Jumat, 20 Februari 2015

Buya Syafii: Politik Kusut Masai



Politik Kusut Masai
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Ada istilah yang tepat dan menarik untuk menggambarkan peta politik Indonesia empat minggu terakhir: kusut masai. Ibarat rambut atau benang kusut sudah tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Semuanya mengalir, tetapi entah ke mana arahnya. Semuanya berproses, tetapi di mana episentrum penggerak utamanya, publik hanya bisa meraba.

Istana dan Teuku Umar kabarnya seperti dua kutub yang saling menjauh. Pesan saya kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno: kedua episentrum itu jangan sampai pecah kongsi, demi ketenangan panggung politik nasional.

Jawaban yang saya terima: ”Njih Prof Amin YRA [Ya Rabba l’Alamin]”. Menteri yang satu ini memang pontang-panting mendampingi Presiden sambil memberi masukan dan saran-saran penting kepada RI 1 itu. Sebagai seorang ilmuwan, Mensesneg yang mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memang baru memasuki dunia politik kenegaraan yang kebetulan sedang gaduh dan ingar-bingar. Kadang-kadang asam lambungnya menjadi kambuh, katanya, suatu ketika.

Ingar-bingar politik

Jika tahun 2014, ingar-bingar politik bertalian dengan pemilu: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, tetapi bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi untuk kasus pilpres.

Kegaduhan politik awal 2015 ini sebenarnya berskala jauh lebih sempit: pengusulan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) melalui pertimbangan DPR oleh Presiden sebagai calon Kepala Polri. Setelah mulus melalui Komisi III DPR, sidang DPR paripurna pun tinggal melempangkan saja jalan bagi BG untuk dilantik menjadi Kapolri. Kendalanya adalah karena BG sebelum dibicarakan di DPR sudah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Fenomena rekening gendut di kalangan kepolisian sudah lama diketahui umum, tetapi tidak pernah dibongkar secara tuntas, bahkan dibiarkan tetap mengambang dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia.

Ini adalah sebuah siksaan bagi rasa keadilan publik. Pihak yang punya rekening tidak wajar itu akan menjadi sangat mulia dan terhormat jika berterus terang kepada negara dengan menyerahkan harta haram itu dan menyisihkannya buat kepentingan dua keturunan dengan persetujuan negara. Jika itu yang berlaku, polisi Indonesia akan dipuja oleh manusia sejagat.

Entah mengapa, DPR tidak menghitung dengan cermat masalah calon sebagai tersangka ini, atau memang disengaja agar prahara politik menjadi semakin riuh. Dalam kaitan ini, ada ungkapan seorang jenderal Angkatan Darat yang disampaikan kepada saya tentang mentalitas ikan lele: ”Semakin keruh air, semakin lahap ikan lele itu berebut makanan.” Saya khawatir mentalitas ikan lele ini sedang memerkosa demokrasi Indonesia yang nyaris sunyi dari kehadiran para negarawan.

Dalam keriuhan itu, sepintas lalu publik dipertontonkan bahwa antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mesra, mesranya politisi. Akan tahan berapa lama? Orang yang sedikit melek politik sudah paham bahwa kemesraan politisi itu boleh jadi berkait berkelindan dengan masalah kekuasaan dan bagi-bagi lahan pada sejumlah kementerian dan BUMN.

Sudah lama menjadi rahasia umum, semua partai politik sangat bergantung kepada pundi-pundi negara untuk membiayai kegiatan politik mereka, terutama saat menghadapi pemilu dengan segala jenis dan tingkatnya. Biaya pemilu di Indonesia sangatlah tinggi, baik yang bersumber dari keuangan negara maupun yang berasal dari pribadi politisi yang berkongkalikong dengan pengusaha yang cerdik dan licik. Cara berpolitik yang tidak sehat dan kumuh ini semakin merunyamkan proses cara kita bernegara di bawah naungan Pancasila.

Polri vs KPK

Kontroversi pengajuan BG sebagai calon Kapolri telah memicu eskalasi politik yang semakin liar dan ganas, padahal masalahnya tidaklah besar amat jika di kalangan elite Polri sendiri tidak berlaku intrik internal yang saling mengintai dan saling menyikut. Seorang jenderal polisi aktif mengatakan kepada saya, di kalangan elite Polri sudah terjadi suasana berebut posisi tinggi yang serba terbatas itu. Bahkan, seorang dengan pangkat komisaris jenderal dituduh berkhianat oleh koleganya sendiri tanpa menjelaskan di mana letak lokasi pengkhianatan itu.

Dengan demikian, elite Polri sendiri sudah retak menanti pecah jika tidak segera dilantik Kapolri baru yang mampu memulihkan kewibawaan Polri yang sedang mengalami proses demoralisasi parah itu.

Dengan dicopotnya Jenderal Sutarman sebagai Kepala Polri tanpa alasan yang jelas dengan melimpahkan wewenang terbatas kepada Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas, dari sumber perwira menengah Polri, saya diberi tahu bahwa di lapangan tugas polisi sendiri seperti telah kehilangan induk. Mereka serba bingung, tidak tahu lagi siapa sebenarnya yang memimpin Polri. Haiti sendiri tidak mampu berbuat banyak dalam posisinya sebagai Wakapolri.

Kepada seorang komisaris jenderal senior pada Kamis, 5 Februari, pukul 14.43, saya mengirim SMS yang bunyinya: ”Jenderal, mohon berbuat maksimal: menyelamatkan Polri, menyelamatkan KPK, dan muaranya menyelamatkan masa depan bangsa ini.” Sekitar dua menit kemudian datanglah jawaban: ”Siap Prof, kita upaya terus. Semua tergantung Bp RI 1 dan parpol pendukung.” Ungkapan ”dan parpol pendukung” jelas menunjukkan bahwa betapa jauhnya cengkeraman kuku parpol dalam menentukan pimpinan kepolisian, sementara RI 1 yang bukan pimpinan parpol menjadi terjepit dan tersandera.

Adapun KPK yang telah menetapkan BG sebagai tersangka menuai perlawanan sengit dari pihak kepolisian, pengikut BG, dipimpin oleh Kabareskrim Irjen (yang kemudian naik pangkat menjadi Komjen) Budi Waseso. Maka, mulailah berlaku pembumihangusan atas KPK. Bambang Widjojanto (BW), komisioner sayap elang KPK, ditangkap dan diborgol seperti seorang teroris. Pimpinan lain menyusul satu per satu. Dari sisi mana pun orang menilai, cara penangkapan terhadap seorang pejabat negara penting, seperti BW bagi saya adalah sebuah kebiadaban, mengkhianati sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Solusinya sederhana

Karena masalahnya tidak rumit amat, solusinya sederhana saja, yaitu agar Presiden dengan nyali seekor elang rajawali segera memilih dan mengusulkan Kapolri baru yang dalam rekam jejaknya hanya terdapat sedikit bintik hitam. Kapolri baru itu wajib menghentikan seluruh proses kriminalisasi terhadap KPK yang berlangsung demikian sistematis pada minggu-minggu terakhir ini.

Saya percaya RI 1 sudah sangat paham tentang apa yang harus segera dilakukannya. Setidak-tidaknya sebagian dari kusut masai politik Indonesia dengan demikian akan terurai dengan sendirinya. Viva Presiden Indonesia! []

KOMPAS, 17 Februari 2015
Ahmad Syafii Maarif  ;  Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar