Tim 9
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Selama
dua-tiga minggu terakhir, belantara politik Indonesia menjadi gaduh oleh
perseteruan elite dua lembaga penegak hukum: Polri versus Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), gara-gara pencalonan Komjen Budi Gunawan (BG) oleh Presiden Joko
Widodo yang disetujui DPR, tetapi yang ditolak oleh pendapat umum.
Penolakan
ini terutama karena BG telah dinyatakan sebagai status tersangka oleh KPK
sebelum dilakukan fit and proper test oleh Komisi III DPR yang dengan
penuh kegirangan telah menyetujui calon yang diajukan itu. Beberapa politisi
dengan semangat tinggi mengatakan bahwa dengan persetujuan DPR itu, maka apa
yang selama ini dikenal dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) telah lebur menjadi satu. Apakah memang sesederhana itu?
Pencalonan
yang disetujui oleh DPR itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan,
terutama para aktivis antikorupsi yang tanpa dikomando telah bergerak untuk
menentang calon kapolri itu. Seperti kita maklum, BG juga pernah dimasukkan
daftar calon menteri dalam kabinet Jokowi-JK, tetapi gagal masuk karena ada
catatan merah dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
KPK.
Para
pengusung BG menjadi berang. Kemudian, tanpa meminta pertimbangan PPATK lagi,
BG malah diusung untuk menjabat kapolri sekalipun sedang menyandang atribut
sebagai tersangka. Ekornya, suasana politik nasional menjadi panas, jika bukan
ganas.
Perseteruan
Polri dan KPK semakin parah, sekalipun sebenarnya hanya menyangkut para
elitenya belaka. KPK sedang dibumihanguskan secara sistematis tanpa ampun. Satu
per satu komisioner KPK mau dijadikan tersangka, didahului oleh Bambang
Widjojanto (BW) yang ditangkap dan diborgol tangannya saat yang bersangkutan
sedang mengantarkan anaknya ke sekolah.
Cara
penangkapan yang biadab ini telah menuai protes keras dari berbagai pihak.
Presiden karena melihat tanggapan publik yang negatif terhadap pencalonan BG
tampaknya kemudian sedikit menjadi gamang dan mulai berpikir ulang dengan
segala risiko politik yang mengiringinya.
Demikianlah
bola panas itu terus bergulir. Presiden kemudian membentuk Tim Konsultatif
Independen atau lebih dikenal dengan nama Tim 9 yang terdiri atas Jimly
Asshiddiqie, Tumpak H Panggabean, Imam B Prasodjo, Erry Riyana Hardjapamekas, Hikmahanto
Juwana, Oegroseno, Bambang Widodo Umar, Sutanto (tidak aktif), dan Ahmad Syafii
Maarif. Selain saya yang tinggal di Yogyakarta, delapan yang lain adalah
penduduk Jakarta.
Sewaktu
pertemuan perkenalan di Istana sebelumnya saya tidak hadir. Baru Selasa, 27
Januari 2015, saya turut dalam rapat di kantor Mensesneg yang mendiskusikan
draf Keppres yang telah disiapkan yang akan menjadi asas legalitas bagi Tim 9.
Sebenarnya malam itu juga diharapkan Keppres itu akan ditandatangani Presiden,
tetapi dia sedang berada di Sumatra Utara.
Rabu, 28
Januari pagi, Mensesneg dan Menseskab menemui saya di Apartemen Kuningan
menjelaskan bahwa keppres tidak jadi dikeluarkan. Saya sama sekali tidak kaget
dengan infomasi ini karena kelahiran tim ini memang tidak dikehendaki oleh
pihak-pihak pengusung BG.
Apalagi
anggota tim ini adalah orang-orang merdeka yang tidak punya kepentingan pribadi
apa-apa kecuali agar Polri dan KPK tidak menguras energi untuk berseteru
sehingga lupa melawan korupsi. Tetapi, alangkah sulitnya, masing-masing pihak
telah sama memasang kuda-kuda. Ujungnya bagi Polri: pimpinan KPK harus dihabisi
dan otomatis para koruptor berpesta pora.
Rabu
menjelang siang, Tim 9 (tidak lengkap) diterima Presiden di Istana. Terjadilah
pembicaraan tentang masalah Polri versus KPK ini. Tim tidak lagi mempersoalkan
ada keppres atau tidak. Kami bertekad untuk membantu Presiden dalam mencari
penyelesaian.
Tidak
seluruhnya isi pembicaraan di Istana ini dapat saya rekamkan di sini. Tetapi,
pada pokoknya Tim 9 menyarankan kepada Presiden seperti yang tertuang dalam
lima butir rekomendasi yang digelar di dalam konferensi pers sore Rabu itu di
lingkungan Sekneg. Butir rekomendasi yang kemudian menghebohkan itu adalah agar
BG tidak dilantik menjadi kapolri.
Dalam
merumuskan rekomendasi tim, Hikmahanto yang sebelumnya tidak hadir di Istana
karena pergi ke Surabaya, sore itu memainkan peran penting. Agak di luar dugaan
tim, pada Kamis, 29 Januari, rekomendasi itu mendapat tempat utama pada semua
media cetak dan elektronik. Belantara politik Indonesia menjadi geger.
Pengacara BG seperti kehilangan keseimbangan. Sampai hari ini anggota tim yang
ada di Jakarta tetap saja bekerja aktif secara sukarela. Saya bangga dengan
mereka itu.
Akhirnya,
dalam usia menjelang 80 tahun ini, saya sendiri heran dan tidak mengira akan
“terpelanting” ke pusaran politik yang seru ini. Bukan karena penting amat
perseteruan elite dua lembaga ini, tetapi ibarat dewa mabuk, orang-orang
tertentu seperti tega mengorbankan institusi negara demi kepentingan pribadi
dan kekuasaan. Tim 9 ingin membantu Presiden agar mimpi buruk itu tidak
benar-benar menjadi kenyataan. Polri dan KPK harus bersinergi kembali. Korupsi
adalah perbuatan tunamartabat yang membunuh masa depan bangsa ini. []
Republika, 17
February 2015
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar