Menghentikan
Metamorfosis Radikalisme
Oleh:
Hasibullah Satrawi
SADISME
dan radikalisme terus dipertontonkan oleh Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) ke masyarakat dunia.Sadisme mutakhir dilakukan oleh ISIS terhadap pilot
tempur Yordania bernama Moaz al-Kassasbeh dengan cara dibakar dalam keadaan
hidup.Kejadian ini hanya berselang beberapa hari dari eksekusi mati yang juga
dilakukan oleh ISIS terhadap tahanan dari Jepang.
Sementara
itu masyarakat dunia tak kunjung melakukan aksi nyata yang bersifat strategis
dan komprehensif untuk menghentikan sadisme dan radikalisme seperti kerap
dilakukan ISIS ataupun kelompok-kelompok radikal lain. Aksi nyata strategis
yang penulis maksud ialah sebuah upaya yang bersifat komprehensif, mulai
pencegahan, penyelesaian akar-akar masalah, hingga pendekatan yang bersifat
militeristik.
Hal yang
kerap dilakukan oleh masyarakat dunia justru penyelesaian yang bersifat
militeristik. Apa yang dilakukan oleh koalisi global di bawah pimpinan Amerika
Serikat (AS) untuk menghancurkan ISIS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh
dari yang penulis sampaikan. Alih-alih berhasil, ISIS bahkan tampak lebih
brutal. Bahkan sebagian dari anggota koalisi AS (seperti Uni Emirat Arab)
belakangan diberitakan menarik diri dari koalisi AS pascapembakaran terhadap
tahanan dari Yordania.
Konflik
politik
Dalam
konteks Timur Tengah, setidaknya ada dua faktor utama bagi munculnya pelbagai
radikalisme. Pertama, konflik politik. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak
negara di Timur Tengah yang menghadapi persoalan radikalisme secara akut,
khususnya negara-negara yang sempat dilanda Arab Spring seperti Libia, Mesir,
Yaman, dan Suriah.
Secara
politik, dunia mungkin berbeda-beda dalam menyikapi radikalisme yang terjadi di
negaranegera tersebut. Dalam konteks ISIS yang kerap menebar sadisme di bumi
Suriah dan Irak, contohnya, masyarakat dunia seakan berhasil mencapai konsesnus
bahwa gerakan ini harus dijadikan sebagai musuh bersama.
Namun,
sikap masyarakat dunia berbeda menyikapi pelbagai radikalisme di Mesir yang
diduga melibatkan para pengikut maupun simpatisan Ikhwan Muslimin, khususnya
setelah militer menggulingkan Muhammad Mursi pada 2013 lalu, bahkan walaupun
otoritas Mesir saat ini telah memvonis Ikhwan Muslimin sebagai gerakan teroris.
Perbedaan
sikap masyarakat dunia lebih parah lagi terjadi dalam konteks Palestina.
Pelbagai kekerasan yang kerap terjadi di wilayah ini acap `terlupakan begitu'
saja. Pada hal aksi kekerasan demi kekerasan di wilayah ini telah merenggut
ribuan nyawa.
Perbedaan
sikap negara-negara dunia seperti itu tentu sesuai dengan kepentingan nasional
masing-masing. Namun, hal yang harus diperhatikan ialah bahwa pelbagai aksi
kekerasan yang ter jadi di negara-negara itu sesungguh nya menampakkan satu
substansi, yaitu hilangnya perdamaian, hilang nya rasa aman, bahkan hancurnya
kemanusiaan. Dilihat dari segi faktor, pelbagai kekerasan yang terjadi
disebabkan oleh faktor konflik poli tik yang berkepanjangan.
Dengan
kata lain, konflik politik yang berkepanjangan akan memicu lahirnya pelbagai
bentuk radikal isme dan sadisme. Inilah yang kerap terjadi di Palestina, terus
berlang sung di Suriah, Mesir, dan yang lainnya.
Oleh
karena itu, sejatinya masya rakat dunia memberikan perhatian yang sangat besar
untuk mendorong penyelesaian pelbagai konflik politik di wilayah ini.
Alih-alih, masyarakat dunia seakan hanya lebih suka berperang daripada secara
serius menyelesaikan konflik konflik yang ada.
Apa yang
terjadi dengan ISIS saat ini bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang
telah disampaikan. Masyarakat dunia tampak lebih suka menyerang ISIS secara
langsung daripada menyelesaikan konflik politik yang terjadi di Suriah dan
Irak. Padahal ISIS sesungguhnya terlahir akibat pelbagai konflik politik yang
terjadi di dua negara itu secara berkepanjangan dan acap tak terselesaikan
sampai hari ini.
Bahkan
dalam konteks Palestina, masyarakat dunia seakan sangat berat untuk mendukung
negara ini merdeka dan berdampingan secara damai dengan Israel. Bahkan
upayaupaya diplomasi di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
mewujudkan Palestina yang merdeka acap dipandang sebelah mata.
Puritanisme
keagamaan
Kedua,
puritanisme keagamaan.Ini adalah faktor yang tak kalah menentukan
bagi
tumbuh suburnya pelbagai kelompok radikal di Timur Tengah. Konteks soial dan
politik yang jauh dari kedamaian bisa menjadi lahan yang subur bagi munculnya
paham dan gerakan keagamaan yang bercorak puritanistik dan teroristik.
Dengan
kata lain, paham keagamaan bisa menjadi justifikasi bagi cita-cita kekerasan
yang dilahirkan dari konteks sosial-politik yang jauh dari rasa aman dan
ketenteraman. Melalui justifikasi keagamaan, kekerasan yang dirancang oleh
kelompok tertentu bisa berjalan secara sadis yang tak menampakkan `wajah luhur'
agama sedikit pun.
Kenyataan
di atas kerap kita temukan dari pelbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama, tak terkecuali sadisme mutakhir
yang dilakukan oleh kelompok ISIS (sebagaimana telah disampaikan di atas).
Harus diakui bersama, aksi-aksi itu dilakukan dengan justifikasi keagamaan.
Tapi justru tak ada nuansa agama sedikit pun dalam aksiaksi brutal nan sadis
yang mereka lakukan.
Hal yang
harus dipahami bersama, puritanisme dan radikalisme keagamaan acap berjalan
dengan semangat `mengiris-iris' kesatuan umat. Dalam studi gerakan radikal,
semangat ini lahir dari kecenderungan mengekslusifkan kelompok sendiri
sekaligus menihilkan yang lain.Maka, kelompok maupun bangsa yang pada awalnya
satu, kemudian dipecah sedemikian rupa berdasarkan `kelompok kita' dan
`kelompok mereka'. Begitu seterusnya hingga kelompok yang satu menjadi
varian-varian kecil. Bahkan varian-varian yang kecil terus diiris menjadi lebih
kecil lagi dengan nuansa sadisme yang jauh lebih ekstrem lagi.
Inilah
yang saat ini dialami oleh ISIS. Kelompok yang pada awalnya menginduk ke
Al-Qaeda itu kini tampil dengan radikalisme dan sadisme yang jauh lebih ekstrem
ketimbang yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Adapun Al-Qaeda sendiri merupakan
metamorfosis dari gerakan-gerakan radikal lain yang ada sebelumnya.
Oleh
karena itu, masyarakat dunia harus segera menghentikan metamorfosis radikalisme
ini, termasuk pemerintah Indonesia, yakni dengan menyelesaikan konflik-konflik
politik yang ada dan disertai dengan penguatan paham keagamaan yang bersifat
toleran dan moderat. Apalagi gerakan radikal di negeri ini juga mengalami
metamorfosis yang kurang lebih sama. []
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2015
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar