Politik Kusut Masai
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Ada istilah yang tepat dan menarik untuk menggambarkan peta
politik Indonesia empat minggu terakhir: kusut masai. Ibarat rambut atau benang
kusut sudah tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Semuanya mengalir, tetapi entah
ke mana arahnya. Semuanya berproses, tetapi di mana episentrum penggerak
utamanya, publik hanya bisa meraba.
Istana dan Teuku Umar kabarnya seperti dua kutub yang saling
menjauh. Pesan saya kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno: kedua episentrum
itu jangan sampai pecah kongsi, demi ketenangan panggung politik nasional.
Jawaban yang saya terima: ”Njih Prof Amin YRA [Ya Rabba
l’Alamin]”. Menteri yang satu ini memang pontang-panting mendampingi Presiden
sambil memberi masukan dan saran-saran penting kepada RI 1 itu. Sebagai seorang
ilmuwan, Mensesneg yang mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memang baru
memasuki dunia politik kenegaraan yang kebetulan sedang gaduh dan ingar-bingar.
Kadang-kadang asam lambungnya menjadi kambuh, katanya, suatu ketika.
Ingar-bingar politik
Jika tahun 2014, ingar-bingar politik bertalian dengan pemilu:
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, tetapi bisa diselesaikan melalui
Mahkamah Konstitusi untuk kasus pilpres.
Kegaduhan politik awal 2015 ini sebenarnya berskala jauh lebih
sempit: pengusulan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) melalui pertimbangan
DPR oleh Presiden sebagai calon Kepala Polri. Setelah mulus melalui Komisi III
DPR, sidang DPR paripurna pun tinggal melempangkan saja jalan bagi BG untuk
dilantik menjadi Kapolri. Kendalanya adalah karena BG sebelum dibicarakan di
DPR sudah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
kasus korupsi dan gratifikasi. Fenomena rekening gendut di kalangan kepolisian
sudah lama diketahui umum, tetapi tidak pernah dibongkar secara tuntas, bahkan
dibiarkan tetap mengambang dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia.
Ini adalah sebuah siksaan bagi rasa keadilan publik. Pihak yang
punya rekening tidak wajar itu akan menjadi sangat mulia dan terhormat jika
berterus terang kepada negara dengan menyerahkan harta haram itu dan
menyisihkannya buat kepentingan dua keturunan dengan persetujuan negara. Jika
itu yang berlaku, polisi Indonesia akan dipuja oleh manusia sejagat.
Entah mengapa, DPR tidak menghitung dengan cermat masalah calon
sebagai tersangka ini, atau memang disengaja agar prahara politik menjadi
semakin riuh. Dalam kaitan ini, ada ungkapan seorang jenderal Angkatan Darat
yang disampaikan kepada saya tentang mentalitas ikan lele: ”Semakin keruh air,
semakin lahap ikan lele itu berebut makanan.” Saya khawatir mentalitas ikan
lele ini sedang memerkosa demokrasi Indonesia yang nyaris sunyi dari kehadiran
para negarawan.
Dalam keriuhan itu, sepintas lalu publik dipertontonkan bahwa
antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mesra, mesranya
politisi. Akan tahan berapa lama? Orang yang sedikit melek politik sudah paham
bahwa kemesraan politisi itu boleh jadi berkait berkelindan dengan masalah
kekuasaan dan bagi-bagi lahan pada sejumlah kementerian dan BUMN.
Sudah lama menjadi rahasia umum, semua partai politik sangat
bergantung kepada pundi-pundi negara untuk membiayai kegiatan politik mereka, terutama
saat menghadapi pemilu dengan segala jenis dan tingkatnya. Biaya pemilu di
Indonesia sangatlah tinggi, baik yang bersumber dari keuangan negara maupun
yang berasal dari pribadi politisi yang berkongkalikong dengan pengusaha yang
cerdik dan licik. Cara berpolitik yang tidak sehat dan kumuh ini semakin
merunyamkan proses cara kita bernegara di bawah naungan Pancasila.
Polri vs KPK
Kontroversi pengajuan BG sebagai calon Kapolri telah memicu
eskalasi politik yang semakin liar dan ganas, padahal masalahnya tidaklah besar
amat jika di kalangan elite Polri sendiri tidak berlaku intrik internal yang
saling mengintai dan saling menyikut. Seorang jenderal polisi aktif mengatakan
kepada saya, di kalangan elite Polri sudah terjadi suasana berebut posisi
tinggi yang serba terbatas itu. Bahkan, seorang dengan pangkat komisaris
jenderal dituduh berkhianat oleh koleganya sendiri tanpa menjelaskan di mana
letak lokasi pengkhianatan itu.
Dengan demikian, elite Polri sendiri sudah retak menanti pecah
jika tidak segera dilantik Kapolri baru yang mampu memulihkan kewibawaan Polri
yang sedang mengalami proses demoralisasi parah itu.
Dengan dicopotnya Jenderal Sutarman sebagai Kepala Polri tanpa alasan
yang jelas dengan melimpahkan wewenang terbatas kepada Wakil Kepala Polri
Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas, dari sumber perwira
menengah Polri, saya diberi tahu bahwa di lapangan tugas polisi sendiri seperti
telah kehilangan induk. Mereka serba bingung, tidak tahu lagi siapa sebenarnya
yang memimpin Polri. Haiti sendiri tidak mampu berbuat banyak dalam posisinya
sebagai Wakapolri.
Kepada seorang komisaris jenderal senior pada Kamis, 5 Februari,
pukul 14.43, saya mengirim SMS yang bunyinya: ”Jenderal, mohon berbuat
maksimal: menyelamatkan Polri, menyelamatkan KPK, dan muaranya menyelamatkan
masa depan bangsa ini.” Sekitar dua menit kemudian datanglah jawaban: ”Siap
Prof, kita upaya terus. Semua tergantung Bp RI 1 dan parpol pendukung.”
Ungkapan ”dan parpol pendukung” jelas menunjukkan bahwa betapa jauhnya
cengkeraman kuku parpol dalam menentukan pimpinan kepolisian, sementara RI 1
yang bukan pimpinan parpol menjadi terjepit dan tersandera.
Adapun KPK yang telah menetapkan BG sebagai tersangka menuai
perlawanan sengit dari pihak kepolisian, pengikut BG, dipimpin oleh Kabareskrim
Irjen (yang kemudian naik pangkat menjadi Komjen) Budi Waseso. Maka, mulailah
berlaku pembumihangusan atas KPK. Bambang Widjojanto (BW), komisioner sayap
elang KPK, ditangkap dan diborgol seperti seorang teroris. Pimpinan lain
menyusul satu per satu. Dari sisi mana pun orang menilai, cara penangkapan
terhadap seorang pejabat negara penting, seperti BW bagi saya adalah sebuah
kebiadaban, mengkhianati sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Solusinya sederhana
Karena masalahnya tidak rumit amat, solusinya sederhana saja,
yaitu agar Presiden dengan nyali seekor elang rajawali segera memilih dan
mengusulkan Kapolri baru yang dalam rekam jejaknya hanya terdapat sedikit
bintik hitam. Kapolri baru itu wajib menghentikan seluruh proses kriminalisasi
terhadap KPK yang berlangsung demikian sistematis pada minggu-minggu terakhir
ini.
Saya percaya RI 1 sudah sangat paham tentang apa yang harus segera
dilakukannya. Setidak-tidaknya sebagian dari kusut masai politik Indonesia
dengan demikian akan terurai dengan sendirinya. Viva Presiden Indonesia! []
KOMPAS, 17 Februari 2015
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar