Selasa, 03 Februari 2015

Azyumardi: Asia-Arabia



Asia-Arabia
Oleh: Azyumardi Azra

Kebangkitan dramatis Asia, khususnya China, India dan kemudian juga Indonesia, dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir menimbulkan kesan mendalam dan sekaligus pertanyaan di Arabia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi semacam reorientasi dalam perdagangan Arabia. Perdagangan di antara negara-negara Asia, termasuk Arabia, kini melebihi perdagangan antara Asia dan Barat.

Reorientasi perdagangan itu boleh jadi mempengaruhi tidak hanya bidang ekonomi, tapi juga politik. Arabia yang dalam waktu lama berada di bawah hegemoni kekuatan ekonomi dan politik kolonial Eropa patut menoleh ke Asia. Setelah perang dunia II, hegemoni hampir sepenuhnya dipegang Amerika Serikat.

Meski sejak 1970an sejumlah negara Arabia sejak dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Uni Emirat Barat memperoleh bonanza keuangan berkat eksploatasi minyak dan gas secara besar-besaran, mereka tidak tumbuh menjadi economic powerhouse. Sebaliknya, negara-negara ini menghabiskan banyak dana untuk pertahanan dan proyek mercusuar semacam ‘burj al-‘arab’ (menara Arab) yang kini merupakan gedung tertinggi di dunia atau menara jam Makkah yang juga tertinggi di dunia dalam kelasnya.

Bonanza minyak dan gas Arabia dengan demikian hampir tidak banyak berguna untuk menciptakan konstelasi ekonomi dan politik baru di kawasan ini. Arabia tetap merupakan wilayah penuh konflik yang tidak terselesaikan selama berpuluh tahun. Bahkan konflik dan kekerasan baru muncul dan terus bergejolak di tengah hegemoni AS yang tidak efektif menjadi kekuatan pemelihara sekuriti di wilayah Arabia.

Memandang berbagai realitas dan tren yang terus berkembang, wilayah yang sering juga disebut sebagai Dunia Arab atau sedikit luas Timur Tengah  kini mempertimbangkan lebih serius lagi mengakselerasikan hubungan yang sudah sangat lama—bahkan sejak masa sebelum datangnya Islam—dengan Asia.

Dalam konteks itu, Arabia mencoba menemukan kembali hubungan satu sama lain dengan Asia melalui jaringan lama terkait agama, perdagangan, politik dan diplomasi dan hubungan baru dalam hal ekspor-impor, parawisata, pendidikan. Semua hubungan ini, baik lama maupun baru sangat potensial dalam membangun reorientasi Arabia dengan ‘look to the East’.

Hubungan dan jaringan Arabia dengan Asia, khususnya, China, India dan Indonesia, menjadi pokok pembicaraan dalam The Rahmania Annual Seminar yang diselenggarakan di al-Ghat, sebuah kawasan wadi sekitar 250 kilometer dari Riyadh (3-5/1). Pembahasan berlanjut dalam Dialog Ammariyya tentang hubungan Arabia-Asia di Wadi Ammariya, sekitar 50 kilometer di luar Kota Riyadh (6/1).

Tidak ragu Arab Saudi merupakan pemain utama dalam reorientasi ‘look to East’ bukan hanya karena ukuran ekonominya yang termasuk salah satu terbesar di dunia sehingga merupakan anggota G-20, tapi juga posisi sentralnya dalam ibadah haji. Peningkatan jumlah jamaah haji secara signifikan tahun demi tahun juga menjadi pendapatan (revenue) utama Arab Saudi.

Tetapi reorientasi ke Timur ini juga memerlukan perimbangan ulang (rebalancing) secara material menyangkut sumber-sumber ekonomi dan sekaligus sikap mental dan intelektual. Hanya dengan perimbangan baru baik secara material maupun mental, orientasi baru ke Timur dapat berhasil.

Seperti terungkap dalam pembicaraan pada kedua konperensi, secara mental dan intelektual, masyarakat Arabia tidak mengetahui banyak tentang Dunia Timur. Bahkan juga mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang kehidupan agama, sosial dan budaya yang ada di China, India dan Indonesia.

Para audiens Arab mafhum belaka bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Mereka juga tahu tentang jamaah haji Indonesia yang paling tertib dan kalem ketika melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka, jamaah haji Indonesia paling terorganisasi baik.

Tetapi mereka tidak tahu banyak tentang Islam Indonesia. Seperti bisa diduga mereka memandang Islam Indonesia dari kacamata Wahabi. Mereka merasa sedikit aneh ketika penulis Resonansi ini menjelaskan tentang kepaduan syariah dan tasawuf dalam keilmuan dan praktik keislaman banyak ulama dan kaum Muslimin Indonesia.

Sepanjang sejarah keilmuan dan keulamaan Nusantara, khususnya sejak abad 17, hampir seluruh ulama sejak dari Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, Muhammad Yusuf al-Maqassari, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdussamad al-Palimbani sampai Nawawi al-Bantani sangat menekankan pentingnya kepatuhan pada syari’ah. Pada saat yang sama, mereka juga memandang pentingnya peningkatan kualitas amal melalui pengamalan tasawuf.

Tetapi bagi banyak audiens Arab, tasawuf tidak lain merupakan bid’ah yang merusak kemurnian Islam. Karena itu menurut mereka perlu ‘kompartementalisasi’ (pemisahan) antara syari’ah dengan tasawuf, sehingga tidak terjadi ‘sinkretisme’ dalam keimanan dan praktek Islam.

Persepsi semacam ini pastilah tidak ‘nyambung’ dengan realitas Islam Indonesia. Jika Arabia benar-benar ingin memandang ke Timur ke Indonesia, sepatutnya pemahaman dan apresiasi mereka pada tradisi Islam Indonesia perlu ditingkatkan. []

REPUBLIKA.CO.ID, 22 Januari 2015
Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar