Selasa, 17 Februari 2015

Hasyim Muzadi: Mengurangi Daftar Kesenangan



Mengurangi Daftar Kesenangan
Oleh: KH. A. Hasyim Muzadi

"Liyaqilla Maa Tafrahu Bihi Yaqilla Maa Tahzanu `Alaiyhi- Kurangilah apa yang membuatmu gembira Maka akan berkuranglah apa yang membuatmu sedih"
--Ibnu `Athoillah-

Sebagaimana firman-Nya, Allah telah menyediakan bagi umat manusia dua bentuk jalan kehidupan. Jalan yang mendekat diri kepada-Nya dan jalan yang menjauhkan diri dari-Nya. Kita menggunakan terminologi mendekat karena memang ada jarak antara khalik dan makhluk. Antara Pencipta dengan ciptaan. Karena, Allah ber kehendak meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia maka manusia berpotensi menyerap sebagian sifat-sifat-Nya yang agung.

Karena Allah Maha Pengasih maka manusia gemar mengasihi. Karena Allah Maha Pemberi maka manusia gemar memberi.

Karena Allah Maha Bersyukur (As-Syakuur) maka manusia juga suka berterima kasih.
Karena Allah Maha Penyabar maka manusia juga senang kalau dapat bersabar. Orang yang paling banyak menyerap sifat-sifat Allah adalah yang paling dekat kepada-Nya. Dan, mereka yang tidak banyak menyerap sifat- sifat-Nya adalah yang paling jauh dari-Nya.

Rumus ini berlaku sejak manusia diciptakan dan akan selalu begitu sampai kehidupan di dunia diakhiri. Dua jalan itulah yang disediakan Allah bagi umat manusia agar bisa "mengentaskan" kehidupan dunia yang menghinakan menuju kehidupan akhirat yang dimuliakan. Kehidupan kita kini adalah cermin dari kehidupan yang rumit. Namun begitu, ia menyediakan semua yang kita inginkan dan yang kita angankan. Dunia yang mengecoh; antara mengangankan dan menginginkan.

Karena angan-angan dan keinginan itulah manusia sering terjerembab dalam kehidupan yang menjebak. Kita bisa menikmati apa saja yang dulu hanya angan-angan karena kini sudah menjadi kenyataan. Kini, baru kita sadari, angan-angan dan keinginan manusia telah mem buat sesuatu yang mustahil menjadi nyata. Manusia lantas membuat daftar keinginan agar dapat memenuhi dahaga kesenangannya.

Pada titik ini, manusia akan sulit menyerap sifat-sifat Allah.

Kehidupan dunia adalah kehidupan yang dekat sementara akhirat adalah kehidupan yang jauh. Dunia berasal dari kata dun-yayang berarti dekat atau hina sementara akhirat bermakna terakhir dan ujung terjauh dari kehidupan. Kehidupan dunia yang menjebak akan membuat manusia terlena sehingga lebih gemar menulis daftar hal-hal yang akan membuatnya senang daripada hal-hal yang bisa membuatnya sedih. Sedih akan membuat mereka menderita.

Karena tak kuasa menderita maka manusia lantas lebih suka mengikhtiarkan hal-hal yang bisa membuatnya senang. Mereka menyenangi kekuasaan karena dengan itu bisa mendapat kan apa saja yang mereka angan kan dan mereka inginkan. Mereka bersaing mendapatkan jabatan tertentu sebab dengan itu mereka bisa mengeruk dan mengeduk apa saja yang akan membuat mereka puas dan senang.

Mereka gemar mengumpulkan harta karena dengan itu mereka yakin bisa bahagia.
Akibat sudut pandangnya terhadap kehidupan yang hitam putih maka manusia semacam ini akan selalu melihat penderitaan dari sudut pandang negatif. Padahal, menderita penting di alami seseorang agar bisa bisa menaikkan gradekehidupannya.

Iman sesorang diukur bukan karena ia bisa bebas dari penderitaan tetapi bagaimana ia bisa bertahan dalam penderitaan itu. Nabi Yusuf As terjaga dari kemaksiatan bukan semata karena terbebas dari bujuk ratu Siti Zulaikha.

Beliau memperoleh kilatan cahaya Allah SWT karena bisa menahan diri untuk tidak memenuhi keinginan bercinta dengan Siti Zulaikha. Para nabi dan rasul adalah juga manusia tetapi daya serap mereka terhadap sifat-sifat Allah amatlah tinggi.

Mereka juga tergoda tetapi mereka selamat karena mampu menyerap sifat-sifat Allah. Me reka lebih mampu menulis daftar ketidaksenangan dari pada daftar kesenangan. Merekalah teladan kehidupan yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

Kita bisa disebut memiliki kesadaran tinggi akan keadilan Allah ketika menyadari bahwa semua ciptaan Allah mengandung hikmah terbaik bagi manusia. Hidup penuh kesenangan mengandung hikmah. Kehidupan penuh derita juga mengandung hikmah. Tak ada ciptaan Allah, entah materi, keadaan, situasi, kesempatan, yang sia-sia.

Semuanya mengandung di dalamnya citra kasih sayang Allah ke pada para hamba-Nya. Allah terlibat dalam semua denyut kehidupan.

Maka, demikian diajarakan Sheikh Ibnu `Athoillah As-Sakandari di ujung atas refleksi kita kali ini, kehidupan yang penuh kebahagiaan adalah ketika kita mampu menahan untuk tidak memenuhi dahaga kesenangan dan karena kalau itu tak tercapai akan membuat kita bersedih.

Semakin sedikit keinginan akan semakin sedikit pula kekecewaan kita. Apa pun jenis kekecewaan Anda sebab utamanya karena apa yang Anda peroleh lebih sedikit dari yang Anda inginkan.

Oleh sebab itu, demi kesehatan jiwa, mental, dan spritual, kurangilah daftar kesenangan Anda sekarang juga. Mulai belajar menulis daftar kekecewaan. Semakin sedikit daftar angan-angan dan keinginan kita, akan semakin sedikit pula kemungkinan kekecewaan mendera kita. Keinginan yang tak tercapai, kalau tidak siap, hanya akan membuka gerbang kekecewaan. Jika terlempar ke dalam gerbang kekecewaan maka kita akan memasuki dunia kegelapan yang tidak mudah untuk kembali.

Jalan terbaik tetaplah jalan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. Jalan itu adalah kerelaan kita menyerap sebanyak mungkin sifat Allah. Sifat-sifat- Nya yang tercermin, antara lain, dalam Asma-Nya yang mulia.

Dalam nama-nama-Nya yang agung. Kalau Dia Mahapengasih maka kita harus belajar mengasihi. Kalau Dia Mahapenyabar maka kita harus selalu bersandar atas kesabaran dalam menerima ketetapan-Nya. Wallaahu a'lam bish shawaab. []

Republika, 15 Februari 2015
KH. A. Hasyim Muzadi, Mantan Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar