Senin, 16 Februari 2015

Dahlan: Lokomotif Ketiga yang Masih Perlu Keputusan



Lokomotif Ketiga yang Masih Perlu Keputusan
Catatan Dahlan Iskan untuk Aceh (3)
Oleh: Dahlan Iskan
21 Desember 2014

Museum tsunami di Banda Aceh ini jauh lebih hebat dari yang saya bayangkan. Begitu masuk, sudah sangat menggigit.

Setelah mengunjungi obyek yang satu ini, saya menarik kesimpulan: obyek ini bagus sekali. Bahkan saya menyesali diri. Kok tidak dulu-dulu berkunjung ke obyek ini: museum tsunami.

Museum ini dibangun dengan sangat professional. Desainnya modern dan penuh dengan filosofi yang terkait erat dengan peristiwa tsunami dan budaya Aceh. Saya tahu perancang bangunan ini, Ridwan Kamil, memang seorang arsitek handal yang dimiliki Indonesia.

Saya juga pernah sholat di masjid yang dia rancang di pinggiran kota Bandung. Juga sangat mengesankan. Pun penuh dengan filosofi. Hotel terbaru milik BUMN yang kini sedang dibangun di Nusa Dua, Bali, juga dirancang oleh arsitek hebat ini. Kini Ridwan Kamil menjadi walikota Bandung. Kita ingin tahu apa yang akan dia ciptakan di Bandung secara keseluruhan.

Museum tsunami di Banda Aceh ini jauh lebih hebat dari yang saya bayangkan. Begitu masuk, sudah sangat menggigit. Pengunjung sudah langsung mendapatkan experience. Yakni ketika pengunjung masuk ke museum melakui lorong gelap itu. Ada gemericik air di lorong itu. Bahkan benar-benar ada tetesan-tetesan air dari atas. Seperti hujan deras baru saja selesai tapi belum sepenuhnya berhenti. Titikan air itu tidak sampai membuat pengunjung basah kuyub, tapi cukup terasa menusuk.

Ketinggian lorong gelap ini pun dibuat tinggi: 22 meter. Untuk menggambarkan ketinggian gelombang tsunami yang terjadi di Aceh persis 10 tahun yang lalu. Dengan ketinggian lorong seperti itu pengunjung yang berada di dalamnya bisa membandingkan betapa dirinya tidak ada artinya dibanding dengan ketinggian air yang sedang menggulungnya. Betapa tidak berdayanya orang sekecil kita dengan dahsyatnya gelombang tsunami.

Begitu melewati lorong, kita mendapatkan obyek yang berupa cerobong besar. Itulah cerobong doa. Suasanya sangat magis. Pengunjung yang berada di ruang cerobong itu otomatis akan tersedot untuk mendongak. Mencari ujung cerobong di atas sana. Ujung cerobong itu ternyata sebuah atap kaca (sekaligus sumber pencahayaan) dengan tulisan Arab “Allah”. Langsung suasana religius tercipta.

Dinding cerobong yang melingkar itu didesain untuk ditulisi nama-nama korban yang meninggal/hilang dalam tsunami Aceh. Ribuan nama berjajar rapi di situ. Belum semua 280.000an nama tertulis, tapi sudah cukup massif untuk menciptakan suasana berkabung yang mendalam. Entah kapan semua nama akan tercetak di situ.

Lantai cerobong ini yang sukup besar, sekaligus dipergunakan untuk berdoa. Pengunjung, terutama keluarga, berdoa di sini sambil menengadah, ke tulisan Allah jauh di atas sana dan menatap nama-nama korban di dinding.

Sambil menuju ke lantai dua yang jalannya dibuat melingkar dan menanjak (dengan demikian tidak perlu ada anak-anak tangga), kita harus melewati jembatan kayu yang disebut jembatan perdamaian. Inilah symbol bahwa setelah terjadi tsunami tercapailah perdamaian di Aceh. Konflik besar yang sudah puluhan tahun berakhir. Di atas jembatan itu, di langit-langit yang tinggi, terlihat bendera banyak negara: itulah negara-negara yang membantu rehabilitasi Aceh. Di sebelah bendera itu ada tulisan yang menggunakan bahasa masing-masing yang artinya: damai!

Lantai 2 ini juga sangat menarik. Foto-foto tsunami, ilmu-ilmu mengenai tsunami dan geologi dipajang di situ. Ada pula teater kecil yang memutar video terjadinya tsunami. Ruangan dan layarnya menarik. Tapi videonya mungkin sudah perlu pembaharuan. Sudah harus ditambah sentuhan-sentuhan grafis. Agar lebih terasa modern. Video itu sudah kurang cocok untuk zaman multi media sekarang ini.

Sebetulnya ada “klimaks” yang luar biasa di meseum ini. Klimaks itu akan menjadi oleh-oleh paling berharga dari museum. Bahkan sepulang mereka dari Aceh klimaks itu akan jadi cerita yang tidak akan ada habisnya. Yakni di lantai paling atas. Di situ ada peragaan bangunan yang disebut tahan gempa dan bangunan yang tidak tahan gempa. Dengan guncangan tertentu, bangunan yang tidak tahan gempa akan runtuh. Lalu pengunjung bisa menyusun lagi bangunan itu untuk digoyang lagi. Dari situ akan terlihat bagaimana proses runtuhnya sebuah bangunan yang terkena gempa.

Tapi bukan itu klimaksnya. Melainkan ini: pengunjung bisa naik ke sebuah bilik, lalu bilik itu secara otomatis terguncang sesuai dengan keinginan. Besarnya guncangan itu menggambarkan dengan sebenarnya kekuatan gempa. Bisa distel di komputer.

Pengunjung bisa minta ingin merasakan guncangan gempa berskala berapa. Guncangan tertinggi berskala 9 Richter. Sama dengan gempa yang menyebabkan tsunami di Aceh. Pengunjung biasanya bergelimpangan di situ saat guncangan dibuat berskala 9 Richter. Bahkan banyak juga yang minta dihentikan atau minta turun.

Sayangnya, saat saya berkunjung ke museum itu Jumat lalu, peragaan yang penuh experience itu dalam keadaan rusak. Sudah lama. Lama sekali. Rupanya siapa yang harus mengelola museum ini perlu dibuat keputusan baru. Pemandu museumnya sudah sangat bagus, tapi brosur-brosurnya kurang menarik.

Rupanya siapa yang harus mengelola museum ini perlu dibicarakan ulang. Kementerian ESDM, yang mengelolanya selama ini, bisa mengkajinya.

Saya punya keyakinan kuat, meseum tsunami ini bisa menjadi lokomotip ketiga yang besar untuk daya tarik Aceh. Dengan demikian sudah tiga lokomotip bisa diandalkan. Tinggal mencari dua lagi. Pasti bisa ditemukan. Atau diadakan. []

(Selesai)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar