Personifikasi
Institusi
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Personifikasi institusi adalah tindakan pengejawantahan atau penjelmaan diri seseorang pemimpin/pejabat publik dengan mengatasnamakan institusi. Selama tindakan itu sesuai dengan visi dan misi institusi, sekalipun dengan gaya khas seseorang, tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Seorang pemimpin/pejabat yang kreatif biasa keluar dari kotak (out of the box) demi tercapainya tujuan institusi. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, misalnya, adalah tipe pejabat yang tidak lazim, tetapi berbagai lembaga internasional telah menempatkannya pada posisi sebagai salah seorang wali kota terbaik dunia. Berbagai terobosan yang mengesankan telah ditandanginya untuk kepentingan kota dan warga Surabaya.
Orang boleh setuju atau tidak setuju dengan gaya kepemimpinannya, nama Wali Kota Surabaya ini telah menjadi tuturan simpatik manusia sejagat. Dalam kasus ini, personifikasi Risma telah menyatu dengan denyut nadi mayoritas warga Kota Surabaya, sesuatu yang baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah kota itu.
Lain halnya jika tindakan personifikasi itu merusak atau mencederai visi dan misi sebuah institusi, pastilah akan memicu prahara dan protes dari berbagai penjuru. Inilah yang terjadi dua bulan yang terakhir ini, saat perseteruan Polri dan KPK telah mencapai puncaknya dan menghebohkan panggung politik nasional, sesuatu yang tidak perlu berlaku sekiranya Kabareskrim Komjen Suhardi Alius tidak serta-merta dicopot dari jabatannya dengan tuduhan pengkhianat oleh penggantinya, Komjen Budi Waseso.
Suhardi selama dua tahun masa jabatannya dikenal sebagai pejabat yang telah bersinergi dengan KPK dan PPATK. Tuan dan Puan boleh bertanya kepada kalangan polisi yang paham peta, tentu akan mendapat jawaban bahwa Suhardi telah menjadi korban pertarungan internal elite polisi yang sama sekali tidak sehat, demi pembelaan membabi buta terhadap Komjen Budi Gunawan (BG) yang dicalonkan sebagai kapolri oleh Presiden yang disetujui DPR.
Sepintas lalu, penentang pencalonan seorang yang tersangka itu berada di pihak pelawan arus formal, tetapi dari sisi moralitas dan rasa keadilan publik, para penentang ini tidak diragukan lagi adalah pihak yang berada di atas rel yang benar. Publik tahu bahwa pencalonan BG sarat dengan kepentingan politik kepartaian yang sudah berada di luar nalar yang sehat. Cengkeraman kuku parpol dalam penentuan pimpinan kepolisian sungguh telah sangat merusak institusi penegak hukum itu. Di belakang layar kabarnya juga bermain politisi busuk, pengusaha hitam, dan para koruptor yang selama ini diincar KPK.
Saya tidak keberatan dengan pendapat yang mengatakan bahwa ada oknum Komisioner KPK yang kurang bijak dalam gaya kepemimpinannya dalam melawan korupsi, tetapi hendaklah diinsafi bahwa semuanya itu adalah cacat seberat kacang goreng. Dari seorang komjen pol yang masih aktif, saya diberi tahu bahwa penangkapan Komisioner KPK Bambang Widjojanto secara biadab itu tidak punya dasar legalitas yang kuat. Begitu juga proses kriminalisasi atas para penyidik KPK tidak lain adalah sebuah sandiwara balas dendam yang harus disudahi sekarang dan untuk selama-lamanya, jika memang bangsa ini tidak rela ditenggelamkan oleh kejahatan korupsi yang masif dan sistemis.
Kesimpulannnya: nafsu pembumihangusan KPK selama beberapa tahun berjalan, dan teristimewa sejak empat minggu terakhir, tidak lain dari personifikasi institusi secara salah dan kasar oleh oknum Kabareskrim demi meragakan sikap setia kawan yang amoral, tetapi yang dengan mudah terbaca oleh publik. Keputusan Presiden untuk mencalonkan kapolri yang baru cukup dinilai realistis, sekalipun belum tentu memuaskan. []
REPUBLIKA.CO.ID,
24 February 2015
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar