Jumat, 06 Februari 2015

(Ngaji of the Day) Mengambil Uang Majikan Karena Gaji Tak Sesuai



Mengambil Uang Majikan Karena Gaji Tak Sesuai

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة الله وبركته

Saya ingin bertanya tentang seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Dia sudah memenuhi syarat-syarat seorang TKI dan melakukan semacam perjanjian kerja (PK) dengan majikannya sebagaimana diatur oleh pemerintah masing-masing negara termasuk gaji yang sudah ditentukan.

Permasalannya, ternyata gaji yang diberikan tidak sesuai dengan PK serta jam kerja yang melebihi di PK. Atas hal itu seorang TKI tersebut berinisiatif mengambil uang majikan tanpa sepengetahuan majikan agar sesuai dengan gaji yang tertera di PK walaupun masih tidak cukup. Bagaimana hukumnya?

Sebelumnya seorang TKI tersebut menandatangani gaji yang tidak sesuai dengan PK dengan perjanjian lain, tetapi itu dilakukan karena dipaksa, agar ia diberangkatkan bekerja di luar negeri. Sekian.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركته

Ipan Ependi, Sukabumi, Jawa Barat

Jawaban:

Wa’alaikumsalam wa rahamatullah wa barakatuh.

Saudara Ipan Ependi yang kami hormati.

Guna menopang hidup, tak jarang seseorang mendermakan dirinya untuk bekerja di negeri orang  meskipun hal ini bukanlah pilihan yang didambakan. Dalam prakteknya, banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari  sang majikan bahkan sampai melewati batas-batas kemanusiaan.

Saudara Ipan yang dimuliakan Allah.

Perjanjian yang dilakukan karena adanya tekanan (keterpaksaan) dari salah satu pihak yang bertransaksi hukumnya tidak sah menurut syara’. Jadi yang dianggap sebagai transaksi sebagaimana pertanyaan saudara adalah perjanjian kerja yang ditandatangani tanpa adanya unsur paksaan.

Semetara hukum mengambil uang yang dilakukan oleh TKI ini tidak dapat dikategorikan dalam pencurian yang mempunyai konsekuensi potong tangan (bagi negara yang memberlakukannya), karena ia (TKI) ini mengambil apa yang seharusnya menjadi  haknya. Hal ini merujuk pada kitab al-iqna’ :

وَالْخَامِس كَون السَّارِق (لَا ملك لَهُ فِيهِ) أَي الْمَسْرُوق فَلَا قطع بِسَرِقَة مَاله الَّذِي بيد غَيره وَإِن كَانَ مَرْهُونا أَو مؤجرا

Syarat kelima (diberlakukannya hukum potong tangan) dalam pencurian adalah pencuri tidak mempunyai hak milik atas benda yang dicuri. Oleh karena itu tidak boleh diberlakukan hukum potong tangan bagi orang yang mempunyai hak milik ditangan orang yang dicuri barangnya, meskipun barang tersebut sedang digadaikan atau disewakan.

Permasalahan berikutnya adalah apakah cara TKI tersebut dalam menuntut haknya dengan mengambil tanpa sepengatahuan sang majikan tersebut  dapat dibenarkan oleh syara’?

Komunikasi aktif antara majikan dan TKI tentunya harus dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti  ini. Kalaupun tidak dapat terealisasi, sang TKI tidak diperkenankan mengambil melebihi apa yang seharusnya haknya.

Jawaban ini kami analogikan dengan  kisah seorang wanita bernama Hindun yang tidak mendapatkan haknya (nafkah) lahir dari suaminya (Abi Sufyan). Lalu ia mengadukan masalahnya ini kepada Rasulullah saw dan menanyakan apakah berdosa mengambil harta suaminya secara diam-diam (tanpa sepengetahuan suami), Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu dan anak-anakmu secukupnya.”

Wallahu a’lam.

Maftukhan Sholikhin
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar