Ada Apa Jokowi-PDIP dengan KPK?
Oleh: Bambang Soesatyo
PEMERINTAH dan PDIP seperti pasang badan menghadapi kemarahan
publik akibat ”serangan” beruntun mereka ke jantung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Mengapa pemerintahan Joko Widodo dan PDIP mau mengambil risiko
itu? Adakah agenda khusus di balik keberanian menghadapi tantangan yang tidak
ringan tersebut?
Manuver pemerintah dan PDIP serta partai-partai pengusung
Jokowi-JK pada pekan ketiga Januari 2015 cukup mengejutkan dan di luar
perkiraan publik. Tak terpisah dari rangkaian masalah menyusul penetapan
tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK, menyusul Plt Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto pada Kamis (22/1) menembakkan peluru tajam ke jantung KPK.
Hasto mengungkap aktivitas politik Ketua KPK Abraham Samad
menjelang Pilpres 2014. Dari penuturannya, publik seperti mendapat pemahaman
bahwa Abraham berambisi jadi cawapres mendamping capres (waktu itu) Joko
Widodo. Dia mengungkapkan Abraham beberapa kali mengadakan pertemuan dengan
elite partai politik pengusung Jokowi.
Belum selesai perang kata-kata KPK versus Hasto, Bareskrim Mabes
Polri menindaklanjuti laporan kader PDIP, Sugianto Sabran tentang perintah
Bambang Widjojanto ketika menjadi pengacara, terkait kesaksian palsu di MK
persidangan sengketa hasil Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Bareskrim pun menangkap Bambang pada Jumat (23/1) pagi dan menahannya belasan
jam.
Membuktikan Tuduhan
Sabtu (24/1), serangan ke jantung KPK berlanjut dengan laporan kuasa
saham PT Desy Timber, Mukhlis Ramdhan, ke Bareskrim atas kasus yang melibatkan
wakil ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja. Tiga serangan ini luar biasa dan
publik pun marah. KPK pun sudah menjawab dengan argumentasi.
Persoalannya, semua itu menyangkut kemampuan pemerintah dan PDIP
meyakinkan publik bahwa yang mereka tuduhkan itu benar adanya, dan bukan isu.
Ini jelas bukan pekerjaan gampang mengingat publik terlanjur menyanjung figur
pimpinan KPK. Artinya, pemerintah dan PDIP harus bisa membuktikan. Andai semua
yang dituduhkan itu tak terbukti, benarlah apa yang dikatakan sebagian orang
bahwa pemerintahan Jokowi dan PDIP sedang bunuh diri politik. PDIP pasti sudah
berhitung risikonya jika serangan ke KPK salah sasaran alias tak terbukti.
Hampir dalam satu dekade terakhir ini, semua unsur di dalam
negeri, termasuk kekuatan politik, enggan berhadap-hadapan secara terbuka
dengan KPK. Memang, beberapa anggota DPR sering melancarkan kritik tajam,
tetapi hal itu dilihat sebagai sikap personal, bukan sikap partai. Karena itu,
ketika Hasto membuka serangan, kemudian dilanjutkan Sugianto Sabran, publik pun
berasumsi institusi PDIP sedang melancarkan serangan balik ke KPK.
Kenapa PDIP marah? Apakah benar karena KPK telah mempermalukan
Jokowi dalam kasus Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri? Tapi sebenarnya
manuver Hasto cukup berbahaya. Apakah dia sudah memperhitungkan risiko maksimal
yang bakal dihadapi? Pasalnya sangat mudah bagi KPK untuk tiap saat ”mengganggu”
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, terutama berkait kebijakan release and
discharge bagi obligor BLBI.
Kebijakan yang diterbitkan semasa Megawati menjabat presiden itu
dianggap bermasalah dan sedang didalami KPK. Sejumlah saksi, termasuk mantan menteri
era pemerintahah Megawati, sudah diperiksa. Bahkan pimpinan KPK menyatakan
tidak segan-segan memanggil Megawati untuk mendengarkan kesaksiannya.
Tidak mengherankan jika publik, termasuk sejumlah ahli hukum dan
pegiat antikorupsi, memaknai serangan beruntun ke KPK itu sebagai upaya
pemerintah dan PDIP melemahkan KPK. Tudingan ini dibantah elite PDIP, Tjahjo
Kumolo, yang kini menjabat Mendagri. Tjahjo menyegarkan ingatan publik dengan
menjelaskan bahwa Megawati berperan dalam pembentukan KPK tahun 2003. Ia
seperti ingin menegaskan bahwa pemerintah dan PDIP tak ingin memperlemah peran
KPK.
Lantas apa motif utama serangan beruntun PDIP ke KPK? Kalau hanya
marah kepada Abraham, mengapa dua komisioner lainnya jadi sasaran serangan?
Bahkan, tiga serangan itu plus tambahan pernyataan Hasto yang ’’menghujat’’
institusi KPK, bukan lagi personal. Padahal, taruhannya besar jika PDIP dan
pemerintahan Jokowi tidak kooperatif dengan KPK, yakni menyangkut dukungan
publik.
Dengan memorakporandakan status hukum unsur kepemimpinan KPK, apa
sesungguhnya agenda pemerintah dan PDIP terkait masa depan komisi antikorupsi
itu? Salah satu jawaban yang cukup relevan bisa didapatkan bila mengacu
pernyataan tambahan Hasto saat dia mengungkap aktivitas politik Abraham. Hasto
megatakan KPK acap kurang maksimal menangani kasus besar korupsi karena terlalu
fokus membuat drama politik di masyarakat.
Status Hasto tak bisa dipisahkan sebagai Plt Sekjen PDIP. Jelas
terlihat bahwa PDIP ingin mengoreksi KPK. Mengingat kepemimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial, dua komisioner lainnya pun ikut jadi sasaran. Yang menimpa
KPK bisa dikaitkan dengan masa bakti kepemimpinan rezim Abraham yang tahun ini
berakhir. Serangan beruntun terhadap ketua dan dua wakil ketua KPK bukan hanya
menunjukkan ketidaksukaan PDIP terhadap cara KPK mengelola persoalan, melainkan
juga menunjukkan rasa tidak nyaman PDIP dan pemerintah terhadap Abraham dan
kawan-kawan.
Bila yang dilakukan PDIP sekarang tidak bertujuan untuk melemahkan
KPK maka kemungkinannya pemerintahan Jokowi dan PDIP ingin menghadirkan rezim
baru kepemimpinan di KPK setelah era Abraham Samad dan kawan-kawan. []
SUARA MERDEKA, 04 Februari 2015
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR, Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar