Mala
Prohibita Abraham Samad
Oleh: Moh
Mahfud MD
Krisis
hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita
bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan
yang dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.
Kesan
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana
sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan
sebagai tersangka tindak pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri
menjadi terganjal. Belum jelas dan masih simpang siur, apa kasus tersebut dan
bagaimana posisi Samad di dalamnya.
Wakapolri
Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan
(sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi
tersangka. Namun sumber Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi
menjadi tersangka karena pemalsuan dokumen di Sulawesi.
Kasus
yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk
mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya,
seperti yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki
paspor yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan
tidak memiliki kartu tanda penduduk Makassar karena bertempat tinggal di
provinsi lain.
Oleh
Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti
kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada
dokumen perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di
dalam KK itulah yang bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan paspor.
Perbuatan
yang dilakukan Samad pada tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus
pemalsuan dokumen dan, konon, Samad sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.
Kalau cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi
kalau itu benar, maka dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus
pemalsuan dokumen itu sangatlah berlebihan.
Tak
mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai oleh
umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena
konflik antara KPK dan Polri. Perbuatan Samad menolong orang itu memang
melanggar aturan, tetapi tidak merugikan siapa pun, tidak mengandung niat jahat
dan sampai sekarang paspor itu tidak juga dipergunakan untuk suatu kejahatan.
Di dalam
hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu
melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum,
tetapi belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum
ada juga mala in se, yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan
disebut jahat di dalam undang-undang, tetapi perbuatan itu memang merusak
karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip
umum kehidupan masyarakat yang beradab.
Membunuh
atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam
undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita
menerobos lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala
prohibita, jelas melanggar aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita
lupa membawa SIM saat menyopir di jalan umum, maka itu juga merupakan mala
prohibita yang tidak mengandung mala in se karena meski melanggar aturan
sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah-tengah masyarakat.
Apakah
melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan.
Tapi, dalam praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai
kasus kriminal, bahkan banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini,
misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain memiliki KTP Jakarta juga masih
memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang memiliki KTP aktif sampai enam
karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat mengurus dokumen-dokumen
kepindahannya.
Ada yang
membuat SIM, tetapi kertas ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani
dengan jawaban yang sudah lengkap. Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini
memang cenderung menerapkan permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala
prohibita yang tidak disertai dengan mala in se. Polri bukannya tak tahu ini.
Pada 2012
oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang dalam satu pertemuan Reskrim Polri
se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang restorative justice.
Saat itu
saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian
masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan
kecuali mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam
budaya hukum Indonesia.
Mahkamah
Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus pidana tertentu yang tidak
mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan
mengenakan denda maksimal di lapangan. Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan,
sudah lama Polri menerapkan restorative justice. Banyak kasus pelanggaran hukum
yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya mengandung mala prohibita tanpa
mengandung malainse yangberarti.
Polri
mengambil penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.
“Kalau tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus
kami bawa ke pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar
pengadilan,” kata Bekto Suprapto, mantan Kapolda Papua yang saat itu juga
menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad Ali. Kita berharap agar kasus
Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga untuk mengurus
paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertai mala in se. []
KORAN
SINDO, 07 Februari 2015
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar