Mengambil Uang Majikan
Karena Gaji Tak Sesuai
Pertanyaan:
السلام
عليكم ورحمة الله وبركته
Saya ingin bertanya tentang seorang tenaga
kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Dia sudah memenuhi
syarat-syarat seorang TKI dan melakukan semacam perjanjian kerja (PK) dengan
majikannya sebagaimana diatur oleh pemerintah masing-masing negara termasuk
gaji yang sudah ditentukan.
Permasalannya, ternyata gaji yang diberikan
tidak sesuai dengan PK serta jam kerja yang melebihi di PK. Atas hal itu
seorang TKI tersebut berinisiatif mengambil uang majikan tanpa sepengetahuan
majikan agar sesuai dengan gaji yang tertera di PK walaupun masih tidak cukup.
Bagaimana hukumnya?
Sebelumnya seorang TKI tersebut
menandatangani gaji yang tidak sesuai dengan PK dengan perjanjian lain, tetapi
itu dilakukan karena dipaksa, agar ia diberangkatkan bekerja di luar negeri.
Sekian.
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركته
Ipan Ependi, Sukabumi, Jawa Barat
Jawaban:
Wa’alaikumsalam wa rahamatullah wa barakatuh.
Saudara Ipan Ependi yang kami hormati.
Guna menopang hidup, tak jarang seseorang
mendermakan dirinya untuk bekerja di negeri orang meskipun hal ini
bukanlah pilihan yang didambakan. Dalam prakteknya, banyak tenaga kerja
Indonesia di luar negeri yang mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari
sang majikan bahkan sampai melewati batas-batas kemanusiaan.
Saudara Ipan yang dimuliakan Allah.
Perjanjian yang dilakukan karena adanya
tekanan (keterpaksaan) dari salah satu pihak yang bertransaksi hukumnya tidak
sah menurut syara’. Jadi yang dianggap sebagai transaksi sebagaimana pertanyaan
saudara adalah perjanjian kerja yang ditandatangani tanpa adanya unsur paksaan.
Semetara hukum mengambil uang yang dilakukan
oleh TKI ini tidak dapat dikategorikan dalam pencurian yang mempunyai
konsekuensi potong tangan (bagi negara yang memberlakukannya), karena ia (TKI)
ini mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Hal ini merujuk pada
kitab al-iqna’ :
وَالْخَامِس
كَون السَّارِق (لَا ملك لَهُ فِيهِ) أَي الْمَسْرُوق فَلَا قطع بِسَرِقَة مَاله
الَّذِي بيد غَيره وَإِن كَانَ مَرْهُونا أَو مؤجرا
Syarat kelima (diberlakukannya hukum potong
tangan) dalam pencurian adalah pencuri tidak mempunyai hak milik atas benda
yang dicuri. Oleh karena itu tidak boleh diberlakukan hukum potong tangan bagi
orang yang mempunyai hak milik ditangan orang yang dicuri barangnya, meskipun
barang tersebut sedang digadaikan atau disewakan.
Permasalahan berikutnya adalah apakah cara
TKI tersebut dalam menuntut haknya dengan mengambil tanpa sepengatahuan sang
majikan tersebut dapat dibenarkan oleh syara’?
Komunikasi aktif antara majikan dan TKI
tentunya harus dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti ini.
Kalaupun tidak dapat terealisasi, sang TKI tidak diperkenankan mengambil
melebihi apa yang seharusnya haknya.
Jawaban ini kami analogikan dengan
kisah seorang wanita bernama Hindun yang tidak mendapatkan haknya (nafkah)
lahir dari suaminya (Abi Sufyan). Lalu ia mengadukan masalahnya ini kepada
Rasulullah saw dan menanyakan apakah berdosa mengambil harta suaminya secara
diam-diam (tanpa sepengetahuan suami), Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu
dan anak-anakmu secukupnya.”
Wallahu a’lam.
Maftukhan Sholikhin
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar