Parpol, DPR, dan Masyarakat Sipil
Oleh: Azyumardi Azra
Akhirnya Presiden Joko Widodo tidak jadi melantik Komisaris
Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Sebaliknya, Presiden mengusulkan
Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri baru. Jelas
keputusan Presiden yang telah ditunggu cukup lama—yang sempat membuat gemas dan
gusar kalangan masyarakat, LSM, kelompok masyarakat sipil (civil society),
pengguna internet (netizen) di dunia maya, dan politisi—cukup melegakan. Kini
keputusan itu setidaknya sudah ada, kegundahan dan kegusaran berlalu sudah.
Namun, segera jelas, membatalkan Budi Gunawan (BG) sebagai calon
Kapolri yang sudah disetujui DPR dan mencalonkan Badrodin Haiti untuk mendapat
persetujuan DPR bakal tidak berjalan mulus. Hari-hari mendatang tampaknya
kembali diliputi kegaduhan politik yang bisa meningkatkan eskalasi politik
nasional.
Isyarat kembalinya kegaduhan politik itu sudah terlihat. Sejumlah
politisi, khususnya dari PDI-P—partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla—sudah
terdengar suara penolakannya atau sedikitnya mempersoalkan keputusan Presiden
Jokowi. Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (PDI-P) menyatakan tetap
menginginkan Presiden Jokowi melantik BG.
Secara umum, PDI-P terlihat kecewa berat atas keputusan Presiden
Jokowi. Meski demikian, terdapat pihak yang ”memahami” keputusan Presiden, dan
karena itu akan memperjuangkan semua kebijakan Presiden Jokowi di DPR. Dwi Ria
Latifa, politisi PDI-P di Komisi III, menyatakan, sikap itu merupakan instruksi
langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Nada sama—atau lebih keras—juga datang dari kalangan parpol lain
yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang awalnya merupakan lawan
politik Jokowi-Kalla. Sebagai kubu politik yang berseberangan dengan
pemerintahan Jokowi-Kalla, KMP mengagetkan publik ketika mereka secara aklamasi
mendukung BG menjadi calon Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi.
Sikap ini, misalnya, terlihat dari pernyataan anggota Komisi III,
Bambang Soesatyo (Partai Golkar), yang menyatakan pembatalan pencalonan BG dan
pengajuan Badrodin Haiti bakal sulit diterima di Rapat Paripurna DPR. Dalam
sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu, dia menegaskan, keputusan Presiden
Jokowi itu membawa Istana ke titik paling rendah. Ia menyatakan, ”Kita berharap
Istana Negara menjadi sebuah istana rajawali, bukan istana kampret.”
Entah kenapa anggota dan pimpinan DPR bersikap seperti itu, yang
disertai kalimat yang tidak dapat disebut santun. Apa sesungguhnya yang terjadi
di balik layar dengan sikap rawe rawe rantas malang malang putung (semua
kekuatan harus dikerahkan) dalam pencalonan BG itu? Political deal apakah yang
berantakan gara-gara batalnya BG dilantik sebagai Kapolri? Sebaliknya,
political deal apa lagi yang harus dibangun agar DPR bersetuju Badrodin Haiti
sebagai calon Kapolri baru? Kita tidak tahu dan tidak bisa berspekulasi tentang
apa dan bagaimana political deal selanjutnya.
Terlepas ada tidaknya political deal di kalangan parpol di DPR,
jelas pergaduhan politik yang terjadi di lembaga legislatif ini bakal menambah
kekecewaan banyak pemilih. Jelas elite politik, baik di parpol maupun di DPR,
lebih sibuk dengan kepentingan sendiri daripada kepentingan pemilih dan publik.
Para pemilih yang mengharapkan elite politik dan anggota DPR mendukung
pemberantasan korupsi bakal tambah kecewa, yang ujungnya boleh jadi
meningkatkan frustrasi dan apatisme politik.
Namun, frustrasi dan apatisme politik tidak akan menghasilkan
apa-apa. Sebaliknya, hanya membuka ruang lebih besar lagi bagi kian
meningkatnya manipulasi dan the use and abuse politik demi kepentingan parpol
dan koalisi masing-masing.
Oleh karena itu, frustrasi dan apatisme politik di kalangan
masyarakat jangan dibiarkan tumbuh. Sebaliknya, masyarakat sipil mesti terus
bertahan untuk berjuang menghadapi kegaduhan politik yang jelas merugikan
kepentingan negara-bangsa.
Kasus pembatalan pencalonan BG oleh Presiden Jokowi sangat terkait
dengan meningkatnya aktivisme masyarakat sipil. Kegaduhan politik yang terus
meningkat terkait pencalonan BG serta penetapan dua komisioner KPK dan
kriminalisasi terhadap sejumlah aparat KPK telah mendorong revitalisasi masyarakat
sipil.
Masyarakat sipil terdiri dari berbagai kelompok kampus, LSM,
ormas, Tim 9 Independen, sampai warga pengguna internet di dunia maya. Dengan
banyaknya media massa yang cenderung memihak mereka, masyarakat sipil dapat
menghadirkan tekanan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam kegaduhan
politik terkait kasus pencalonan BG yang disertai kriminalisasi terhadap
sejumlah fungsionaris KPK.
Tugas dan tantangan masyarakat sipil tampaknya jauh dari selesai.
Mengantisipasi kegaduhan politik baru di DPR terkait gejala penolakan terhadap
Badrodin Haiti, masyarakat sipil patut tetap waspada dan siap bergerak dengan
damai dan keadaban.
Tidak kurang pentingnya adalah mencegah berlanjutnya kriminalisasi
(fungsionaris) KPK. Publik menunggu—agaknya dengan gemas—apakah pemimpin
sementara KPK Taufiequrachman Ruki dan calon Kapolri Badrodin Haiti dapat
bersepakat menyudahi kriminalisasi itu, yang tidak kondusif bagi penciptaan
sinergi antara KPK dan Polri dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan pemerintahan
bersih. []
KOMPAS, 24 Februari 2015
Azyumardi Azra ; Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat
Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar