Kamis, 12 Februari 2015

Satrawi: Menghentikan Metamorfosis Radikalisme



Menghentikan Metamorfosis Radikalisme
Oleh: Hasibullah Satrawi

SADISME dan radikalisme terus dipertontonkan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ke masyarakat dunia.Sadisme mutakhir dilakukan oleh ISIS terhadap pilot tempur Yordania bernama Moaz al-Kassasbeh dengan cara dibakar dalam keadaan hidup.Kejadian ini hanya berselang beberapa hari dari eksekusi mati yang juga dilakukan oleh ISIS terhadap tahanan dari Jepang.

Sementara itu masyarakat dunia tak kunjung melakukan aksi nyata yang bersifat strategis dan komprehensif untuk menghentikan sadisme dan radikalisme seperti kerap dilakukan ISIS ataupun kelompok-kelompok radikal lain. Aksi nyata strategis yang penulis maksud ialah sebuah upaya yang bersifat komprehensif, mulai pencegahan, penyelesaian akar-akar masalah, hingga pendekatan yang bersifat militeristik.

Hal yang kerap dilakukan oleh masyarakat dunia justru penyelesaian yang bersifat militeristik. Apa yang dilakukan oleh koalisi global di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk menghancurkan ISIS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang penulis sampaikan. Alih-alih berhasil, ISIS bahkan tampak lebih brutal. Bahkan sebagian dari anggota koalisi AS (seperti Uni Emirat Arab) belakangan diberitakan menarik diri dari koalisi AS pascapembakaran terhadap tahanan dari Yordania.

Konflik politik

Dalam konteks Timur Tengah, setidaknya ada dua faktor utama bagi munculnya pelbagai radikalisme. Pertama, konflik politik. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara di Timur Tengah yang menghadapi persoalan radikalisme secara akut, khususnya negara-negara yang sempat dilanda Arab Spring seperti Libia, Mesir, Yaman, dan Suriah.

Secara politik, dunia mungkin berbeda-beda dalam menyikapi radikalisme yang terjadi di negaranegera tersebut. Dalam konteks ISIS yang kerap menebar sadisme di bumi Suriah dan Irak, contohnya, masyarakat dunia seakan berhasil mencapai konsesnus bahwa gerakan ini harus dijadikan sebagai musuh bersama.

Namun, sikap masyarakat dunia berbeda menyikapi pelbagai radikalisme di Mesir yang diduga melibatkan para pengikut maupun simpatisan Ikhwan Muslimin, khususnya setelah militer menggulingkan Muhammad Mursi pada 2013 lalu, bahkan walaupun otoritas Mesir saat ini telah memvonis Ikhwan Muslimin sebagai gerakan teroris.

Perbedaan sikap masyarakat dunia lebih parah lagi terjadi dalam konteks Palestina. Pelbagai kekerasan yang kerap terjadi di wilayah ini acap `terlupakan begitu' saja. Pada hal aksi kekerasan demi kekerasan di wilayah ini telah merenggut ribuan nyawa.

Perbedaan sikap negara-negara dunia seperti itu tentu sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing. Namun, hal yang harus diperhatikan ialah bahwa pelbagai aksi kekerasan yang ter jadi di negara-negara itu sesungguh nya menampakkan satu substansi, yaitu hilangnya perdamaian, hilang nya rasa aman, bahkan hancurnya kemanusiaan. Dilihat dari segi faktor, pelbagai kekerasan yang terjadi disebabkan oleh faktor konflik poli tik yang berkepanjangan.

Dengan kata lain, konflik politik yang berkepanjangan akan memicu lahirnya pelbagai bentuk radikal isme dan sadisme. Inilah yang kerap terjadi di Palestina, terus berlang sung di Suriah, Mesir, dan yang lainnya.

Oleh karena itu, sejatinya masya rakat dunia memberikan perhatian yang sangat besar untuk mendorong penyelesaian pelbagai konflik politik di wilayah ini. Alih-alih, masyarakat dunia seakan hanya lebih suka berperang daripada secara serius menyelesaikan konflik konflik yang ada.

Apa yang terjadi dengan ISIS saat ini bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan. Masyarakat dunia tampak lebih suka menyerang ISIS secara langsung daripada menyelesaikan konflik politik yang terjadi di Suriah dan Irak. Padahal ISIS sesungguhnya terlahir akibat pelbagai konflik politik yang terjadi di dua negara itu secara berkepanjangan dan acap tak terselesaikan sampai hari ini.

Bahkan dalam konteks Palestina, masyarakat dunia seakan sangat berat untuk mendukung negara ini merdeka dan berdampingan secara damai dengan Israel. Bahkan upayaupaya diplomasi di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mewujudkan Palestina yang merdeka acap dipandang sebelah mata.

Puritanisme keagamaan

Kedua, puritanisme keagamaan.Ini adalah faktor yang tak kalah menentukan 
bagi tumbuh suburnya pelbagai kelompok radikal di Timur Tengah. Konteks soial dan politik yang jauh dari kedamaian bisa menjadi lahan yang subur bagi munculnya paham dan gerakan keagamaan yang bercorak puritanistik dan teroristik.

Dengan kata lain, paham keagamaan bisa menjadi justifikasi bagi cita-cita kekerasan yang dilahirkan dari konteks sosial-politik yang jauh dari rasa aman dan ketenteraman. Melalui justifikasi keagamaan, kekerasan yang dirancang oleh kelompok tertentu bisa berjalan secara sadis yang tak menampakkan `wajah luhur' agama sedikit pun.

Kenyataan di atas kerap kita temukan dari pelbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama, tak terkecuali sadisme mutakhir yang dilakukan oleh kelompok ISIS (sebagaimana telah disampaikan di atas). Harus diakui bersama, aksi-aksi itu dilakukan dengan justifikasi keagamaan. Tapi justru tak ada nuansa agama sedikit pun dalam aksiaksi brutal nan sadis yang mereka lakukan.

Hal yang harus dipahami bersama, puritanisme dan radikalisme keagamaan acap berjalan dengan semangat `mengiris-iris' kesatuan umat. Dalam studi gerakan radikal, semangat ini lahir dari kecenderungan mengekslusifkan kelompok sendiri sekaligus menihilkan yang lain.Maka, kelompok maupun bangsa yang pada awalnya satu, kemudian dipecah sedemikian rupa berdasarkan `kelompok kita' dan `kelompok mereka'. Begitu seterusnya hingga kelompok yang satu menjadi varian-varian kecil. Bahkan varian-varian yang kecil terus diiris menjadi lebih kecil lagi dengan nuansa sadisme yang jauh lebih ekstrem lagi.

Inilah yang saat ini dialami oleh ISIS. Kelompok yang pada awalnya menginduk ke Al-Qaeda itu kini tampil dengan radikalisme dan sadisme yang jauh lebih ekstrem ketimbang yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Adapun Al-Qaeda sendiri merupakan metamorfosis dari gerakan-gerakan radikal lain yang ada sebelumnya.

Oleh karena itu, masyarakat dunia harus segera menghentikan metamorfosis radikalisme ini, termasuk pemerintah Indonesia, yakni dengan menyelesaikan konflik-konflik politik yang ada dan disertai dengan penguatan paham keagamaan yang bersifat toleran dan moderat. Apalagi gerakan radikal di negeri ini juga mengalami metamorfosis yang kurang lebih sama. []

MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2015
Hasibullah Satrawi  ;  Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar