Selasa, 04 November 2014

(Ngaji of the Day) Adakah Lebih Penting dari Wacana ‘Hari Santri’?



Adakah Lebih Penting dari Wacana ‘Hari Santri’?
Oleh: Ajie Najmuddin

--Muhammad Zidni Nafi’ dalam tulisannya di Kolom NU Online berjudul “Meninjau Wacana Labelisasi Hari Santri” (20/10/2014), memberikan gambaran kepada kita tentang rencana penatapan 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional yang diwacanakan oleh  presiden terpilih Jokowi yang dianggap menuai berbagai tanggapan dari banyak kalangan, khususnya dari kalangan pesantren. Tanggapan itu ada yang berupa dukungan penuh, menolak mentah-mentah atau ada juga yang menginginkan wacana tersebut untuk ditinjau ulang.

Dalam tulisannya dia juga mengatakan labelisasi Hari Santri Nasional tersebut tidak perlu apabila dalam realitanya masyarakat memang merasakan sangat betul atas kontribusi santri hingga sampai dewasa ini tetap berkelanjutan dan berkesinambungan. Untuk itu, dalam tulisan kali ini penulis hendak memberikan tanggapan terkait tulisan tersebut. Namun, tulisan di sini bukan untuk mengkritisi tulisan melainkan untuk memberikan wacana lain terkait pesantren.

Saat ini, menurut hemat penulis, ada hal lain yang lebih penting menyangkut ‘hajat hidup’ madrasah dan pesantren daripada sekadar perjuangan label santri. Hal tersebut yakni tatkala Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, beberapa waktu lalu telah mengeluarkan kebijakan terbaru melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) No 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA No 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pesantren.

Sebagai gambaran sekilas dari peraturan baru ini, salah satu poinnya yakni memungkinkan satuan pendidikan keagamaan Islam pada pesantren atau yang kemudian disebut satuan pendidikan muadalah setara dengan satuan pendidikan lainnya. Tidak hanya itu, peraturan tersebut juga tetap menjamin satuan pendidikan muadalah untuk dapat mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren pada basis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur.

Hal tersebut tentu menjadi semacam angin segar bagi dunia pesantren, di mana secara kelembagaan dan lulusan pesantren akan memiliki kesempatan besar untuk setara dengan sekolah formal. Dari sisi anggaran pesantren juga akan mendapatkan hak yang sama dengan pendidikan formal sehingga untuk pengajar, fasilitas, dan infrastruktur mendapatkan pembiayaan dari pemerintah.

Ini menjadi secercah peluang yang diharapkan dapat lebih mendukung keberadaan lembaga pendidikan pesantren yang dalam buku “Tradisi Pesantren” (Zamakhsyari Dhofier, 1980) disebut sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Namun, di balik semua asa itu, tentu juga terselip banyak hal lain dari peraturan ini, yang akan menjadi tantangan bagi pesantren ke depan.

Kesiapan Kelembagaan

Tantangan yang dimaksud, lebih mengarah pada kesiapan pesantren menghadapi peraturan baru ini. Para kiai, nyai, ustaz, dan santri, yang selama ini hanya bergelut dengan dunia fa’ala-yaf’ulu dan lain sebagainya, kini mesti menyiapkan sistem kelembagaaan, administraasi dan organisasi yang tertata. Selain masalah tersebut, perlu diperhatikan pula beberapa hal menyangkut kesiapan pesantren dalam menghadapi peraturan ini, salah satunya tentang sistem kurikulum yang akan diterapkan.

Mengingat pada PMA No. 18 tahun 2014 dalam pasal 10 ayat 3 menyebutkan setiap pesantren diwajibkan untuk memuat kurikulum umum paling sedikit empat mata pelajaran yakni: pendidikan kewarganegaraan (al-tarbiyah al-wathaniyah), bahasa Indonesia (al-lughah al-indunisiyah), matematika (al-riyadhiyat) dan ilmu pengetahuan alam (al-ulum al-thabi'iyah).

Ketentuan di atas akan menjadi tantangan tersendiri bagi orang-orang pesantren untuk membuat kurikulum dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan yang sudah ada pada pendidikan umum. Semisal yang dinyatakan oleh KH Lukman dari Termas, di mana kitab syamsul ma’arif yang diajarkan di beberapa pesantren, sudah selayaknya dikembangkan menjadi bagian dari ilmu pengetahuan alam atau al-ulum al-thabi'iyah (Baso, 2014).

Penerapan kurikulum umum ini sekaligus juga akan menguji kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas dirinya, yang menurut Abdurrahman Wahid (2007) masih dinilai bersifat subkultural. Begitu pula dengan tata nilai yang selama ini dimiliki pesantren seperti keikhlasan, kejujuran, kepatuhan dan kesederhanaan. Tak pelak, penambahan kurikulum umum ini bagi pesantren yang benar-benar masih bercorak tradisional dan berada di lingkup pedesaan, setidaknya akan memberikan pembentukan tata nilai baru bagi mereka.

Penegasan Nasionalisme

Hal lain yang tak kalah penting dari peraturan ini, yakni sebagaimana termaktub dalam PMA No. 13 tahun 2014  Pasal 4 yang berbunyi : “Pesantren wajib menjunjung tinggi dan mengembangkan nilai-nilai Islam rahmatan lil'alamin dengari menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, toleransi, kemanusiaan, keikhlasan, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya."

Pasal ini dapat dinilai sebagai penegasan sikap nasionalisme di kalangan pesantren. Tentu, sudah banyak kisah kepahlawanan dari kaum sarungan yang pernah kita baca, khususnya di era perjuangan dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Pun dalam upaya mempertahankan kedaulatan bangsa ini, seperti saat peristiwa ‘Resolusi Jihad’ KH Hasyim Asy’ari dan perang 10 November di Surabaya.

Namun, dewasa ini sering terdengar stigma negatif tentang pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris. Padahal tidak demikian, yang terjadi sebetulnya hanya dilakukan oleh segelintir oknum. Dengan menggunakan kedok pesantren, para oknum tersebut mengajarkan doktrin gerakan radikalisme yang dibungkus dengan ajaran agama.

Nah, dengan peraturan yang ada, oknum lembaga pesantren yang tidak mengakui NKRI dan bahkan mendukung gerakan radikalisme tersebut, semestinya tidak akan diberikan izin operasional. Ini sekaligus akan memupus stigma negatif terorisme pada pesantren. Tantangan tersebut juga berlaku bagi Kemenag sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan ini, beranikah mereka membubarkan ‘pesantren’ yang secara jelas tidak mau mengakui dan bahkan ikut merongrong NKRI?

Kejayaan Pesantren

Pembahasan permasalahan di atas kiranya dapat sedikit memberikan gambaran akan harapan, peluang serta tantangan yang akan dihadapi pesantren ke depan. Alangkah lebih baik, apabila mereka mulai untuk mempersiapkan kesemuanya. Tentu ini juga akan lebih penting dari sekedar membahas kepastian penetapan 1 Muharram sebagai ‘Hari Santri’.

Penulis berharap, dengan munculnya kebijakan ini menjadi pintu masuk dan langkah baru untuk kembali menemukan kejayaan pesantren seperti halnya yang pernah dibuktikan Pesantren Tebu Ireng Jombang, Mambaul Ulum Surakarta, dan pesantren lain yang pernah melahirkan tokoh-tokoh penting dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan bangsa ini. Sebut saja tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, KH Wahab Hasbullah, KH Abdurrahman Wahid, Munawir Syadzali, dan lain sebagainya

Sebagi penutup, penulis mengutip beberapa kalimat dari Gus Dur dalam buku Islam Kosmopolitan (2007). Bagaimana pesantren, sebagai sebuah lembaga pendidikan menjawab tantangan ini merupakan perkembangan yang paling menarik untuk diamati dan dianalitis. Baik keterbatasan-keterbatasan dan peluang-peluang berlimpah-limpah dalam pengembangan pesantren yang sedang mengalami konflik selama ini. Sejarahlah yang kelak akan membuktikan hal ini! []

Ajie Najmuddin, kontributor NU Online Solo Raya, pengajar di Ta’mirul Islam, aktivis GP Ansor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar