Teologi Polri dan KPK
Oleh: Moh Mahfud MD
Wakil Ketua Muslimat NU Cabang Arab Saudi Hj Rufinah Madrais,
misalnya, menyatakan kegundahannya atas perang antara KPK dan Polri itu.
Berita tentang penetapan calon kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka pelaku korupsi oleh KPK, yang kemudian dibalas dengan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka perekayasa keterangan palsu oleh Bareskrim Polri, telah menyentak perhatian publik.
Meski mungkin ada yang berpura-pura menyebut peristiwa itu sebagai dinamika, tak bisa dihindari sebenarnya banyak yang menyebut peristiwa tersebut sebagai perang antara KPK dan Polri. Ia menarik perhatian bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, terutama di kalangan warga negara Indonesia. Ketika pada Sabtu dini hari pekan lalu (24/1) saya mendarat di Jeddah, dua aktivis Ansor NU di Arab Saudi, Maksum Jalal dan Nurkholis, yang menjemput saya di bandara juga menanyakan soal kisruh Polri vs KPK itu.
Begitu juga ketika ngobrol-ngobrol ringan saat bertemu dengan orang-orang Indonesia di Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjid Haram (Mekkah), yang paling banyak ditanyakan kepada saya adalah perang antara KPK dan Polri. Semua sedih dan prihatin karena pada saat kita sedang dituntut untuk serius memerangi korupsi ternyata terjadi perang antarkedua institusi penegak hukum itu sehingga memberi kesan kita tak serius memerangi korupsi.
Sebenarnya kalau kita melihat peristiwa itu secara jernih dan seimbang, kedua pihak mungkin sama-sama melakukan kekeliruan. Tapi tak terhindarkan yang muncul dalam opini publik adalah terjadinya upaya pelemahan terhadap KPK. Banyak yang kesal, mengapa Polri melakukan itu.
Orang kemudian tidak lagi menyebut Budi Gunawan sebagai oknum, melainkan menyebut Polri sebagai institusi. Tanpa sadar kemudian mulai timbul ketidaksukaan terhadap Polri. Itu yang membahayakan.
Menyebut Polri korup secara institusi apalagi sampai menimbulkan antipati dan kebencian di tengah-tengah masyarakat sangatlah tidak baik. Polri adalah lembaga penegak hukum yang keberadaannya disebutkan eksplisit di dalam konstitusi kita. Negara ini memerlukan Polri untuk mengawal upaya pencapaian tujuan-tujuan bernegara terutama untuk menjamin ketertiban, keamanan, dan ketenteraman di dalam masyarakat.
Karena itu polisi diberi monopoli oleh hukum untuk menggunakan senjata demi menjamin keamanan dan ketertiban. Harus kita akui, dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu Polri sebagai institusi secara umum sudah bekerja dengan baik. Kalau mau objektif, kita tak boleh memandang Polri hanya sebatas markas besar, apalagi hanya sebagian kecil oknumnya saja. Kita harus melihat masih banyak polisi yang baik dan penuh dedikasi.
Lihatlah kerja serius polisi sampai ke pelosok-pelosok kecamatan dan desa terpencil yang mampu memberi jaminan kepada rakyat untuk hidup tenang dan nyaman, aman dari berbagai ancaman. Bayangkan, betapa mengerikan seandainya Polri menyatakan berhenti bekerja atau mogok selama satu jam saja.
Tentu selama satu jam itu tidak ada penegak hukum yang bisa menjaga ketertiban di tempat-tempat umum, menangkap perampok, pembobol ATM, pemerkosa, pembuat kerusuhan, pembunuh sadis, penyelundup, dan pengedar narkoba sehingga bisa terjadi kehancuran di mana-mana.
Seumpama setelah satu jam Polri mengumumkan berhenti mogok dan siap aktif kembali, tentu semuanya sudah terlambat dan terlanjur hancur. Itulah sebabnya semarah apa pun kita terhadap oknumoknum di Polri, jangan sampai kebablasan merusak Polri sebagai institusi. Gerakan #Save- Polri yang sekarang muncul adalah sama dengan gerakan #SaveKPK yang sama-sama ingin memelihara kebaikan bagi negara kita.
Kalau soal oknum berperilaku korup itu adanya bukan hanya di Polri, tetapi juga ada di mana-mana, termasuk di berbagai LSM bahkan ormasormas keagamaan sekalipun. Karena sedang berceramah di Jeddah, saya sedikit menggunakan pendekatan teologis dengan mengatakan bahwa Polri adalah representasi negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka itu Polri tidak boleh didelegitimasi. Begitu pentingnya ketaatan terhadap pemerintah yang menyelenggarakan keamanan sehingga dari sudut agama Imam Nawawi pernah mengatakan, kita tidak boleh melakukan perlawanan terhadap pemerintah karena hal itu bisa menyengsarakan rakyat.
Maksudnya tentu bukan tidak boleh mengkritik atau mengontrol, melainkan tidak boleh mendelegitimasi aparat pemerintah yang melakukan tugas-tugas menyelenggarakan keamanan dan ketertiban. Dalam pada itu Ibn Taymiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun diperintah oleh pemerintah yang jelek adalah lebih baik daripada satu malam saja tidak ada pemerintah.
”Dalil Ibn Taymiyah ini pun tak dimaksudkan untuk menoleransi tampilnya pemerintahan yang korup. Kritik dan kontrol terhadap pemerintah atau aparat penegak hukum tetap dianjurkan, tetapi dalam batas jangan sampai menimbulkan chaos karena lumpuhnya pemerintah. Kita harus tetap tegas dan galak terhadap oknum-oknum yang korup, siapa pun mereka.
Tapi dalam konteks perang antar-dua lembaga penegak hukum ini kita juga harus selalu dalam posisi menyelamatkan dan menguatkan KPK dan Polri karena keduanya dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas pencapaian tujuan kita bernegara. []
Koran SINDO, Sabtu, 31 Januari 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar