata kunci yang diucapkan adalah ”kerja”, ”ramping”, dan
”profesional”.
Kabinet ”kerja”, yang akhirnya menjadi nama resmi kabinet, merujuk
pada kabinet yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Djoeanda
Kartawidjaja sebagai menteri pertama. Kabinet Kerja yang dibentuk Juli 1959 itu
tak menyertakan seorang politisi pun.
Kabinet ”ramping” terbukti cuma sekadar janji kampanye Jokowi yang
belum ditepati. Begitu juga kabinet ”profesional” hanya ilusi belaka sekalipun
ada sejumlah menteri yang boleh dianggap ahli di bidang-bidang tertentu.
Politisi di negara mana pun pasti menebar ”angin surga” saat
kampanye. Namun, sering terbukti bahwa memenuhi janji kampanye tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan.
Sewaktu kampanye kita membayangkan kabinet Jokowi pasti mau
bekerja, mungkin jumlahnya 20-an saja, para menterinya dari kalangan
profesional, dan kalau bisa politisi segelintir saja. Namun, kita saat itu juga
sadar bahwa politik bukanlah hitungan matematika 2+2=4.
Kita sudah malas berdebat tentang seberapa ideal Kabinet Kerja dan
jarum jam mustahil ditarik mundur. Mungkin sebaiknya kita bersandar pada
prinsip bahwa menteri adalah sebuah jabatan politis yang orangnya dipilih bukan
berdasarkan pada hak prerogatif presiden semata.
Tuntutan publik dan kebutuhan politik untuk membentuk kabinet yang
lebih baik tentu ada. Sebab, kabinet pemerintahan sebelumnya amburadul,
khususnya karena sejumlah kementerian dijadikan sapi perah pendanaan partai.
Jika ada pertanyaan apakah Jokowi benar-benar menggunakan hak
prerogatif 100 persen dalam menentukan menteri-menterinya, jawabannya tidak.
Hak prerogatif dia tergerus karena dia harus menjalani kompromi
politik yang pelik dan bertele-tele dengan tokoh-tokoh partai yang tergabung
dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan kata lain, Jokowi sampai kini masih
menghadapi konflik memperjuangkan hak prerogatif yang dikombinasikan dengan
”kompromi politik”.
Apakah ini akan mengganggu slogan ”kerja, kerja, kerja”? Rasanya
tidak juga. Sebab, harus diakui bahwa dalam kurun waktu sekitar tiga bulan ini
Kabinet Kerja telah menunjukkan sejumlah prestasi meski belum sesuai dengan
harapan rakyat.
Seperti pernah saya tulis di rubrik ini, Kabinet Kerja, ibarat
rapor, layak mendapat nilai tujuh. Jika bekerja konsisten dengan merujuk pada
program Nawa Cita-Trisakti, nilai tersebut kelak akan naik ke angka delapan.
Prestasi yang setidaknya kita rasakan saat ini antara lain
kepedulian pemerintah pada kedaulatan fisik kita yang telah lama tergerus, baik
di darat, perairan, maupun udara. Pemerintah juga sedang berupaya menegakkan
hukum dengan menolak grasi sekaligus mengeksekusi para bandar narkoba yang
dihukum mati.
Dan, setidaknya kita kini menyadari betapa besar dan banyaknya masalah
yang diwariskan rezim sebelumnya. Sungguh pekerjaan tidak mengenakkan ketika
Anda harus mencuci piring dan gelas serta menyapu dan mengepel setelah pesta
berakhir.
Ini awal baik yang layak dilanjutkan Kabinet Kerja dengan harapan
dukungan rakyat tidak anjlok. Masa bulan madu telah berakhir dan Kabinet Kerja
hendaknya tetap berani bekerja menghadapi berbagai tantangan di depan.
Keputusan serampangan
Namun, di tengah hiruk-pikuk pemilihan menteri serta pejabat
tinggi tingkat direktur/ komisaris BUMN dua bulan terakhir ini, terdapat pola
proses pengambilan keputusan yang erratic (serampangan). Itu tampak jelas dari
seleksi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Dan, semakin terbukalah konflik internal KIH setelah kegagalan
pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kini, keserampangan tersebut
meluber ke konflik antar-institusi, termasuk Polri dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Bukan lagi rahasia kesan serampangan itu muncul sejak pembentukan
Tim Transisi. Dan, jangan terkejut jikalau keserampangan ini masih akan tetap
berlangsung sampai JKW-JK melakukan perombakan kabinet dalam kurun waktu 6-12
bulan ke depan.
Apakah Jokowi terganggu dengan keserampangan tersebut? Jawabannya
belum tentu. Sebab, dia memimpin pemerintahan baru berjalan sekitar tiga bulan,
yang sarat kompromi politik, dan yang mungkin masih canggung beraksi di atas
panggung.
Selain menghadapi tekanan internal dari KIH, pemerintahan yang
baru seumur jagung ini juga masih harus menghadapi DPR yang dikuasai Koalisi
Merah Putih (KMP). Kita berharap hubungan antara eksekutif dan legislatif
semakin konstruktif—bukan destruktif—demi memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Semoga saja apa yang dihadapi Jokowi akhir-akhir ini hanya sekadar
riak yang tak mengganggu tugasnya memimpin dan memerintah bangsa dan negara
ini. Insya Allah! []
Kompas, 31 Januari 2015
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar