Selasa, 10 Februari 2015

Mahfud MD: Mala Prohibita Abraham Samad



Mala Prohibita Abraham Samad
Oleh: Moh Mahfud MD

Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.

Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka tindak pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal. Belum jelas dan masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di dalamnya.

Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka. Namun sumber Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka karena pemalsuan dokumen di Sulawesi.

Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda penduduk Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.

Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan paspor.

Perbuatan yang dilakukan Samad pada tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus pemalsuan dokumen dan, konon, Samad sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Kalau cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah berlebihan.

Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai oleh umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik antara KPK dan Polri. Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak merugikan siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga dipergunakan untuk suatu kejahatan.

Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se, yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-undang, tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.

Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah-tengah masyarakat.

Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tapi, dalam praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai kasus kriminal, bahkan banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain memiliki KTP Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang memiliki KTP aktif sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat mengurus dokumen-dokumen kepindahannya.

Ada yang membuat SIM, tetapi kertas ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan jawaban yang sudah lengkap. Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang cenderung menerapkan permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang tidak disertai dengan mala in se. Polri bukannya tak tahu ini.

Pada 2012 oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang restorative justice.
Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum Indonesia.

Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus pidana tertentu yang tidak mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan mengenakan denda maksimal di lapangan. Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri menerapkan restorative justice. Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya mengandung mala prohibita tanpa mengandung malainse yangberarti.

Polri mengambil penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni. “Kalau tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto, mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad Ali. Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertai mala in se. []

KORAN SINDO, 07 Februari 2015
Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar