“Kini
Sudah Ada Ekstraknya”
Oleh:
Budiarto Shambazy
TENGAH
hari bolong pekan lalu, kami cuma belasan orang, menunggu kedatangan jenazah
Soegeng Sarjadi di sebuah masjid di bilangan Depok, Jawa Barat, yang jauh dari
hiruk-pikuk Ibu Kota. Seorang polisi tiba-tiba terlihat repot dan panik
mengatur lalu lintas di jalan di depan masjid, membuat kami agak heran.
Oh,
rupanya sang polisi pontang-panting karena baru diberi tahu bahwa Presiden Joko
Widodo dan Wapres Jusuf Kalla melayat ke masjid. Tak ada persiapan mencukupi
untuk mengamankan kedatangan mereka.
Belakangan
segelintir polisi, aparat kelurahan, dan aparat militer nongol juga di masjid.
Tapi, tidak ada pemandangan khas yang biasa kita saksikan di masa lalu jika
presiden atau wapres berkunjung ke sebuah tempat.
Dulu,
biasanya kunjungan mereka menimbulkan heboh dengan kerumunan orang di
mana-mana. Kadang kita sebal dengan sikap sok genting aparat/ birokrat di
sekeliling mereka.
Tak lama
kemudian tibalah rombongan RI-1 dan RI-2 dikawal tiga-empat mobil dan sebuah
motor polisi, plus segelintir personel Paspampres/protokol, serta sedikit
wartawan. Presiden dan Wapres berada di satu mobil saja.
Mereka
tiba lebih dulu daripada jenazah Soegeng. Setelah disambut menantu almarhum
Soegeng, Silmy Karim, kami bersama-sama wudu tanpa pengawalan ketat Paspampres.
Saat
keluar dari tempat wudu, masih dalam keadaan agak basah kuyup karena tak ada
handuk, anak-anak mengerubungi Presiden dan Wapres. Kegembiraan dan gurauan
polos mereka diladeni satu per satu Pak Jokowi dan Pak JK.
Waktu
dzuhur telah tiba mendahului kedatangan jenazah Soegeng, yang belakangan kami
shalatkan bersama pula. Alhamdulillah kehormatan bagi kami mengikuti shalat
Dzuhur dengan Pak Jokowi sebagai imam.
Untuk
pertama kalinya sebagai wartawan, saya merasakan sebuah kewajaran. Kita tahu
Pak Jokowi kurang terbiasa dengan protokol sejak jadi Wali Kota Solo, dan Pak
JK juga kurang suka hal-hal yang bersifat seremonial ketika jadi Wapres
2004-2009. Sebagian dari Anda pasti pernah ikut menyaksikan dan merasakan
sendiri dari dekat kunjungan Pak Jokowi dan Pak JK. Wajar ada yang setuju dan
juga yang kontra.
Masuk
akal yang tak setuju karena betapa pun mereka harus dikawal ketat untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Juga masuk akal yang setuju
menganggap pengawalan berlebihan sudah tidak zamannya lagi.
Tetapi,
tampaknya semua setuju gaya bersahaja ini bertujuan baik dalam rangka
penghematan. Sudah 10 tahun terjadi pemborosan dalam setiap acara kepresidenan
yang mungkin ditiru sampai oleh birokrasi paling bawah.
Kita
bangsa penggemar seremoni/upacara karena tradisi kultural yang rumit,
bertele-tele, dan mengada-ada. Pembukaan dan penutupan pidato saja kadang amat
panjang, peresmian monumen atau acara mutlak diawali pemukulan gong atau
pengguntingan pita.
Padahal,
setiap acara di republik ini pasti ngaret, kadang berjam-jam. Seminar,
lokakarya focus group discussion (FGD), dan lain-lain yang diadakan
kementerian berlangsung di hotel yang tak murah—sementara ruangan kantor mereka
sering kosong.
Dalam
rangka penghematan itulah, kita tunggu kunjungan perdana ke luar negeri
Presiden dalam rangkaian KTT APEC, ASEAN, dan G-20 dalam waktu dekat. Apakah
kunjungan menyertakan rombongan lebih dari 100 orang seperti yang sering
dilakukan presiden sebelumnya?
Meski tak
mudah mengubah kebiasaan boros yang sudah berlangsung lama, kita punya kekuatan
sebagai bangsa penganut kultur patron-client (bapak-anak buah). Jika pemimpin
menunjukkan suri teladan sehari-hari, para pejabat di bawah akan mengikutinya.
Untuk
pertama kalinya kita punya presiden dan wakil presiden yang berlatar belakang
pengusaha. Mereka bukan birokrat seperti SBY-Boediono.
Keduanya
pengusaha sukses, masing-masing dengan kekayaan mencapai puluhan miliar (Pak
Jokowi) dan ratusan miliar (Pak JK). Mungkin untuk pertama kalinya dalam
sejarah juga kita memiliki presiden/wapres yang ”orang tajir”.
Kita
berharap mereka tidak berambisi lagi untuk memperkaya diri. Dan, sebagai
pengusaha, mereka berorientasi pada kerja, kerja, dan kerja—seperti sering
dislogankan Pak Jokowi belakangan ini.
Jika
diandaikan nilai rata-rata rapor, pilihan kabinet juga mencapai angka 7 (cukup
baik). Nilai itu bisa mencapai angka 8 (baik) dan jangan sampai turun ke 6
(cukup). Tentu ada kalangan yang mengkritisi sebagian menteri bukanlah pilihan
yang terbaik. Inilah yang namanya ”kompromi politik” yang terjadi di semua
kabinet di dunia ini.
Alhasil,
kita optimistis dengan pemerintahan yang dipimpin orang yang gemar blusukan,
merakyat, bertekad menghemat, dan berorientasi kerja. Juga cukup menggembirakan
perilaku out of the box yang ditunjukkan Jokowi-JK telah menular. Lihat,
misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan kepemimpinan
yang berani menggebrak ke sana-sini atau Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri
yang memanjat pagar. Kita tunggu aksi-aksi ”tidak biasa” para menteri lainnya.
Betapa
pun, itu semua masih belum mencukupi. Tipologi kepemimpinan baru yang menempel
pada Jokowi-JK perlu penopang lain yang kuat untuk menjalankan pemerintahan
tegas, kuat, efisien, dan efektif.
Pada
bulan-bulan ke depan, pandangan tentang kepemimpinan baru ini bisa berubah. Toh
politik ”dunia persilatan” tak terduga.
Betapa
pun, untuk sementara ini kita memetik hikmah bahwa tiap pemimpin wajib merakyat
dan bekerja. Jika mengambil slogan iklan yang populer belakangan ini, ”Kini
sudah ada ekstraknya”. []
KOMPAS,
08 November 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar