Negara
Sengkarut Pikir
Oleh:
Yudi Latif
MENJELANG
kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita,
menulis puisi ratapan, Serat Kalatidha (Puisi Zaman Keraguan). Bait
pertama puisi tersebut bersaksi, ”Kilau derajat negara lenyap dari
pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan. Para
cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia
tenggelam dalam kesuraman”.
Hampir
satu setengah abad kemudian, gambaran serupa membayangi pusat kekuasaan negara
Republik Indonesia, yang mencapai titik zenitnya pada masa kepresidenan Joko
Widodo (Jokowi). Seorang putra Surakarta dari kalangan kawula, yang karena sepak
terjangnya sebagai political outsider yang berbeda dari kebanyakan
politisi, melesat cepat menjadi presiden dengan gelembung harapan rakyat yang
nyaris seperti ratu adil.
Namun,
belum genap seratus hari pemerintahannya, harian bergengsi The New York
Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang presiden dalam nada Serat
Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat kepemimpinan negara telah
kehilangan ”kilaunya” (”For Indonesians, President’s Political
Outsider Status loses Its Lustre”).
Kegagalan
mentalitas
Ujian
mental bagi independensi presiden pengusung revolusi mental ini dilalui dengan
kegagalan mentalitas, seperti tecemin dari serangkaian penyangkalan terhadap
ide-idenya sendiri. Gagasan koalisi ramping demi kehebatan pemerintahan dirobohkan
oleh susunan kabinet dan staf kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan
kombinasi menteri-menteri berkualitas rendah dan bertanda merah. Orientasi
kerakyatan dihela dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga
minyak dunia turun. Visi pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai
dengan mengangkat Jaksa Agung dari kalangan partisan.
Presiden
juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
yang didominasi orang-orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang
jauh dari semangat asal Dewan Pertimbangan Agung. Batas etis pun dilanggar
dengan mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak
pelanggaran yang sudah terpublikasikan. Jurnal seratus hari pemerintahan
Jokowi ditutup dengan sengketa KPK versus polisi, dengan posisi dan jawaban
presiden yang tidak meyakinkan.
Apa
gerangan yang membuat seorang presiden yang memenangkan mayoritas dukungan
dalam pemilihan langsung begitu tak berdaya menentukan pilihan? Persoalannya
jelas tak bisa ditanggung oleh Jokowi sendirian. Lewat symptomatic reading,
kita bisa mengenali bahwa kegagalan mentalitas pemimpin baru ini hanyalah tanda
permukaan dari arus bawah yang lebih sinister, yakni meluasnya dekadensi dalam
demokrasi kita.
Masalah terbesar
politik Indonesia saat ini adalah semua orang tahu ada banyak masalah dalam
demokrasi, tetapi seperti tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Ketidaksanggupan warga untuk mengatasi masalah-masalah kolektif
ini terjadi karena institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga
publik tidak lagi di bawah kendali publik, tetapi jatuh ke tangan pengendalian
segelintir pemodal kuat. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi
kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan
berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk
mengontrol institusi dan kebijakan publik.
Dalam
perkembangan demokrasi di negeri ini, pintu masuk bagi penetrasi pemodal ke
dalam domain publik itu melalui pengadopsian model demokrasi liberal padat
modal. Suatu model demokrasi, yang bagi Amerika Serikat sendiri dengan ratusan
tahun sejarah demokrasi dengan basis egalitarianisme yang kuat, dalam
perkembangannya terbukti hanyalah menjadi tunggangan yang efektif bagi elevasi
satu persen orang terkaya.
Di negeri
ini, dengan warisan kesenjangan pasca-kolonial, pengadopsian demokrasi liberal
padat modal di tengah samudra kemiskinan, membuat pemimpin terpilih—meskipun
dengan dukungan mayoritas rakyat dalam pemilihan langsung—lebih berutang pada
pemodal yang nyata ketimbang rakyat yang abstrak. Dalam konteks inilah kita
melihat Jokowi sebagai presiden hanyalah pekerja partai-pemodal.
Dimensi
struktural dari dekadensi demokrasi itu diperburuk oleh kapasitas pemimpin
negara sebagai agen perubah. Menangkal kepentingan pemodal-perseorangan
meniscayakan kesadaran dan strategi ideologis. Berbagai langkah blunder Jokowi
dalam seratus hari pemerintahannya justru mencerminkan kelemahan daya baca dan
referensi ideologis ini. Tanpa radar ideologis, seorang pemimpin tak memiliki
kerangka referensial untuk membantu menentukan jenis manusia dan kebijakan apa
yang sepatutnya dipilih.
Tekanan
Jokowi pada pengetahuan praktis-pragmatis mengabaikan pentingnya ”narrative
knowledges”. Padahal, gagasan besar semacam revolusi mental harus
diletakkan dalam kerangka strategi ideologis berbasis pengetahuan naratif
(sejarah, antropologi, sosio-psikologi, ekonomi-politik dan praktik diskursif).
Ada
semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang
benar. Padahal, seperti diingatkan Lyndon B Johnson, ”Tugas terberat seorang
presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang
benar.” Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan
mempercepat kegagalan.
Anti-intelektualisme
Namun,
Jokowi tidak berdiri sendirian. Kemunculan Jokowi sebagai pemimpin negara
membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang
tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman
pengetahuan. Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan
tidak memercayai nilai pikirannya; ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan
sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas oleh menteri
baru.
Gelombang
anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan
intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak
segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran. Seperti kata Bung Karno, ”Orang
lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.”
Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan
dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran
televisi kita; membudayakan semacam ”the cult of philistinism” (pemujaan
terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap
interes-interes material dan praktis).
Peluluhan
daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan
pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan
kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah. Lewat
manajemen impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.
Maka,
para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara
tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara
mencerminkan sengkarut pemikiran. Hal ini tecemin mulai dari ketidakberesan
hasil amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, desain
institusi-institusi demokrasi, hingga ketidaktepatan pilihan kebijakan dan
orang.
Keadaan
ini menempatkan negara di tepi jurang. Para pemikir kenegaraan lintas zaman dan
lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan
pengetahuan. Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat.
Bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelmaan dari pikiran. Michel
Foucault menegaskan, ”Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari
sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran,
kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan:
pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur.”
Membanguan
negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang
pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering
machine). Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan
negara ditentukan oleh kecerdasan, terlihat dari pemahaman umum yang cenderung
mengaitkan istilah ”intelijen” dengan badan inteligen negara, seperti Badan Intelijen
Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan sejenisnya.
Sebuah
negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya
seperti istana pasir. Oleh karena itu, jika demokrasi kita maksudkan sebagai
jalan kemaslahatan bangsa, maka jalan sesat demokrasi dalam kendali
plutokrasi-aristokrasi itu harus dihentikan dengan cara membangun
demokrasi-meritokratis.
Demokrasi
yang kita kembangkan harus menumbuhkan kembali daulat rakyat yang dipimpin oleh
kekuatan akal budi (hikmat kebijaksanaan) dalam suasana deliberatif dan
argumentatif (permusyawaratan perwakilan). []
KOMPAS,
02 Februari 2015
Yudi Latif ; Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar