Mengapa Berebut Jabatan?
Oleh: Komaruddin Hidayat
Untuk mengisi jabatan RT sebagai alat kelengkapan kelurahan,
banyak orang mengelak dan menolak. Tetapi ketika memperebutkan kursi pimpinan
DPR, politisi kita sangat bersemangat. Sampaisampai terjadi hujan interupsi,
meja terbalik, dan pimpinan sidang dikejar-kejar. Pokoknya, heboh dan memalukan
sehingga mampir pikiran negatif, wajar mereka berperilaku begitu karena
sebagian dari mereka lolos ke Senayan modalnya membeli suara rakyat, bukan
dukungan rakyat secara tulus dan murni.
Hal yang juga seru dan menarik perhatian masyarakat adalah proses
perebutan dan pemilihan posisi menteri. Masyarakat pun mendugaduga, siapa-siapa
saja sesungguhnya yang memiliki kekuatan dan kewenangan paling besar dalam
pemilihan menteri? Tentu saja tidak mungkin ada jawaban dan penjelasan terhadap
pertanyaan ini.
Yang kemudian beredar adalah rumor dan informasi setengah rahasia
yang beredar sambung-menyambung sehingga menjadi gosip politik yang penuh bumbu
penyedap, there is no such free lunch in the world.
Untuk apa sebuah jabatan politik" Jawaban normatifnya adalah
sebagai sarana untuk memajukan bangsa, mengabdi pada kepentingan rakyat banyak.
Dalam teks sumpah jabatan secara tegas dinyatakan, "Saya akan lebih
mementingkan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan sendiri."
Juga disebutkan, "Saya tidak akan menerima pemberian sesuatu apa pun juga
yang dapat atau patut diduga bahwa ia memiliki hubungan dengan jabatan
saya."
Jadi, secara normatif jabatan birokrasi pemerintahan itu instrumen
politik yang mulia dan mesti dijaga dari intervensi kepentingan pribadi. Dengan
demikian, siapa yang memperebutkan jabatan politik seperti menteri, mestilah
mereka yang hati, pikiran, dan orientasi hidupnya memang diabdikan untuk
kepentingan bangsa dan rakyat. Imbalannya secara materi adalah gaji dan
fasilitas yang sudah ditetapkan oleh peraturan negara. Kalau saja memang
memiliki tekad untuk mengabdi, tanpa mesti korupsi sudah bisa melaksanakan
tugas mulia dengan baik. Tugas mulia itu jangan dirusak oleh pikiran dan
tindakan yang hina, yaitu korupsi.
Kita sudah pasti tidak bisa membaca secara persis, apakah
sesungguhnya motif dominan dari mereka yang berebut jabatan tinggi negara itu.
Bisa saja di antara mereka semata menjalankan tugas parpol untuk
berpartisipasi, power sharing, membangun bangsa. Tetapi mungkin bisa saja
terjadi, yang dominan adalah motif pribadi, lalu berusaha menempel minta restu
dan dukungan parpol agar mendapatkan endorsement masuk jajaran kabinet.
Apa pun motif dan jalur yang ditempuh sesungguhnya baik dan mulia
sepanjang memiliki kompetensi, integritas, dan ketulusan niat untuk melayani
dan membela kepentingan rakyat. Adapun hasilnya kita tunggu saja karena mereka
baru mulai. Mengenai suara pro-kontra, itu hal yang lumrah dan biasa saja.
Tidak mungkin seorang presiden dan jajaran kabinetnya mampu memuaskan semua
pihak. Tetapi yang pasti rakyat menunggu kinerja mereka. Kalau mengecewakan,
siap-siap saja menerima kritik dan hujatan, terutama dari kalangan rakyat dan
relawan yang telah berkorban mengikuti aturan demokrasi serta taat hukum dalam
proses pemilu untuk mendukung jagonya.
Berita baru dalam proses seleksi menteri kali ini adalah adanya
keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah menimbulkan
prokontra. Sisi positifnya, ini menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah
berusaha mencari para pembantunya yang bersih, bebas dari korupsi. Apakah usaha
ini betul-betul tercapai dan terpenuhi, semoga saja begitu. Yang lebih tahu
adalah KPK dan PPATK.
Jika betul ada calon-calon yang terkena rapor merah dari KPK,
masyarakat akan menagih, kapan orang-orang itu akan diproses oleh KPK? Kalau
ternyata tidak diproses, maka KPK melakukan pembiaran terhadap pelaku korupsi.
Atau jika posisi rapor merah itu sekadar peringatan dan sinyalemen yang belum
dibuktikan lewat pengadilan, janganjangan ada orang-orang tertentu yang merasa
diganjal kariernya untuk duduk sebagai menteri.
Saya sendiri punya pengalaman sebagai panitia seleksi (pansel) KPK
maupun komisioner lain, sungguh tidak mudah mencari tokoh yang andal, baik dari
segi kompetensi, integritas, dan bebas dari korupsi. Sekarang ini pun status
saya masih sebagai anggota pansel KPK, mencari dua orang dari 104 pelamar yang
masuk. Dua orang calon itu sudah diserahkan pada presiden, untuk diteruskan ke
DPR selanjutnya dipilih satu dari dua calon.
Berdasarkan pengalaman sebagai anggota pansel, orang yang bersih
dari korupsi itu paling mudah dicari dari mereka yang belum pernah menduduki
jabatan yang bertanggung jawab mengelola dana besar, sampai ratusan miliar atau
triliunan. Tetapi pertanyaannya, apakah jaminannya seseorang akan tetap jujur
dan tahan godaan korupsi jika nantinya sudah duduk dalam satu jabatan yang
penuh fasilitas negara?
Di lain pihak, orang yang pernah menduduki jabatan tinggi dan
menunjukkan prestasinya, ibarat mobil, pasti tidak lagi bersih dan mulus karena
terkena debu dan lumpur. Di samping memang ada yang sengaja dan senang bermain
lumpur. Tugas pansel adalah bagaimana mencari tokoh calon pejabat tinggi negara
yang tidak terjerat oleh jebakan itu. Mereka yang sudah teruji oleh waktu dan
jabatan, menunjukkan prestasi, namun tetap mampu menjaga integritas dan stamina
untuk selalu berkreasi dan berprestasi.
Jika orang berebut jabatan lebih didominasi oleh motif kepentingan
diri dan kelompok, slogan semacam "restorasi" atau pun "revolusi
mental" hanya berhenti sebagai slogan dan akan menjadi bahan olokan
sinisme sebagaimana nasib semboyan: Katakan TIDAK pada korupsi, oleh Partai
Demokrat. Karena itu, para parpol pendukung koalisi pemerintah mesti ikut
menjaga, memperingatkan, dan mendukung orang-orangnya untuk hidup bersih dan
berprestasi. Rakyat sekarang lebih cerdas, berani dan akan selalu ikut mengawasi
jalannya pemerintahan. Bahkan juga mengawasi kinerja wakilnya yang duduk di
Senayan. []
KORAN SINDO, 31 Oktober 2014
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar