Adakah Lebih Penting dari
Wacana ‘Hari Santri’?
Oleh: Ajie Najmuddin
--Muhammad Zidni Nafi’ dalam tulisannya di
Kolom NU Online berjudul “Meninjau Wacana Labelisasi Hari Santri” (20/10/2014),
memberikan gambaran kepada kita tentang rencana penatapan 1 Muharam sebagai
Hari Santri Nasional yang diwacanakan oleh presiden terpilih Jokowi yang
dianggap menuai berbagai tanggapan dari banyak kalangan, khususnya dari
kalangan pesantren. Tanggapan itu ada yang berupa dukungan penuh, menolak
mentah-mentah atau ada juga yang menginginkan wacana tersebut untuk ditinjau
ulang.
Dalam tulisannya dia juga mengatakan
labelisasi Hari Santri Nasional tersebut tidak perlu apabila dalam realitanya
masyarakat memang merasakan sangat betul atas kontribusi santri hingga sampai
dewasa ini tetap berkelanjutan dan berkesinambungan. Untuk itu, dalam tulisan
kali ini penulis hendak memberikan tanggapan terkait tulisan tersebut. Namun,
tulisan di sini bukan untuk mengkritisi tulisan melainkan untuk memberikan
wacana lain terkait pesantren.
Saat ini, menurut hemat penulis, ada hal lain
yang lebih penting menyangkut ‘hajat hidup’ madrasah dan pesantren daripada
sekadar perjuangan label santri. Hal tersebut yakni tatkala Kementerian Agama
(Kemenag) Republik Indonesia, beberapa waktu lalu telah mengeluarkan kebijakan
terbaru melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) No 13 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA No 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan
Muadalah pada Pesantren.
Sebagai gambaran sekilas dari peraturan baru
ini, salah satu poinnya yakni memungkinkan satuan pendidikan keagamaan Islam
pada pesantren atau yang kemudian disebut satuan pendidikan muadalah setara
dengan satuan pendidikan lainnya. Tidak hanya itu, peraturan tersebut juga
tetap menjamin satuan pendidikan muadalah untuk dapat mengembangkan kurikulum
sesuai kekhasan pesantren pada basis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan
pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
Hal tersebut tentu menjadi semacam angin
segar bagi dunia pesantren, di mana secara kelembagaan dan lulusan pesantren
akan memiliki kesempatan besar untuk setara dengan sekolah formal. Dari sisi
anggaran pesantren juga akan mendapatkan hak yang sama dengan pendidikan formal
sehingga untuk pengajar, fasilitas, dan infrastruktur mendapatkan pembiayaan
dari pemerintah.
Ini menjadi secercah peluang yang diharapkan
dapat lebih mendukung keberadaan lembaga pendidikan pesantren yang dalam buku
“Tradisi Pesantren” (Zamakhsyari Dhofier, 1980) disebut sebagai lembaga
pendidikan tertua di Indonesia. Namun, di balik semua asa itu, tentu juga
terselip banyak hal lain dari peraturan ini, yang akan menjadi tantangan bagi
pesantren ke depan.
Kesiapan Kelembagaan
Tantangan yang dimaksud, lebih mengarah pada
kesiapan pesantren menghadapi peraturan baru ini. Para kiai, nyai, ustaz, dan
santri, yang selama ini hanya bergelut dengan dunia fa’ala-yaf’ulu dan lain
sebagainya, kini mesti menyiapkan sistem kelembagaaan, administraasi dan
organisasi yang tertata. Selain masalah tersebut, perlu diperhatikan pula
beberapa hal menyangkut kesiapan pesantren dalam menghadapi peraturan ini,
salah satunya tentang sistem kurikulum yang akan diterapkan.
Mengingat pada PMA No. 18 tahun 2014 dalam
pasal 10 ayat 3 menyebutkan setiap pesantren diwajibkan untuk memuat kurikulum
umum paling sedikit empat mata pelajaran yakni: pendidikan kewarganegaraan
(al-tarbiyah al-wathaniyah), bahasa Indonesia (al-lughah al-indunisiyah),
matematika (al-riyadhiyat) dan ilmu pengetahuan alam (al-ulum al-thabi'iyah).
Ketentuan di atas akan menjadi tantangan
tersendiri bagi orang-orang pesantren untuk membuat kurikulum dengan pendekatan
yang berbeda dibandingkan yang sudah ada pada pendidikan umum. Semisal yang
dinyatakan oleh KH Lukman dari Termas, di mana kitab syamsul ma’arif yang
diajarkan di beberapa pesantren, sudah selayaknya dikembangkan menjadi bagian
dari ilmu pengetahuan alam atau al-ulum al-thabi'iyah (Baso, 2014).
Penerapan kurikulum umum ini sekaligus juga
akan menguji kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas
dirinya, yang menurut Abdurrahman Wahid (2007) masih dinilai bersifat
subkultural. Begitu pula dengan tata nilai yang selama ini dimiliki pesantren
seperti keikhlasan, kejujuran, kepatuhan dan kesederhanaan. Tak pelak,
penambahan kurikulum umum ini bagi pesantren yang benar-benar masih bercorak
tradisional dan berada di lingkup pedesaan, setidaknya akan memberikan
pembentukan tata nilai baru bagi mereka.
Penegasan Nasionalisme
Hal lain yang tak kalah penting dari
peraturan ini, yakni sebagaimana termaktub dalam PMA No. 13 tahun 2014
Pasal 4 yang berbunyi : “Pesantren wajib menjunjung tinggi dan
mengembangkan nilai-nilai Islam rahmatan lil'alamin dengari menjunjung tinggi
nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, toleransi, kemanusiaan, keikhlasan,
kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya."
Pasal ini dapat dinilai sebagai penegasan
sikap nasionalisme di kalangan pesantren. Tentu, sudah banyak kisah
kepahlawanan dari kaum sarungan yang pernah kita baca, khususnya di era
perjuangan dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Pun dalam upaya mempertahankan
kedaulatan bangsa ini, seperti saat peristiwa ‘Resolusi Jihad’ KH Hasyim
Asy’ari dan perang 10 November di Surabaya.
Namun, dewasa ini sering terdengar stigma
negatif tentang pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris. Padahal tidak
demikian, yang terjadi sebetulnya hanya dilakukan oleh segelintir oknum. Dengan
menggunakan kedok pesantren, para oknum tersebut mengajarkan doktrin gerakan
radikalisme yang dibungkus dengan ajaran agama.
Nah, dengan peraturan yang ada, oknum lembaga
pesantren yang tidak mengakui NKRI dan bahkan mendukung gerakan radikalisme
tersebut, semestinya tidak akan diberikan izin operasional. Ini sekaligus akan
memupus stigma negatif terorisme pada pesantren. Tantangan tersebut juga
berlaku bagi Kemenag sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan ini, beranikah
mereka membubarkan ‘pesantren’ yang secara jelas tidak mau mengakui dan bahkan
ikut merongrong NKRI?
Kejayaan Pesantren
Pembahasan permasalahan di atas kiranya dapat
sedikit memberikan gambaran akan harapan, peluang serta tantangan yang akan
dihadapi pesantren ke depan. Alangkah lebih baik, apabila mereka mulai untuk
mempersiapkan kesemuanya. Tentu ini juga akan lebih penting dari sekedar
membahas kepastian penetapan 1 Muharram sebagai ‘Hari Santri’.
Penulis berharap, dengan munculnya kebijakan
ini menjadi pintu masuk dan langkah baru untuk kembali menemukan kejayaan
pesantren seperti halnya yang pernah dibuktikan Pesantren Tebu Ireng Jombang,
Mambaul Ulum Surakarta, dan pesantren lain yang pernah melahirkan tokoh-tokoh
penting dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan bangsa ini. Sebut saja
tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, KH Wahab
Hasbullah, KH Abdurrahman Wahid, Munawir Syadzali, dan lain sebagainya
Sebagi penutup, penulis mengutip beberapa
kalimat dari Gus Dur dalam buku Islam Kosmopolitan (2007). Bagaimana pesantren,
sebagai sebuah lembaga pendidikan menjawab tantangan ini merupakan perkembangan
yang paling menarik untuk diamati dan dianalitis. Baik
keterbatasan-keterbatasan dan peluang-peluang berlimpah-limpah dalam pengembangan
pesantren yang sedang mengalami konflik selama ini. Sejarahlah yang kelak akan
membuktikan hal ini! []
Ajie Najmuddin, kontributor NU Online Solo
Raya, pengajar di Ta’mirul Islam, aktivis GP Ansor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar