Selasa, 17 Februari 2015

Kang Komar: Membaca Joko Widodo



Membaca Joko Widodo
Oleh: Komaruddin Hidayat

Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi, merupakan sosok fenomenal. Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di bidang mebel, dia lalu masuk jajaran kelas menengah.

Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo yang berhasil. Jika diletakkan dalam deretan bupati dan wali kota lain yang dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi Jokowi tak jauh berbeda dari Bu Risma, Wali Kota Surabaya, atau Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi. Yang membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi politik. Di atas semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi.

Dalam keyakinan Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para leluhurnya. Jadi, dalam kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar wasilah.

Adapun garis tangan sudah ditetapkan dari langit. Kalau dalam pandangan modern, posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan jejaring politik, terutama PDIP yang menjagokannya.

Dan kini ketika suasana gaduh, perlu diurai kembali serta direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat ini. Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap metamorfosis untuk pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya sangat cepat, menyalip dan mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang sudah malangmelintang belasan dan puluhan tahun baik dalam tubuh parpol maupun pemerintahan.

Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang kemudian berhasil memenangi Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu loncatan kuantum (political quantum leap). Agenda penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap berhasil, ditambah lagi kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi oleh media massa pendukungnya sebagai antitesis dari gaya kepemimpinan formal- elitis politisi pesaingnya.

Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber community tentu saja sangat menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum selesai mengemban tugas sebagai gubernur, sudah naik dan lebih berat lagi medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden. Kemenangan Jokowi, sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik konvensional. Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan ucapannya ”Rapopo”.

Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan bukan sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil melakukan improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang. Jika bacaaninibenar, GusDurdanJokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri heboh. Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan ongkos sosial-material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.

Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong Jokowi, melainkan dari mereka yang bersimpati dan memiliki harapan serta kepentingan dengan kemenangan Jokowi. Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu saja bermacam- macam dan tidak mesti berkonotasi negatif. Memang selalu ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi dengan cara membayar saham politik di depan.

Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya Presiden Jokowi. Bahkan diri Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas karena setiap pribadi memiliki potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu dengan variabel pendukungnya.
Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang kemudian melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi yang tak terbayangkan sebelumnya.

Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga- duga apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan berbagai political stakeholder ini. Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian, dan jebakan yang semua itu akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri.

Dulu Pak Harto bermodalkan Supersemar untuk merintis kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut politik yang berdarah- darah dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang mengatasi rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para pembantunya, alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk duduk di jajaran kabinet. Namun kendali politik tetap di tangannya.

Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang Jawa, memang tidak mudah dibaca dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap tenangnya.

Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi Jokowi, akankah perseteruan jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan mematangkan sosok Jokowi sebagai presiden lima tahun ke depan sebagai sosok yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik ucapannya: rapopo ? Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi meskipun mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama.

Dia boleh saja yakin bahwa posisi presiden itumerupakantakdirdanpenunjukan dari langit. Namun masyarakat modern semakin berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak Tuhan itu telah didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei. Rakyat telah menunjukkan harapan, kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu sehingga Jokowi jadi presiden.

Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu dikecewakan, baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilus ikapnya sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji angin surga. []

Koran SINDO, 13 Februari 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar