Lokomotif Ketiga yang Masih Perlu Keputusan
Catatan Dahlan Iskan untuk Aceh (3)
Oleh: Dahlan Iskan
21 Desember 2014
Museum tsunami di Banda Aceh ini jauh lebih hebat dari yang saya
bayangkan. Begitu masuk, sudah sangat menggigit.
Setelah mengunjungi obyek yang satu ini, saya menarik kesimpulan:
obyek ini bagus sekali. Bahkan saya menyesali diri. Kok tidak dulu-dulu
berkunjung ke obyek ini: museum tsunami.
Museum ini dibangun dengan sangat professional. Desainnya modern
dan penuh dengan filosofi yang terkait erat dengan peristiwa tsunami dan budaya
Aceh. Saya tahu perancang bangunan ini, Ridwan Kamil, memang seorang arsitek
handal yang dimiliki Indonesia.
Saya juga pernah sholat di masjid yang dia rancang di pinggiran
kota Bandung. Juga sangat mengesankan. Pun penuh dengan filosofi. Hotel terbaru
milik BUMN yang kini sedang dibangun di Nusa Dua, Bali, juga dirancang oleh
arsitek hebat ini. Kini Ridwan Kamil menjadi walikota Bandung. Kita ingin tahu
apa yang akan dia ciptakan di Bandung secara keseluruhan.
Museum tsunami di Banda Aceh ini jauh lebih hebat dari yang saya
bayangkan. Begitu masuk, sudah sangat menggigit. Pengunjung sudah langsung
mendapatkan experience. Yakni ketika pengunjung masuk ke museum melakui lorong
gelap itu. Ada gemericik air di lorong itu. Bahkan benar-benar ada
tetesan-tetesan air dari atas. Seperti hujan deras baru saja selesai tapi belum
sepenuhnya berhenti. Titikan air itu tidak sampai membuat pengunjung basah
kuyub, tapi cukup terasa menusuk.
Ketinggian lorong gelap ini pun dibuat tinggi: 22 meter. Untuk
menggambarkan ketinggian gelombang tsunami yang terjadi di Aceh persis 10 tahun
yang lalu. Dengan ketinggian lorong seperti itu pengunjung yang berada di
dalamnya bisa membandingkan betapa dirinya tidak ada artinya dibanding dengan
ketinggian air yang sedang menggulungnya. Betapa tidak berdayanya orang sekecil
kita dengan dahsyatnya gelombang tsunami.
Begitu melewati lorong, kita mendapatkan obyek yang berupa
cerobong besar. Itulah cerobong doa. Suasanya sangat magis. Pengunjung yang
berada di ruang cerobong itu otomatis akan tersedot untuk mendongak. Mencari
ujung cerobong di atas sana. Ujung cerobong itu ternyata sebuah atap kaca
(sekaligus sumber pencahayaan) dengan tulisan Arab “Allah”. Langsung suasana
religius tercipta.
Dinding cerobong yang melingkar itu didesain untuk ditulisi
nama-nama korban yang meninggal/hilang dalam tsunami Aceh. Ribuan nama berjajar
rapi di situ. Belum semua 280.000an nama tertulis, tapi sudah cukup massif
untuk menciptakan suasana berkabung yang mendalam. Entah kapan semua nama akan
tercetak di situ.
Lantai cerobong ini yang sukup besar, sekaligus dipergunakan untuk
berdoa. Pengunjung, terutama keluarga, berdoa di sini sambil menengadah, ke
tulisan Allah jauh di atas sana dan menatap nama-nama korban di dinding.
Sambil menuju ke lantai dua yang jalannya dibuat melingkar dan
menanjak (dengan demikian tidak perlu ada anak-anak tangga), kita harus
melewati jembatan kayu yang disebut jembatan perdamaian. Inilah symbol bahwa
setelah terjadi tsunami tercapailah perdamaian di Aceh. Konflik besar yang
sudah puluhan tahun berakhir. Di atas jembatan itu, di langit-langit yang
tinggi, terlihat bendera banyak negara: itulah negara-negara yang membantu
rehabilitasi Aceh. Di sebelah bendera itu ada tulisan yang menggunakan bahasa
masing-masing yang artinya: damai!
Lantai 2 ini juga sangat menarik. Foto-foto tsunami, ilmu-ilmu
mengenai tsunami dan geologi dipajang di situ. Ada pula teater kecil yang
memutar video terjadinya tsunami. Ruangan dan layarnya menarik. Tapi videonya
mungkin sudah perlu pembaharuan. Sudah harus ditambah sentuhan-sentuhan grafis.
Agar lebih terasa modern. Video itu sudah kurang cocok untuk zaman multi media
sekarang ini.
Sebetulnya ada “klimaks” yang luar biasa di meseum ini. Klimaks
itu akan menjadi oleh-oleh paling berharga dari museum. Bahkan sepulang mereka
dari Aceh klimaks itu akan jadi cerita yang tidak akan ada habisnya. Yakni di
lantai paling atas. Di situ ada peragaan bangunan yang disebut tahan gempa dan
bangunan yang tidak tahan gempa. Dengan guncangan tertentu, bangunan yang tidak
tahan gempa akan runtuh. Lalu pengunjung bisa menyusun lagi bangunan itu untuk
digoyang lagi. Dari situ akan terlihat bagaimana proses runtuhnya sebuah
bangunan yang terkena gempa.
Tapi bukan itu klimaksnya. Melainkan ini: pengunjung bisa naik ke
sebuah bilik, lalu bilik itu secara otomatis terguncang sesuai dengan
keinginan. Besarnya guncangan itu menggambarkan dengan sebenarnya kekuatan
gempa. Bisa distel di komputer.
Pengunjung bisa minta ingin merasakan guncangan gempa berskala
berapa. Guncangan tertinggi berskala 9 Richter. Sama dengan gempa yang
menyebabkan tsunami di Aceh. Pengunjung biasanya bergelimpangan di situ saat
guncangan dibuat berskala 9 Richter. Bahkan banyak juga yang minta dihentikan
atau minta turun.
Sayangnya, saat saya berkunjung ke museum itu Jumat lalu, peragaan
yang penuh experience itu dalam keadaan rusak. Sudah lama. Lama sekali. Rupanya
siapa yang harus mengelola museum ini perlu dibuat keputusan baru. Pemandu
museumnya sudah sangat bagus, tapi brosur-brosurnya kurang menarik.
Rupanya siapa yang harus mengelola museum ini perlu dibicarakan
ulang. Kementerian ESDM, yang mengelolanya selama ini, bisa mengkajinya.
Saya punya keyakinan kuat, meseum tsunami ini bisa menjadi
lokomotip ketiga yang besar untuk daya tarik Aceh. Dengan demikian sudah tiga
lokomotip bisa diandalkan. Tinggal mencari dua lagi. Pasti bisa ditemukan. Atau
diadakan. []
(Selesai)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar