Interpelasi Pil Pahit Jokowi
Oleh: Bambang Soesatyo
Seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, harus menelan pil
pahit yang diracik dalam kemasan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pil pahit itu mungkin mujarab memulihkan kekuatan APBN, tetapi
pemulihan itu menuntut pengorbanan rakyat. Karena itu, DPR berkewajiban
mempertanyakan kebijakan itu kepada Presiden Jokowi. Semua orang sepakat bahwa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus produktif. APBN harus
menjadi motor penggerak pembangunan nasional. Namun, dalam proses memulihkan
kekuatan APBN itu, pemerintah tidak patut meminta atau menuntut terlalu banyak
dari rakyat.
Dalam konteks BBM bersubsidi, negara cq pemerintah belum waktunya
mencari untung. Utamanya, karena jumlah warga miskin masih puluhan juta. Oleh
karena itu, setiap kebijakan pemerintah hendaknya tidak menjadi sumber masalah
baru yang menambah beban kehidupan warga miskin. Sebaliknya, setiap kebijakan
justru sepatutnya menjadi stimulus yang mengurangi beban kehidupan mereka, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengalaman mengajarkan bahwa kenaikan harga BBM akan selalu
diikuti dengan naiknya harga barang dan jasa, utamanya harga komoditi kebutuhan
pokok serta tarif jasa angkutan penumpang pada semua moda transportasi. Dalam
beberapa tahun terakhir, kenaikan harga barang dan jasa itu sering
berkelanjutan. Kalau kenaikan harga barang dan jasa itu tidak direspons dengan
kenaikan gaji atau upah, akibat ikutannya adalah melemahnya daya beli sebagian
besar rakyat.
Artinya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak hanya menyengsarakan
warga miskin. Keluarga atau individu berpenghasilan pas-pasan pun akan menerima
dampak negatifnya. Ketika gaji atau penghasilan mereka tidak naik, otomatis
daya beli keluarga dalam kategori ini akan merosot. Perlahan, mereka bisa
terdorong masuk dalam kelompok warga hampir miskin.
Memang, untuk melindungi warga miskin dari dampak negatif kenaikan
harga BBM itu, pemerintah baru pimpinan Jokowi coba menangkalnya dengan Kartu
Keluarga Sejahtera (KKS). Pertanyaannya, setimpalkah daya KKS melawan arus kuat
kenaikan harga barang dan jasa yang biasanya berkelanjutan itu?
Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan menyelamatkan
kelompok keluarga berpenghasilan pas-pasan yang daya belinya merosot itu?
Mereka ini adalah pekerja informal, yang karena terdesak oleh keadaan, bersedia
menerima upah di bawah UMR. Kelompok masyarakat seperti ini bisa saja tidak
terdata dalam program KKS itu.
Dengan demikian, opsi DPR menggunakan hak interpelasi menjadi
relevan karena Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo praktis gagal
mengamankan kebutuhan dasar rakyat sebelum memutuskan kenaikan harga BBM
bersubsidi. Harga aneka komoditi kebutuhan pokok rakyat bahkan telah melambung
sebelum harga baru BBM bersubsidi diberlakukan pada Selasa (18/11).
Kenaikan tajam harga aneka kebutuhan pokok rakyat dalam beberapa
pekan terakhir, termasuk beras, menjadi bukti bahwa para menteri ekonomi dari
Kabinet Kerja gagal meredam dampak negatif isu naiknya harga BBM bersubsidi.
Padahal, sejak masa kampanye pemilihan presiden, Jokowi sudah begitu sering
memastikan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Rupanya kecenderungan ini tidak dicermati atau diantisipasi para
menteri Kabinet Kerja. Inilah bukti bahwa para menteri tidak sigap merespons
rencana presiden terpilih. Ketidakmampuan para menteri meredam dampak negatif
itu akan semakin menyengsarakan rakyat.
Bantuan nontunai lewat KKS tidak akan mengurangi penderitaan warga
miskin karena lonjakan harga barang dan jasa biasanya jauh lebih tinggi. Inilah
pil pahit dari Presiden Jokowi yang harus ditelan seluruh rakyat Indonesia.
Hampir pasti bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tahun 2014 ini akan
memperbesar jumlah warga miskin. Jadi, inilah ironi yang harus diterima.
Alih-alih mempercepat pengentasan kemiskinan, pemerintah baru
malah merancang kebijakan yang akan berdampak pada bertambahnya jumlah warga
miskin dalam dua-tiga tahun ke depan. Rakyat hanya dihibur dengan janji akan
terwujudnya swasembada pangan, pembangunan waduk, pelabuhan hingga pembangunan
jalur kereta api di luar Jawa. Sayangnya, semua janji itu belum tentu
terpenuhi.
Upeti Rakyat
Alasan lain menggunakan hak interpelasi DPR adalah kenyataan bahwa
kebijakan Jokowi itu tidak berkeadilan karena memindahkan beban fiskal
pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ada penghematan lebih dari Rp100 triliun.
Jumlah ini didapatkan berkat pengorbanan rakyat yang dipaksakan
itu. Ekstremnya, Rp100 triliun itu ibarat upeti dari rakyat untuk pemerintah
baru. Dengan demikian, sudah cukup alasan bagi DPR menggunakan Hak Interpelasi
terhadap Presiden Jokowi. Fraksi Partai Golkar (FPG) pun sudah menyatakan
sikapnya menolak keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi.
FPG mengecam kebijakan harga baru BBM bersubsidi, karena Jokowi-
JK terang-terangan mengalihkan beban fiskal pemerintahannya ke pundak rakyat.
Dimotori Partai Golkar, Koalisi Merah Putih (KMP) sedang menggalang kekuatan di
DPR untuk memenuhi syarat penggunaan hak interpelasi DPR. KMP menargetkan lebih
dari 300 dukungan anggota DPR. Hak interpelasi bisa berlanjut dengan
pemanggilan Presiden Jokowi untuk dimintai keterangan.
Dan, bila DPR tidak puas terhadap keterangan Presiden, opsi hak
angket DPR hingga hak menyatakan pendapat (HMP) bisa digunakan. Bagi Partai
Golkar, kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini sama sekali tidak masuk akal,
bahkan sulit diterima akal sehat, sebab harga BBM bersubsidi dinaikkan ketika
harga minyak di pasar internasional turun, alias lebih rendah dari asumsi APBN
tahun berjalan. APBN-P 2014 mengasumsikan harga minyak USD105 per barel,
sementara harga minyak saat ini di bawah USD80 per barel.
Artinya, tekanan beban fiskal bagi pemerintah baru relatif belum
bertambah karena turunnya harga minyak di pasar internasional itu. Maka kalau
benar Jokowi prorakyat, sebagai pemimpin seharusnya memiliki keberanian politik
dan menunjukkan iktikad baik dengan menurunkan harga BBM bersubsidi. Sebab dari
penurunan harga BBM bersubsidi itu, akan terbangun suasana nyaman dalam
kehidupan rakyat.
Kalaupun tidak punya iktikad baik, Jokowi minimal mempertahankan
harga pada level yang berlaku sebelumnya. Namun, dengan menaikkan harga BBM
bersubsidi dengan skala kenaikan Rp2.000 per liter, sama artinya Jokowi-JK
tidak punya iktikad baik terhadap rakyat. Jokowi tetap saja memilih cara instan
menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengamankan APBN tahun berjalan.
Dengan model kebijakan seperti ini, FPG menilai Jokowi telah
memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ini jelas tidak
adil. Pemerintah baru yang belum mencatat prestasi apa pun tidak berhak
menuntut pengorbanan dari rakyat sekecil apa pun. Menaikkan harga BBM
bersubsidi untuk memulihkan kekuatan APBN adalah cermin pemerintahan Jokowi
yang tidak kreatif dan malas.
Sebab, di hadapan pemerintah, sesungguhnya masih tersedia sejumlah
pilihan untuk memperbesar ruang fiskal pada struktur APBN. Antara lain
bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan
ekstensifikasi dan penegakan hukum, pemerintah masih berpeluang besar untuk
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak.
Potensi penerimaan negara dari pos PNBP pun masih sangat besar
jika dikelola dengan efektif. Jika pemerintah mau bekerja lebih keras membenahi
dua pos penerimaan ini, rasanya pemerintahan Jokowi tak perlu menuntut
pengorbanan berlebih dari rakyat. []
KORAN SINDO, 24 November 2014
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI; Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia; Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar