Senin, 09 Februari 2015

BamSoet: Ada Apa Jokowi-PDIP dengan KPK?



Ada Apa Jokowi-PDIP dengan KPK?
Oleh: Bambang Soesatyo

PEMERINTAH dan PDIP seperti pasang badan menghadapi kemarahan publik akibat ”serangan” beruntun mereka ke jantung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa pemerintahan Joko Widodo dan PDIP mau mengambil risiko itu? Adakah agenda khusus di balik keberanian menghadapi tantangan yang tidak ringan tersebut?

Manuver pemerintah dan PDIP serta partai-partai pengusung Jokowi-JK pada pekan ketiga Januari 2015 cukup mengejutkan dan di luar perkiraan publik. Tak terpisah dari rangkaian masalah menyusul penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK, menyusul Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada Kamis (22/1) menembakkan peluru tajam ke jantung KPK.

Hasto mengungkap aktivitas politik Ketua KPK Abraham Samad menjelang Pilpres 2014. Dari penuturannya, publik seperti mendapat pemahaman bahwa Abraham berambisi jadi cawapres mendamping capres (waktu itu) Joko Widodo. Dia mengungkapkan Abraham beberapa kali mengadakan pertemuan dengan elite partai politik pengusung Jokowi.

Belum selesai perang kata-kata KPK versus Hasto, Bareskrim Mabes Polri menindaklanjuti laporan kader PDIP, Sugianto Sabran tentang perintah Bambang Widjojanto ketika menjadi pengacara, terkait kesaksian palsu di MK persidangan sengketa hasil Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Bareskrim pun menangkap Bambang pada Jumat (23/1) pagi dan menahannya belasan jam.

Membuktikan Tuduhan

Sabtu (24/1), serangan ke jantung KPK berlanjut dengan laporan kuasa saham PT Desy Timber, Mukhlis Ramdhan, ke Bareskrim atas kasus yang melibatkan wakil ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja. Tiga serangan ini luar biasa dan publik pun marah. KPK pun sudah menjawab dengan argumentasi.

Persoalannya, semua itu menyangkut kemampuan pemerintah dan PDIP meyakinkan publik bahwa yang mereka tuduhkan itu benar adanya, dan bukan isu. Ini jelas bukan pekerjaan gampang mengingat publik terlanjur menyanjung figur pimpinan KPK. Artinya, pemerintah dan PDIP harus bisa membuktikan. Andai semua yang dituduhkan itu tak terbukti, benarlah apa yang dikatakan sebagian orang bahwa pemerintahan Jokowi dan PDIP sedang bunuh diri politik. PDIP pasti sudah berhitung risikonya jika serangan ke KPK salah sasaran alias tak terbukti.

Hampir dalam satu dekade terakhir ini, semua unsur di dalam negeri, termasuk kekuatan politik, enggan berhadap-hadapan secara terbuka dengan KPK. Memang, beberapa anggota DPR sering melancarkan kritik tajam, tetapi hal itu dilihat sebagai sikap personal, bukan sikap partai. Karena itu, ketika Hasto membuka serangan, kemudian dilanjutkan Sugianto Sabran, publik pun berasumsi institusi PDIP sedang melancarkan serangan balik ke KPK.

Kenapa PDIP marah? Apakah benar karena KPK telah mempermalukan Jokowi dalam kasus Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri? Tapi sebenarnya manuver Hasto cukup berbahaya. Apakah dia sudah memperhitungkan risiko maksimal yang bakal dihadapi? Pasalnya sangat mudah bagi KPK untuk tiap saat ”mengganggu” Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, terutama berkait kebijakan release and discharge bagi obligor BLBI.

Kebijakan yang diterbitkan semasa Megawati menjabat presiden itu dianggap bermasalah dan sedang didalami KPK. Sejumlah saksi, termasuk mantan menteri era pemerintahah Megawati, sudah diperiksa. Bahkan pimpinan KPK menyatakan tidak segan-segan memanggil Megawati untuk mendengarkan kesaksiannya.

Tidak mengherankan jika publik, termasuk sejumlah ahli hukum dan pegiat antikorupsi, memaknai serangan beruntun ke KPK itu sebagai upaya pemerintah dan PDIP melemahkan KPK. Tudingan ini dibantah elite PDIP, Tjahjo Kumolo, yang kini menjabat Mendagri. Tjahjo menyegarkan ingatan publik dengan menjelaskan bahwa Megawati berperan dalam pembentukan KPK tahun 2003. Ia seperti ingin menegaskan bahwa pemerintah dan PDIP tak ingin memperlemah peran KPK.

Lantas apa motif utama serangan beruntun PDIP ke KPK? Kalau hanya marah kepada Abraham, mengapa dua komisioner lainnya jadi sasaran serangan? Bahkan, tiga serangan itu plus tambahan pernyataan Hasto yang ’’menghujat’’ institusi KPK, bukan lagi personal. Padahal, taruhannya besar jika PDIP dan pemerintahan Jokowi tidak kooperatif dengan KPK, yakni menyangkut dukungan publik.

Dengan memorakporandakan status hukum unsur kepemimpinan KPK, apa sesungguhnya agenda pemerintah dan PDIP terkait masa depan komisi antikorupsi itu? Salah satu jawaban yang cukup relevan bisa didapatkan bila mengacu pernyataan tambahan Hasto saat dia mengungkap aktivitas politik Abraham. Hasto megatakan KPK acap kurang maksimal menangani kasus besar korupsi karena terlalu fokus membuat drama politik di masyarakat.

Status Hasto tak bisa dipisahkan sebagai Plt Sekjen PDIP. Jelas terlihat bahwa PDIP ingin mengoreksi KPK. Mengingat kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial, dua komisioner lainnya pun ikut jadi sasaran. Yang menimpa KPK bisa dikaitkan dengan masa bakti kepemimpinan rezim Abraham yang tahun ini berakhir. Serangan beruntun terhadap ketua dan dua wakil ketua KPK bukan hanya menunjukkan ketidaksukaan PDIP terhadap cara KPK mengelola persoalan, melainkan juga menunjukkan rasa tidak nyaman PDIP dan pemerintah terhadap Abraham dan kawan-kawan.

Bila yang dilakukan PDIP sekarang tidak bertujuan untuk melemahkan KPK maka kemungkinannya pemerintahan Jokowi dan PDIP ingin menghadirkan rezim baru kepemimpinan di KPK setelah era Abraham Samad dan kawan-kawan. []

SUARA MERDEKA, 04 Februari 2015
Bambang Soesatyo  ;  Anggota Komisi III DPR, Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar