Jangan
Obral Perppu
Oleh: Moh
Mahfud MD
Benar
kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, belakangan ini
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) kerapkali disalahgunakan
dan ditafsirkan sendiri-sendiri (1/11/2014). Adalah mengkhawatirkan, sejak
Reformasi 1998 jumlah perppu terus meningkat, padahal perppu hanya boleh
dikeluarkan jika keadaan genting dan memaksa.
Pada era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya dalam 10 tahun, sudah diluncurkan
18 perppu yang jika dibandingkan dengan lamanya memerintah menjadi jumlah
produk yang terbanyak. Menurut catatan, pada era Megawati (selama tiga tahun
tiga bulan) dikeluarkan tiga perppu, era Abdurrahman Wahid (satu tahun sembilan
bulan) dikeluarkan dua perppu, era Habibie (satu tahun lima bulan) dikeluarkan
tiga perppu, dan era Soerharto (lebih dari 32 tahun) hanya dikeluarkan 18
perppu.
Celakanya,
penerbitan perppu belakangan ini terasa bernuansa politik jangka pendek yakni
karena kalah bertarung dalam proses politik yang normal atau sekadar untuk
keluar dari jepitan politik biasa. Belakangan ini terasa perppu dikeluarkan
bukan karena situasi genting atau darurat sehingga diperlukan produk hukum yang
bisa diproses secara cepat melalui jalan yang tidak normal, melainkan karena
selera politik yang tak terkait kebutuhan politik kebangsaan yang inklusif.
Perppu
sering digunakan sebagai jalan yang dipilih untuk kepentingan politik sekejap,
tidaklah hanya menjadi monopoli lembaga politik resmi. Di kalangan aktivis
prodemokrasi pun, termasuk aktivis-aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW),
ini pernah terjadi.
Pada
pertengahan 2000-an aktivis-aktivis ICW gencar mendukung dikeluarkan perppu
tentang Kocok Ulang Hakim Agung dengan alasan banyak hakim yang diragukan
integritasnya untuk memberantas mafia peradilan dan memerangi korupsi.
Namun,
pada 2009 ketika Presiden SBY berencana mengeluarkan perppu tentang Pelaksana
Tugas (Plt) Pimpinan KPK karena terjadi kekosongan ternyata ICW menolak keras
dengan alasan presiden tidak boleh mengintervensi independensi KPK melalui
perppu. Saat itu, setelah Bibit Samad dan Chandra Hamzah diperiksa oleh Polri
dan akan dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak- Buaya) Presiden SBY akan
mengeluarkan perppu untuk bisa mengisi kekosongan pimpinan KPK secara cepat
dengan Plt. Setelah melalui kontroversi yang panas dan melampaui penolakan ICW
akhirnya perppu ini dikeluarkan menjadi Perppu Nomor 4 Tahun 2009.
Belakangan
ini terasa ada kecenderungan dukungan dari aktivis-aktivis ICW,
sekurang kurangnya tak ada penolakan sama sekali, ketika pada 2 Oktober 20114
Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun
2014 terkait pemilihan kepala daerah. Perppu itu dikeluarkan oleh Presiden SBY
setelah DPR bersama pemerintah menyetujui RUU Pemerintahan Daerah yang
menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang kemudian
diundangkan sebagai UU Nomor 22 Tahun 2014. Perppu itu mengganti mekanisme
pemilihan kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung
oleh rakyat.
Siapa pun
tidak bisa menyimpulkan, apalagi menuding bahwa ICW tidak konsisten dalam
menyikapi kewenangan membuat perppu bagi Presiden. Kita, saya pun, seringkali
bersikap ambigu dalam menghadapi perppu, terkadangsetuju, terkadang tidak
setuju, bergantung pada kesimpulan dan perasaan kita masing-masing dalam
membaca situasi politik.
Hukum
dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan, termasuk perppu, memang
merupakan produk politik. Dalam artinya sebagai peraturan perundang-undangan,
hukum merupakan kristalisasi atau formalisasi dari kehendakkehendak politik
yang saling bersaing dan bergulat, baik melalui hegemoni dan dominasi maupun
melalui kompromi.
Maka itu,
seperti UU, keberadaan perppu sebagai produk politik takkan terhindarkan. Yang
ingin ditekankan dalam kolom ini adalah keharusan bahwa perppu tidak boleh
diobral untuk kepentingan politik kelompok dan berjangka pendek, melainkan
harus untuk politik kebangsaan yang inklusif. Perppu hanya boleh dikeluarkan
kalau sangat diperlukan dalam keadaan yang benar-benar genting.
Sebab
itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan karena kepentingan politik yang
sempit, melalui Putusan Nomor 138/PUU/VII/2009 (Perkara Pengujian Perppu Nomor
4 Tahun 2009), MK menentukan tiga syarat keadaan genting yang dapat digunakan
Presiden untuk mengeluarkan perppu.
Pertama,
karena terjadi kekosongan hukum dalam arti tidak ada UU yang dapat dipergunakan
untuk mengatasi satu masalah yang harus segera diselesaikan, sedangkan
masalahnya hanya bisa diselesaikan berdasar UU. Tentu secara mendasar presiden
tidak boleh serampangan mencabut dulu satu UU yang nyata-nyata ada untuk
kemudian mengatakan terjadi kekosongan hukum sehingga harus dikeluarkan perppu.
Kedua, UU
yang ada tidak dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah yang harus segera
diselesaikan tersebut. Ketiga, waktunya sangat mendesak sehingga tidak
memungkinkan dibuat UU melalui prosedur yang normal. Jika ketiga alasan
tersebut tidak ada, perppu tidak bisa dikeluarkan. Kalau tidak diatur seperti
itu, bisa terjadi suatu saat kelak presiden selalu mengeluarkan perppu bila
mendapat tekanan politik atau kalah dalam pertarungan politik normal.
Benarlah
sikap Wapres Jusuf Kalla saat menolak usul dikeluarkan perppu guna mengatasi
konflik politik antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di DPR
yang berembus sejak dua hari lalu. Sebaiknya, dua kubu melakukan musyawarah
mufakat saja. []
KORAN
SINDO, 01 November 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar