Bisa
Serah Terimakan Jabatan Komandan Koboi
Oleh: Dahlan Iskan
Senin, 12 Januari 2015
Inilah bunyi SMS terbanyak yang
saya terima tiga bulan terakhir : setelah tidak jadi menteri ngerjakan apa ?
Kok tidak pernah muncul ? Ke mana saja ? Balik ke Surabaya ? Kenapa tidak rutin
lagi menulis ? Dan sebangsa itu.
Saya
memang lagi menjalani sopan santun politik ini : pejabat yang baru lengser
sebaiknya jangan banyak bicara. Terutama mengenai penggantinya. Apalagi terus
mengkritik penerusnya. Jangan juga banyak tampil seperti menyesal menjadi orang
yang tidak terpakai.
Khusus
untuk saya ditambah dua lagi : jangan nonton TV dan jangan menulis di media.
Puasa total. Ngebleng.
Sampai
kapan ? Tanya beberapa teman. Jawaban saya biasanya tidak serius “Sampai masa idahnya
selesai”.
Puasa
berkomentar rasanya akan saya jalani untuk waktu yang sangat lama. Memang para
wartawan sangat penasaran ingin tahu komentar saya. Terutama soal jagoan lama
saya.
Pak Vu
Van Kui, eh Pak Dwi Sutjipto yang jadi Dirut Pertamina, soal Pak Sofyan Basir
yang dulu pun sudah saya usulkan menjadi Dirut PLN, soal Petral yang dulu juga
saya usulkan untuk dibubarkan, soal melemahnya rupiah, soal gedung BUMN yang
mau diapakan gitu.
Dan banyak lagi. Semuanya tidak ada yang saya jawab. Saya jelaskan kepada mereka soal sopan santun tadi. Pada wartawan mafhum. Saya tidak dikejar-kejar lagi.
Puasa
nonton TV juga bisa saya lakukan dengan sukses. Toh dulunya tidak sempat juga.
Untuk tidak sering-sering tampil juga kuat. Mesti permintaan berbicara di
kampur-kampus terus menumpuk.
Tapi yang
satu ini tidak bisa menolak : tampil di Mata Najwa. Apalagi disandingkan dengan
Bu Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan yang heboh itu. Kebetulan
Najwa Shihab, anchor acara Metro TV Mata Najwa itu, juga memberinya gelar
menteri koboi.
Saya
ingin ketemu beliau. Saya ingin bisik-bisik dengan Bu Susi di luar acara
syuting : bagaimana beliau bisa berani menghadapi beking-beking yang amat kuat
di belakang ilegal fishing itu. Saya membayangkan betapa beratnya beban beliau.
Bu Susi lantas bercerita panjang lebar di seputar hal-hal yang menyeramkan itu.
Termasuk cara-cara merayu dan menundukkan mereka. Dan ternyata tidak perlu
sambil bisik-bisik. Soalnya kami hanya berdua. Nada bicaranya seperti biasa :
meledak-ledak. dengan campuran Inggris.
Sesekali
tawanya meledak, dan seperti biasa pula, sambil memukuli bahu saya. Karena itu,
di depan Najwa saat istirahat syuting di Universitas Syah Kuala Banda Aceh itu,
kepada Najwa saya laporkan dengan gembira : sekarang saatnya jabatan komandan
koboi yang dulu Anda terimakan ke Bu Susi. Lagi-lagi beliau tertawa ngakak
sambil mukuli pundak saya.
“Puasa”
yang lain adalah untuk ini : saya “puasa” untuk mencari tahu ada perkembangan
apa di pemerintahan. Termasuk perkembangan di BUMN. Saya tidak pernah
menelepon, SMS , atau e-mail teman-teman di kementerian maupun di korporasi.
Tentu kangennnya luar biasa. Selama ini saya merasa begitu akrab dengan mereka.
Pejabat di Kementerian BUMN maupun direksi di BUMN. Tidak mengontak mereka itu
rasanya seperti “jihad” tersendiri. Dan Alhamdulillah bisa.
Untuk
tidak berkomentar dan yang lain-lain tadi rasanya bisa saya jalani dengan
mulus, semulus rasa kopi solong. Tapi puasa menulis ? Huh! Tidak tahan! Sakit.
Sakitnya tuh disini : di jempol ibu jari. Sudah lebih dari 30 tahun saya
kecanduan menulis. Sebagai penulis maupun sebagai wartawan. Tiba-tiba harus
berhenti menulis. Sakit.
Sakit,
dan gatal. Jari-jari ini gatal untuk tidak menulis. Apalagi kalau ketemu bahan
yang bagus yang sangat bermanfaat kalau ditulis. Seperti pengalaman saya 11
Desember lalu. Maka, saya akan akhiri puasa menulis ini. Saya anggap masa
idahnya sudah lewat. Khusus untuk urusan menulis yang satu ini : minggu depan.
Catatan:
“sakitnya di jempol” karena sudah dua tahun ini saya menulis naskah tidak lagi
dengan jari-jari di laptop, tapi hanya dengan satu jempol di smartphone.
Mula-mula dengan Blackberry. Lalu mulai belajar menggunakan layar sentuh. Sulit
sekali pindah ke layar sentuh. Apalagi saya tetap ingin hanya menyentuh dengan
satu ibu jari tangan kiri. Terlalu banyak salah huruf. Selama tiga bulan
“puasa” menulis, saya manfaatkan untuk belajar membiasakan diri pindah ke layar
sentuh Iphone. Lama-lama kesalahan berkurang dan inilah naskah pertama yang
saya tulis dengan satu ibu jari di layar sentuh Iphone. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar