Mahmudah Mawardi, Delapan Periode Memimpin Muslimat
Pada tulisan sebelumnya, dipaparkan ketokohan
salah satu Srikandi NU, Ny.
Hj. Umroh Machfudzoh. Tokoh ini memang bukan asli kelahiran Solo, namun ia
kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU)
sebagai perwakilan dari Solo.
Nah, terpaut satu generasi sebelumnya,
terdapat satu nama yang juga tak kalah hebatnya. Seorang tokoh wanita kelahiran
Keprabon Solo bernama Nyai Hj. Mahmudah Mawardi. Kelak di zamannya, ia dikenal
sebagai salah satu toko Muslimat NU. Ia bahkan pernah mengemban amanah sebagai
ketua umum Muslimat NU selama delapan periode atau 29 tahun masa kepengurusan
(1950-1979).
Lahir pada tanggal 12 Februari 1912, Mahmudah
kecil dibesarkan di lingkup pesantren yang diasuh oleh ayahnya, Kiai Masjhud.
Kiai Masjhud merupakan salah satu tokoh yang dianggap menjadi salah satu
perintis berdirinya NU di Kota Solo. Tokoh ini hidup sezaman dan bersahabat
dengan Hadratussyaikh, KH Hasjim Asj’ari.
Mahmudah merupakan anak pertama dari lima
saudari. Mereka adalah Mahmudah, Mahwiyah, Mahsunah, Mahdumah dan Mahmulah.
Kelima putri ini dilahirkan dari rahim istri pertama Kiai Masjhud. Setelah
istri pertamanya wafat, Kiai Masjhud kemudian memperistri Syuaibah, yang
kemudian melahirkan salah satu tokoh pendiri IPNU dan PMII, H. Mustahal Ahmad.
Sejak kecil Mahmudah belajar kepada orang
tuanya di Pondok Pesantren yang kelak dikenal sebagai Pesantren Al-Masjhudiyah.
Kemudian ia belajar selama 6 tahun di Madrasah Ibtidaiyyah Sunniyah Solo,
hingga tamat pada tahun 1923. Setelah itu, ia melanjutkan belajar di Madrasah
Tsanawiyyah Sunniyah selama 3 tahun. Sunniyah merupakan sebuah nama langgar dan
madrasah di daerah Keprabon Timur Solo. Letaknya sekitar 300 m ke arah utara
dari rumah Mahmudah.
Seiring waktu berjalan, Mahmudah terus
meningkatkan kemampuannya dengan mengikuti kursus-kursus keguruan. Ia juga
pernah nyantri di Pesantren Jamsaren Solo, di bawah asuhan KH Mohammad Idris.
Kesemuanya ini menjadikan dirinya sebagai pribadi yang terpelajar nan alim.
Berdasarkan penuturan salah seorang
keponakannya, Nashirul Umam, Mahmudah juga berhasil menjadi salah seorang
penghafal Alquran atau hafidhah.
Kiprah Mahmudah
Mahmudah mengawali kiprah perjuangannya
dengan menjadi guru di tempat belajarnya dahulu, Sunniyah, sejak tahun 1930.
Bersama kaum perempuan muslim di Solo, ia kemudian mendirikan organisasi
Nahdlatoel Moeslimat (NDM) di Kauman Surakarta pada bulan April 1931.
Organisasi ini bergerak pada bidang pendidikan, khususnya untuk kaum perempuan.
Dalam proses pendirian, Mahmudah menjadi ketua pendiri organisasi, hingga
akhirnya membuka cabang di mana-mana.
Selama kurun waktu 1933-1945, Mahmudah
menjadi kepala sekolah Madrasah Muallimat NDM. Pada kisaran tahun itu pula,
Mahmudah menikah dengan salah seorang tokoh pergerakan PSII Solo, A. Mawardi.
Nama inilah yang tersemat di belakang namanya hingga akhir hayat.
Dari pernikahan tersebut lahir putra-putri
yang kelak juga menjadi tokoh besar. Di antaranya Chalid Mawardi (Ketua PP GP
Ansor 1980-1985, mantan Dubes RI di Syiria dan Lebanon), Farida Purnomo (Ketua
PP IPPNU 1963-1966) dan Lathifah Hasyim (Dewan Penasihat PP Muslimat NU
2011-2016).
Sebagai tokoh pergerakan, kehidupan Mawardi
banyak menginspirasi Mahmudah untuk ikut aktif dalam dunia pergerakan. Mahmudah
kemudian ikut aktif dalam organisasi kewanitaan. Hinggga pada tahun 1943,
Mawardi meninggal. Sejak saat itu perjalanan panjang berkarir, berjuang dan
membesarkan anak-anak, mesti dijalani sendiri oleh Mahmudah.
Tidak hanya itu, ketika pada tahun 1954
ayahnya wafat, ia diberi amanah untuk menggantikan sang ayah sebagai pengasuh
pesantren yang kala itu terdapat 150 santri putri. Berbagai jalan kehidupan
ini, semakin membentuk karakternya sebagai seorang wanita yang tangguh.
Pada masa ini, ia juga menjadi salah satu
kunci terbentuknya IPPNU yang ketika awal berdiri berpusat di Solo. Hampir
sebagian besar tokoh pendiri IPPNU, seperti Umroh Machfudzoh, Basyiroh Soimuri,
Machmudah Nahrowi, Farida Mawardi dan lain-lain merupakan santriwati yang ikut
mengaji di Pesantren Masjhudiyah.
Memimpin Muslimat
Bakatnya sebagai seorang pemimpin sudah
terlihat sejak ia ikut membidani berdirinya NDM. Di Muslimat NU, karirnya juga
terus melesat hingga pada tahun 1946 ia mengemban dua amanah sekaligus, sebagai
ketua pertama Pimpinan Cabang Muslimat NU Surakarta dan ketua organisasi
Federasi Wanita Islam Indonesia di Solo. Sebagai catatan, Muslimat NU baru
diresmikan pada tanggal 29 Maret 1946 dalam Muktamar NU ke-XVI di Purwokerto.
Selang empat tahun kemudian, 1950, ketika
diselenggarakan Muktamar NU ke-XVIII di Jakarta, Mahmudah terpilih sebagai
ketua umum Muslimat NU. Sejak saat itu, ia memimpin hingga delapan periode
lamanya (1950-1979).
Dalam kurun waktu itu, Muslimat di bawah
kepemimpinannya tampil sebagai sebuah organisasi wanita yang cukup progresif.
Muslimat berperan aktif di dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Peran
Muslimat selanjutnya yaitu pada tahun 1967 ketika Mahmudah Mawardi ikut
mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai
wadah untuk mempersatukan gerak langkah organisasi-organisasi wanita Islam
dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama.
Selain berjuang di Muslimat, Mahmudah juga
banyak dipercaya untuk mengemban amanah di banyak hal. Di ranah politik, ia
bahkan dijuluki sebagai ‘politisi wanita besi brilian dari NU’. karir
politiknya diawali sejak 1946 ketika menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta
dari golongan wanita. Pada saat yang sama ia juga duduk sebagai anggota BP KNPI
mewakili Masyumi (waktu NU masih bergabung dengan Masyumi). Tahun 1952 duduk sebagai
anggota Liga Muslimin Indonesia dari NU.
Berlanjut pada masa pemerintahan RIS, ia
duduk sebagai anggota DPR RIS di Jogjakarta (1959), kemudian sebagai Anggota
DPR RI (1956-1971), Anggota DPR/MPR RI mewakili NU dan PPP (1971-1977), dan
Anggota MPR RI dari PPP (1977-1982).
Pada perhelatan Konferensi Islam Asia Afrika
(KIAA) pada tahun1965 dan 1970 ia dipercayai sebagai salah satu delegasi
Indonesia.
Akhir Hayat
Begitu banyak jasa yang telah ia ukir,
termasuk saat ia ikut aktif membantu perjuangan bangsa indonesia melalui
Barisan Hizbullah di Surakarta (12 Oktober 1945 – 19 September 1947). Tugasnya
kala itu, berada di garis belakang untuk membuka dapur umum, mengumpulkan
obat-obatan, lauk-pauk dan menjadi kurir. Atas jasanya itu, ia mendapat tanda penghargaan
Bintang Gerilya.
Menjelang wafatnya, ketika sakit, banyak
tokoh NU yang menjenguknya, KH Ali Maksum dan Gus Dur termasuk diantaranya.
Nyai Hj. Mahmudah Mawardi akhirnya wafat pada Rabu Wage, 26 Rabiul awal 1408 H/
18 November 1987 pukul 14.00 di Keprabon Wetan Solo, usia 78 tahun. Jenazahnya
dimakamkan di Astana Pulo Laweyan Solo. []
Sumber:
1 - Wawancara kepada Nashirul Ulum (cucu KH.
Masjhud/putra H. Mustahal Ahmad) di Solo, 2 Juni 2014.
2 - Sebelumnya pada Muktamar NU ke-XIII 12
Juli 1938 di Menes telah terbentuk organisasi wanita NU bernama Nahdlatoel
Oelama bahagian Moeslimat (NOM).
3 - Sejarah Muslimat NU. PP Muslimat NU.
Jakarta. 1979
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar