Resolusi Jihad: Urat Nadi
Perang Mempertahankan NKRI
Oleh: Zainul Milal Bizawie
--Apa yang dikhawatirkan Pangeran Hendrik,
seorang Pangeran Muda Belanda berusia 16 tahun ketika mendatangi Pangeran
Diponegoro di tempat pengasingannya, kiranya terbukti ketika terjadi revolusi
fisik 1945-1949. Meskipun Belanda harus menghadapi Indonesia secara militer dan
diplomasi, namun akhirnya kalah.
"Kelak para penerus trah Diponegoro,
tidak saja akan meneruskan perjuangannya, namun akan tiba satu masa, ketika
Belanda hanya akan menghadapi dua pilihan, berhadapan secara hitam putih dengan
nusantara. Dan ketika itu buat Belanda hanya dua pilihan. Kalah atau memang.
Tidak ada jalan tengah," ujar Pangeran Hendrik.
Jejaring Ulama Santri, Membentuk Laskar
Sejak kolonial bercokol di Nusantara,
pusat-pusat kekuasan di kerajaan Mataram dan Banten mulai tergerus oleh
perebutan kekuasaan dan campur tangan kolonial. Perpecahan demi perpecahan
terus terjadi sehingga memberikan angin segar bagi Kolonial Belanda makin
memperkukuh kekuasaannya. Pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para
ulama-santri, sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan
Kolonial.
Tradisi perlawanan tersebut tidaklah
didasarkan pada pembelaan terhadap suatu kekuasaan salah satu pihak, tapi
karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam.
Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap
kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa
Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga
dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa.
Para Ulama santri itulah yang di kemudian
hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdus
Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf
Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan
muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah diantara sisa-sisa pasukan Diponegoro
yang dikemudian hari menjadi pionir-pionir terbentuknya kembali jaringan ulama
nusantara baik di lokal maupun internasional.
Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap,
perlawanan terhadap Belanda yang tidak pernah surut datang dari para
ulama-santri dan justru lebih strategis dan efektif. Bahkan lebih dari 130
pertempuran dilakukan kalangan pesantren sejak Diponegoro ditangkap. Selain
melalui pertempuran, pembinaan kader-kader penerus juga dilakukan. Di akhir
abad ke-19 Muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf
al Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar
Semarang, Syekh Mahfudz at Tirmasy cucu Kyai Abdul Manan yang meneruskan
perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet yang
meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab
Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak lagi ulama
lainnya.
Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun
jaringan ulama nusantara yang menjahit keterikatan hubungan antara
guru-murid yang di kemudian hari membangun jam’iyah Nahdlatul Ulama yang
memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan
bangsa dan Negara Indonesia.
Begitu strategisnya jejaring ulama-santi,
sehingga sebelum menemui Marsekal Terauchi ke Dalat, Soekarno telah mengadakan
konsultasi dengan beberapa pemuka agama Islam di antaranya Hadlaratussyaikh
Hasyim Asy’ari mengenai kemungkinan hari atau tanggal diumumkannya kemerdekaan
serta jaminan dari umat Islam jika proklamasi jadi diumumkan. Hadlaratussyaikh
Hasyim Asy’ari memberikan jaminan bahwa pihaknya telah menghubungi Angkatan
Laut Jepang di Surabaya dan mereka setuju jika Sukarno nantinya yang akan
dijadikan sebagai pimpinan negara begitu kemerdekaan diumumkan. Jaminan dari
Hadlaratussyaikh Hasyim Asyari merupakan penegasan bahwa Nahdlatul Ulama akan
berdiri di belakang proklamasi dan membelanya dari pihak-pihak yang mencoba
menggagalkan dan menentangnya.
Pergerakan ulama-santri melawan kolonial yang
bermuara pada terbentuknya Laskar Hizbullah. Pada era politik etis kolonial
Belanda, kalangan pesantren begitu terpinggirkan, sehingga tidak mendapatkan
perhatian dari kebijakan pendidikan, bahkan terkesan dirugikan. Meskipun
demikian, karakteristik pendidikan ala pesantren tetap dipertahankan dan
menjadi ciri khas kalangan Islam tradisional. Meski tidak mendapatkan
perhatian, justru pesantren telah membangun dan menjaga suatu gerakan menjahit
bangsa ini melalui jejaring ulama baik lokal maupun internasional.
Berdirinya NU, merupakan hasil dari rangkaian
Jejaring Ulama dan Santri tersebut. Tradisi perlawanan terhadap kolonial terus
dijaga oleh ulama dan melalui NU serta MIAI (Masyumi) bahkan perjuangan dan
pergerakan melawan kolonial tersebut lebih efektif karena mapannya struktur NU
dan basis massanya menyebar di pedesaan. Di saat Perang Dunia II meletus,
dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar
kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaaatkan kelemahan Jepang yang terjepit
oleh sekutu meski penindasaan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama
mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami,
kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang
berupaya merangkul Islam khsusnya Islam tradisional. Dalam konteks inilah
laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan
mempertahankannya.
Saat kemerdekaan RI diproklamirkan, laskar
Hizbullah baik secara moral maupun organisasional dalam keadaan utuh dan penuh
semangat juang tinggi. Secara organisasional, Hizbullah dalam keadaan
solid hingga masa-masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Laskar Hizbullah
menjadi salah satu kesatuan bersenjata yang paling siap dalam menyongsong satu
era baru yakni era Revolusi Kemerdekaan. Bahkan, untuk membela tanah air, pada
17 September 1945 Fatwa Jihad telah ditandatangani Hadlaratussyaikh Hasyim
Asy’ari yang kemudian dikukuhkan oleh sebuah rapat para kyai pada tanggal 21-22
Oktober 1945 yang dikenal resolusi Jihad.
Resolusi Jihad, Nadi Perlawanan
Resolusi jihad tidak hanya sebagai pengobar
semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar
segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan
kemerdekaan. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan para Kyai
dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan fisabillah. Di saat
tentara negara belum efektif terutama jalur komandonya, laskarnya ulama santri
telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi
dan jalur komando laskar Hizbullah dengan dukungan struktur NU dan Masyumi
begitu massif hingga ke pedesaan.
Padahal Presiden Sukarno mengeluarkan dan
menandatangani maklumat tentang pembentukan tentara nasional yang dinamakan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, dan masih menitikberatkan
fungsi keamanan. Karenanya, fungsi pertahanan acapkali dilakukan oleh kesatuan-kesatuan
laskar di berbagai daerah. Hizbullah merupakan kesatuan laskar yang cukup solid
dan telah memiliki anggota yang cukup banyak. Di bawah bendera Masyumi, semua
ormas Islam telah membentuk laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.
Pada saat terbentuknya TKR pada 5 Oktober
1945, pemerintah dan Hizbullah bersepakat untuk menempatkan diri sebagai bagian
dari organisasi tentara nasional yang baru dibentuk. Garis pimpinan Hizbullah
meliputi pimpinan tingkat pusat hingga mencapai ke satuan-satuan lokal juga
mengikuti TKR. Sepanjang Oktober 1945 Hizbullah terus melakukan konsolidasi dan
rekrutmen di berbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta,
bahkan Sumatera. Konsolidasi dan pengorganisasian Hizbullah bertitik tolak dari
keprihatinan dan kewaspadaan terhadap musuh tiada henti melakukan aksinya
dengan tujuan mengagalkan kemerdekaan.
Surabaya menjadi medan pertempuran yang cukup
menghentakkan pihak sekutu. Surabaya menjadi Melting Pot Laskar Hizbullah dari
berbagai daerah. Dengan berbekal Fatwa Jihad yang diteguhkan Resolusi Jihad,
para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad
tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI.
Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar
ulama santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Resolusi
jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi
keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga
terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di
tanah Pasundan juga di luar Jawa.
Meskipun Pertemuan BKR di Yogyakarta untuk
memilih seorang panglima TKR baru pada 12 November 1945 namun Resolusi Jihad
telah menjadi pegangan seluruh umat Islam di Indonesia untuk merapatkan barisan
dan melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda di seluruh wilayah
Indonesia.
10 November yang hingga ini dijadikan Hari
Pahlawan bukan tanpa alasan.Selain pada hari tersebut pihak Sekutu, pemenang
Perang Dunia II yang tidak pernah terkalahkan benar-benar menghadapi lawan yang
cukup tangguh meski bersenjata ala kadarnya. 10 November memang tidak
membuahkan kemenangan bagi pejuang Indonesia, bahkan Pada 24-25 November 1945
pasukan Sekutu akhirnya menguasai seluruh kota Surabaya atau setelah dua minggu
penuh bertempur tanpa henti. Namun, pertempuran terus dilakukan dan menyebar di
seluruh pelosok negeri. Pesantren menjadi basis-basis perlawanan yang tidak
pernah surut.
Diplomasi yang dilakukan oleh para pemimpin
bangsa telah dimanfaatkan pihak kolonial menyusun kekuatan. Loyalitas
ulama-santri diuji, terutama adanya proses-proses politik dalam reorganisasi
dan rasionalisasai tentara Negara. Karena yang diusung para ulama adalah
politik kebangsaan, maka Laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan
kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara Negara. Bahkan para ulama
tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali resolusi jihad II.
Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah merugikan, namun semangat
juang ulama-santri tetap berkobar. Perlawanan tiada henti dilancarkan untuk
membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap eksis. Belanda akhirnya melakukan
Agresi Militer Belanda dua kali untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Meskipun demikian, para pejuang tidak
mengenal menyerah. Kegigihan para pejuang menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa
Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluhlantahkan kolonial Belanda.
Resolusi Jihad telah menggerakkan seluruh jaringan ulama santri dan seluruh
rakyat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan terhadap berbagai upaya-upaya
Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Para laskar ulama santri, tidak
berhenti menjadikan nadi resolusi jihad bagi para pejuang-pejuang bangsa Indonesia
untuk menjaga tegaknya negara Indonesia. Dan akhirnya, pertempuran selama empat
tahun mendapatkan dukungan dunia internasional hingga diakuinya kedaulatan
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.
Inilah kekhawatiran Pengeran Hendrik, tidak
ada tawar menawar lagi, Belanda pasti kalah. Resolusi Jihad telah membentangkan
darah para syuhada sebagai saksi sejarah ditegakkannya NKRI. []
Zainul Milal Bizawie, penulis buku “Laskar
Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)”
dan “Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar