Memahami Kontroversi Penghapusan Kolom Agama
Oleh: Musdah Mulia
SADARKAH kita bahwa penduduk negeri ini terdiri dari beragam agama
dan kepercayaan? Sayangnya, data tentang mereka tidak muncul dalam dokumen
resmi negara. Informasi tentang kebinekaan agama, terutama terkait upaya
advokasi terhadap penganutnya dapat ditemukan dalam laporan sejumlah LSM
pemerhati kehidupan agama, seperti ICRP, Setara Institut, Wahid Institut, dan
sejumlah dokumen yang diterbitkan organisasi HAM.
Di masyarakat dijumpai penganut agama Baha'i, Tao, Sikh, Yahudi,
Kristen Ortodoks, bahkan juga agama-agama perenial, yaitu agama yang tidak
mengambil bentuk formal, tetapi lebih mengutamakan penghayatan akan kehadiran
Tuhan dan implementasi nilai-nilai agama. Selain itu, juga dikenal ratusan
kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti Parmalim di Sumatra Utara,
Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di
Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi Selatan. Bicara tentang agama
hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi agama, faktanya tidak ada
interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun.
Kebebasan beragama?
Konstitusi Indonesia secara normatif menyebut jaminan kebebasan
beragama dalam UUD 1945 Pasal 29. Apakah kebebasan beragama mendapatkan jaminan
di Indonesia? Banyak yang memahami kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk
menodai agama lain, atau kebebasan melakukan praktik keagamaan secara
semena-mena.
Dalam berbagai dokumen internasional disebutkan kebebasan beragama
tidaklah bersifat mutlak. Kebebasan beragama ialah kebebasan untuk meyakini dan
menjalankan ajaran agama dengan tetap meng hargai keragaman dan perbedaan
interpretasi. Kebebasan beragama dibatasi sedikitnya lima prinsip dasar, yaitu
prinsip menjaga ketertiban umum, kesehatan masyarakat, keselamatan umum, norma-norma
kesusilaan, dan tidak melanggar HAM lain.
Pada praktiknya, sangat sulit menegakkan prinsip kebebasan
beragama karena membutuhkan syarat adanya kesadaran beragama yang tinggi dari
masyarakat.
Untuk kasus Indonesia, secara struktural implementasinya
menghadapi hambatan serius. Pertama, UU No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan penodaan agama. Sekilas, aturan itu sangat baik,
mengingatkan masyarakat bersikap hati-hati, tidak mudah melemparkan tuduhan
yang akan menodai komunitas agama. Akan tetapi, secara eksplisit UU tersebut
mengandung larangan melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama. Istilah menyimpang cenderung dipahami sebagai semua
yang berbeda dengan pandangan mayoritas atau berbeda dengan opini pemerintah,
sedangkan pokok-pokok ajaran lebih dimaknai sebagai ajaran agama mayoritas.
Kebijakan tersebut jelas bertentangan dengan spirit kebebasan beragama.
Kedua, Surat Edaran Mendagri No 477/74054/1978 yang menegaskan
lima agama diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen atau Protestan,
Hindu, dan Buddha. Ketiga, TAP MPR No II/MPR/1998 tentang GBHN, antara lain
menegaskan penyangkalan terhadap agama lokal, sekaligus himbauan terhadap
pengikutnya memilih salah satu dari lima agama, yang kemudian secara salah
kaprah dianggap agama induk.
Setidaknya, itulah tiga contoh UU dan kebijakan publik terkait
pelayanan agama dan kependudukan yang tidak mengacu kepada spirit konstitusi.
UU Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
malah sema kin parah. Namun, capaian paling monumental ialah UU No 39 Tahun
1999 tentang HAM yang menegaskan kembali spirit konstitusi akan jaminan
kebebasan beragama bagi semua individu. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid,
Konghucu diakui agama resmi. Kemudian Presiden Megawati mengakui Imlek sebagai
hari besar keagamaan dan sejak itu kita mengenal enam agama resmi.
Kalau Konghucu bisa diakui, mengapa agama dan kepercayaan lain
tidak? Seharusnya yang perlu di dorong ialah pemenuhan hak-hak sipil dan
politik semua pe nganut agama dan kepercayaan tanpa ada diskriminasi sedikit
pun. Termasuk kepada mereka yang mengaku tidak beragama.
Dalam KTP
Tidak jelas kapan kebijakan tentang kolom agama di KTP muncul.
Faktanya, KTP 1956 tidak punya kolom agama. Wacana tentang penghapusan kolom
agama di KTP menghangat di awal era reformasi, terutama ketika amendemen
terhadap UUD 1945 dilakukan (1999, 2000, 2001, dan 2002). Persoalannya,
bagaimana mengimplementasikan pasal 29 UUD 1945 dan UU HAM 1999 ke dalam UU
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan?
Kalau penganut enam agama resmi tersebut wajib mengisi kolom agama
di KTP, mengapa kebijakan itu tidak berlaku bagi selainnya? Bukankah mereka
sama-sama warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan
konstitusi? Akibatnya para penganut selain enam agama resmi terabaikan hak-hak
dasar mereka, terpaksa berbohong dan harus memilih di antara enam agama dalam
KTP, Akta Lahir, Akta Nikah, dan sejumlah dokumen vital lainnya.
Di sinilah muncul kontroversi terkait penghapusan kolom agama di
KTP. Kelompok pengusung ide itu cenderung dirundung (dibully) dengan berbagai
label negatif. Sebaliknya, kelompok tidak setuju penghapusan dielu-elukan
sebagai kelompok pembela agama. Semua penganut agama memiliki hak dan kewajiban
asasi yang sama tanpa diskriminasi. Kita semua ialah satu bangsa, bangsa
Indonesia. Itulah yang dinamakan kesadaran pluralisme dan merupakan syarat
mutlak tegaknya demokrasi. Wallahualam. []
MEDIA INDONESIA, 12 November 2014
Musdah Mulia ; Ketua
Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar