Pemimpin yang Peduli dan Mengayomi
Oleh: Mohamad Sobary
Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini yang
menaruh peduli pada sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan tampil
memberikan perlindungan dan pengayoman? Ini perkara sulit.
Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu? Dapatkah dunia bisnis,
yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan idealisme?
Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan kombinasi
cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan wawasan yang
meluhurkan nilai-nilai nonmateri?
Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan
batin? Pada umumnya, para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis, idealisme
ya idealisme. Bisnis dan idealisme itu dua dunia yang terpisah dan
berseberangan secara dia netral. Orang yang memandang uang di atas segalanya
hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan mencapai kepuasan jika impiannya menghimpun
sejumlah besar uang terpenuhi.
Jenis orang seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya
melalui wujud materi. Dengan kata lain, kepuasan batin akan muncul hanya jika
ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi nyata, yang meningkatkan
akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam genggamannya.
Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil.
Ibaratnya, bumi dan langit mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran
yang tak kita kehendaki? Ya. Tapi ini bukan satusatunya dalil yang bisa masuk
di akal kita.
Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi
bisnis kecil, yang masih bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama,
belum punya prestasi, dan dengan begitu juga belum punya rekam jejak yang
meyakinkan di dalam dunia bisnis. Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala
besar mungkin lain lagi ceritanya.
Organisasi bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang
mapan, yang mencatat caring, credible, competent, competitive, serta customer
delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa dilanggar, tampaknya
tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan mengawinkan bisnis
dengan idealisme.
Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis hanya
empat: credible, competent, competitive, dan customer delight. Ini
prinsip-prinsip bisnis murni. Caring itu lebih menampilkan aspek sosial, dan
sisi kemanusiaan dari sebuah dunia bisnis, daripada mewakili kepentingan bisnis
itu sendiri. Di dunia bisnis, watak care itu problematik. Bagi sebagian
kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis.
Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis
besar, yang menolak prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang
wajib ada, terutama bila kata itu berarti ”jiwa yang penuh peduli” pada sesama,
atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk bederma. Dua pemimpin bisnis
dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi caring bisa berbeda.
Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan
dijalankan sesudah tokoh yang selama ini menganggap caring sebagai kebajikan
dan kemuliaan dunia bisnis, tak lagi memegang kendali perusahaan. Jarak
generasi sering mewujud dalam jarak pemikiran, sekaligus pertentangan cara pandang
tentang apa yang dianggap sikap penting untuk mengembangkan bisnis.
Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha keras
menghapus watak itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak produktif,
karena terlalu sosial, melainkan merupakan pemborosan yang tak perlu. Tapi di
mata seorang pebisnis besar & mdash;yang secara intern dikultuskan sebagai
”the living lagend” jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha memperbesar
dukungan, dan mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan
pemborosan.
Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak
dipensiunkan, dan masih dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini
watak care yang indah secara kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan
pemborosan. Watak care di sini menggambarkan fungsi pemimpin, dan
kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk mengayomi mereka yang
membutuhkan pengayoman.
Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk
kalangan orang luar. Tapi watak care bukan hanya itu. Berorientasi pada profit
dan hanya profit yang berarti akumulasi kekayaan dalam bentuk uang, bisa memb u
a t pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care seperti itu merasa bersalah
secara sosial.
Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis,
karena direstui oleh logika yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli,
murah hati, dan mengayomi. Dunia bisnis murni tidak salah bila di dalamnya ada
sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi pelayanan, sebagai ungkapan rasa syukur
yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit” yang sudah begitu melimpah.
Tapi caring, bukan keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk
menjadi bagian dari corporate culture dalam sebuah dunia usaha. Mungkin caring
lebih merupakan watak bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan
dialektis antara kemurahan hati pribadi, kemuliaan ajaran agama, dan sikap etis
yang dalam, subtle, dan yang mungkin, lalu menjadi sejenis kearifan hidup
pribadi.
Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan
jejaknya, karena sikap atau wataknya, yang tak mudah ”dicopy-paste” untuk
menjadi suatu cultural legacy yang ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah.
Warisan kepemimpinannya bukan benda yang siap pakai. Sikap hidup bukan sejenis
keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan seutuhnya, apa adanya.
Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang
kepemimpinannya dianggap legendaris tadi, terdapat suatu kualitas moral
tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau karisma yang luhur,
yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk ”memuja”,
dan begitu beratnya untuk diamalkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang yang
bisa berperan sebagai ayah, sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam tata
kehidupan kita yang gersang secara rohaniah ini. []
KORAN SINDO, 12 November 2014
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar