Menertawakan Bangsa Sendiri
Oleh: Komaruddin Hidayat
Dalam ilmu psikologi dikenal istilah archetype yaitu sifat dan
kecenderungan perilaku laten yang melekat pada setiap orang yang merupakan
bawaan turun-temurun, tanpa melalui proses belajar.
Jenis archetype ini puluhan jumlahnya salah satunya disebut warrior. Secara harfiah berarti naluri prajurit atau petarung yang bertujuan untuk membela diri dan meraihkemenangan. Seorangpetarung akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya. Pada diri anak kecil naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan yang berujung dengan berantem.
Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin juga bertanding memperebutkan pacar. Panggung kehidupan adalah panggung persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing-masing pihak ingin menang.
Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya, peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan dengan tambahan unsur seni, wasit, dan sportivitas misalnya saja dalam sepak bola atau pertandingan seni bela diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif hadiah, namun harus menjadi etika dan fairness.
Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan kekuasaan semakin seru, meriah, dan gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali kota, gubernur, DPR, hingga presiden. Bermunculan political warriors. Sayangnya, banyak di antara petarung politik itu yang tidak menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka ingin menang, tetapi tidak dengan cara ksatria dan fair.
Misalnya melancarkan fitnah, money politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak rasional dan tidak etis dilakukan semata untuk menang. Kalaupun nanti dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat sebagai seorang pemimpin atau penguasa. Yang akhir-akhir ini muncul dan membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik antara lembaga Polri dan KPK.
Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan, namun telah
menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Mungkin
saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah dikeluarkan ketika
mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang ksatria.
Bukan pemenang dan juara sejati. Bukan seorang warrior terhormat, melainkan pecundang dan koruptor. Mental pecundang itu ingin hidup aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi pejuang rakyat, namun semua itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas penegak hukum, mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar manusia yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone).
Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa yang salah, setiap orang punya naluri warrior. Naluri berantem menaklukkan lawan. Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi perkelahian antara maling dan tukang ronda. Antara penegak hukum dan penjahat. Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat pertengkaran dan permusuhan ada oknum.
Namun, karena oknum, jabatan formal, legalitas, otoritas dan kekuasaan berkait berkelindan makanya yang mesti diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan oknumnya mesti diamputasi. Yang membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undangundang semata untuk melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat korupsi.
Jadinya, kita menonton adegan dan figur-figur publik yang norak, konyol, dan membuat malu kita semua. Penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif untuk melayani rakyat akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan berkorban menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan. Kita ini sudah lama merdeka.
Di mana-mana berdiri perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat negara pun disyaratkan sarjana, akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk tidak korupsi. Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat gaduh bangsa dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan, tetapi juga terkutuk.
Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara secara rasional dan bermartabat? Setiap tahun APBN keluar untuk penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara. Untuk training dan pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar konsultan. Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising oleh pertengkaran dan sandera- menyandera antarlembaga penegak hukum?
Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang mahal ongkosnya. Tetapi, jangan-jangan lebih tepat disebut kedunguan karena akal sehat dan nuraninya tidak bekerja normal. []
Koran SINDO, Jum'at, 30 Januari 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar