Mengirim Pesan Keliru
Oleh: Azyumardi Azra
Agaknya tidak salah kalau mengasumsikan, pencalonan Komisaris
Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara RI baru oleh Presiden
Joko Widodo telah mengirim sejumlah pesan keliru kepada masyarakat luas
(sending wrong messages to the public), baik di dalam maupun luar negeri.
Kehebohan media dan masyarakat menyangkut pencalonan Kapolri yang ditetapkan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka korupsi benar-benar menyentak
kesadaran.
Mempertahankan pencalonan seorang tersangka sebagai Kapolri,
sedangkan komisioner KPK satu demi satu mengalami kriminalisasi yang tidak
masuk akal, kian memperkuat ada pesan keliru tersebut.
Lebih jauh, kian lama berlanjutnya saga (serangkaian kejadian yang
biasanya negatif) dalam kasus pencalonan Budi Gunawan (BG), kian remuk pula
citra Presiden Jokowi. Bukan hanya itu, skeptisisme dan ketidakpercayaan
(distrust) di kalangan publik juga terus meningkat. Menguatnya sikap kalangan
publik seperti ini jelas sangat merugikan Presiden Jokowi dalam menggalang
dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengakselerasikan kembali pembangunan
negeri ini.
Pesan keliru utama yang sulit dielakkan dari pencalonan tersebut
adalah Presiden Jokowi tidak sepenuhnya pro pemberantasan korupsi. Dengan tidak
mencabut pencalonan BG sebagai Kapolri dan menggantinya dengan calon lain,
Presiden Jokowi gagal memperbaiki keadaan—damage has been done, kerusakan telah
telanjur terlakukan. Pernyataan Presiden Jokowi yang normatif bahwa ia
menyerahkan kasus ini kepada penyelesaian secara hukum tidak mampu memulihkan
keadaan.
Entah bagaimana cara Presiden Jokowi memulihkan citranya yang
terlihat kian merosot. Blusukan yang terus dilakukan terlihat tidak lagi
menarik perhatian. Bahkan, mulai terdengar suara-suara yang mempertanyakan
penggunaan anggaran dan pemberian bantuan dalam blusukan Presiden.
Satu per satu media mulai meninggalkannya. Presiden Jokowi kian
tidak lagi menjadi media darling. Padahal, banyak media sebelumnya merupakan ”corong”
Jokowi sejak ia masih menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai
masa pencalonannya sebagai Presiden.
Kekecewaan publik yang bermula dari komposisi kabinet yang tidak
sesuai harapan karena lebih mengindikasikan ”dagang sapi” dengan parpol-parpol
pendukung tampaknya merupakan titik balik popularitas Presiden Jokowi. Presiden
dipandang bertanggung jawab atas menteri-menteri yang gagal meyakinkan publik
bahwa mereka mampu bekerja baik untuk negeri ini.
Pencalonan BG juga dicurigai banyak kalangan masyarakat sebagai
bagian dari bagi-bagi jatah kekuasaan—dalam hal ini untuk PDI-P. Ketua Umum
PDI-P Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai pihak yang menekan Presiden
Jokowi untuk mencalonkan dan mempertahankan pencalonan BG.
Aktivisme tokoh-tokoh PDI-P dalam kriminalisasi komisioner KPK dan
saat yang sama membela dan menuntut agar BG segera dilantik Presiden Jokowi
seolah mengonfirmasi ada tekanan pimpinan puncak PDI-P terhadap Presiden
Jokowi. Sejauh ini, Presiden Jokowi terlihat ”tunduk” pada tekanan tersebut.
Masih jadi tanda tanya, apakah Tim Konsultatif Independen yang diketuai Ahmad
Syafii Maarif dapat melepaskan Presiden Jokowi dari tekanan PDI-P itu.
Ketundukan Presiden Jokowi pada tekanan PDI-P jelas mengecewakan
banyak kalangan. Sejak masa pencalonannya, Jokowi telah jadi sasaran kampanye
negatif, bahwa jika kelak terpilih, ia hanya akan jadi ”boneka”. Karena itu,
mereka sangat berharap Presiden Jokowi bisa melepaskan diri dari
”bayang-bayang” Megawati Soekarnoputri.
Hasilnya, selama 100 hari pertama pemerintahan Presiden Jokowi
adalah terus berakumulasinya kekecewaan masyarakat mulai dari soal kabinet yang
tidak menjanjikan, pencalonan BG, hingga ketundukan Presiden Jokowi kepada
pimpinan PDI-P. Publik bisa menyaksikan, satu per satu barisan pendukungnya
mulai meninggalkannya. Banyak kalangan masyarakat bukan membela Presiden
Jokowi, melainkan sebaliknya kian banyak memihak KPK yang diibaratkan sebagai
pertarungan Daud versus Jalut (David versus Goliath), yang dalam bahasa populer
disebut sebagai ”Cicak versus Buaya”.
Kian banyak pula kalangan masyarakat yang percaya, Presiden Jokowi
tidak menepati janji dalam Nawa Cita poin dua, bahwa ”pemerintah tidak absen
dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
tepercaya dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik
pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi
melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan”.
Kasus pencalonan BG yang masih bertahan—sejauh menyangkut tata
kelola pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan korupsi—memperlihatkan
kecenderungan kian ”jauh panggang dari api”. Pesan keliru Presiden Jokowi tidak
kondusif terhadap pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi masih memiliki ”kesempatan emas” untuk memperbaiki
keadaan jika tidak ingin pemerintahannya terganduli kasus BG dan sebaliknya
dapat memulihkan kembali citra dan kepercayaan masyarakat. Tidak ada pilihan
lain bagi Presiden Jokowi kecuali mengajukan calon Kapolri yang memiliki rekam
jejak yang benar-benar berintegritas, jauh dari sebagai terduga, apalagi
tersangka korupsi. []
KOMPAS, 03 Februari 2015
Azyumardi Azra ; Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat
Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar