Kamis, 27 November 2014

Dahlan: Susi Tetap di Hati



Susi Tetap di Hati
Oleh: Dahlan Iskan

Saya bisa membayangkan dengan baik sulitnya mengevakuasi pesawat Susi Air yang jatuh di pedalaman Papua Jumat lalu. Lokasi itu begitu terjal, penuh gunung, dan lembah yang curam. Tidak jauh dari lembah terjal yang dengan susah payah saya kunjungi bulan lalu. Yakni, ketika saya dan rombongan PLN harus berjalan kaki 15 km dari Wamena ke wilayah atas Kabupaten Yahukimo, mencari lokasi ideal untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Ketika berada di lokasi itu saya sering mendongak karena ada pesawat yang lewat. Rupanya di atas lokasi itu merupakan jalur penerbangan yang baik untuk keluar dari lembah Wamena. Lokasi ini berada di sela-sela gunung. Memang, setiap pesawat yang hendak keluar atau masuk Wamena harus mencari celah-celah di antara gunung-gunung tinggi di sekeliling Wamena.Di kawasan itu kita bisa terkaget-kaget ketika pesawat keluar dari awan tiba-tiba ada tebing gunung tinggi di sebelah jendela. Itu saya alami sendiri ketika hendak mendarat di Wamena bulan lalu. Pesawat masih berada di dalam kegelapan awan ketika pilot mengumumkan kita segera mendarat. Saya pikir mau mendarat di mana? Wong tidak kelihatan apa-apa begini. Eh, tidak lama kemudian pesawat keluar dari awan dan seperti tiba-tiba berada di samping tebing puncak gunung yang terjal. Rasanya ngeri-ngeri asyik.

Yang membuat hati saya tetap tenang adalah ini; pesawat ini, Susi Air, dalam sejarahnya belum pernah mengalami kecelakaan. Pemiliknya, Susi yang saya kenal baik, selalu membanggakan itu. Pesawat ini sejenis dengan yang jatuh itu (atau jangan-jangan memang itu?) adalah pesawat yang masih relatif baru. Baru berumur empat tahun. Toh, saya sering naik pesawat yang umurnya sudah lebih 30 tahun. Seperti Boeing 737-200 atau MD80 itu.

Yang juga membuat saya tenang, Susi Air menempatkan banyak pesawat jenis ini di Papua, yang berarti perhatian terhadap perawatannya sangat baik. Bahkan, Susi Air adalah pemilik terbanyak kedua di dunia untuk pesawat jenis Caravan ini, setelah FedEx AS. Yang juga menambah ketenangan saya adalah (Ini sikap yang saya sadari kurang baik, dan kelihatan lebih kurang baik setelah terjadinya kecelakaan itu) pilot-pilotnya orang bule.

Susi Air memang punya kebijakan hanya mempekerjakan pilot asing untuk 38 pesawatnya. Pilot-pilot Susi Air, ujar Susi kepada saya suatu saat, mau mengerjakan semua hal yang terkait dengan pesawatnya: mengangkat bagasi, menutup pintu, mencuci pesawat, dan menjadi pramugarinya sekalian. Ini sama dengan sikap Susi sendiri yang senang mengerjakan apa saja. Meski seorang bos besar, dia biasa melakukan pekerjaan yang remeh-temeh.

Pernah saya terbang dengan Susi Air dari Dobo di Maluku Tenggara. Di situlah saya pertama kenal dengan dia. Semula saya pikir dia karyawan biasa. Dia bertindak seperti petugas ground dan ketika ikut terbang di psesawat itu dia yang melayani penumpang. Saya kagum ketika akhirnya tahu dialah bos besar Susi Air. Orangnya cekatan, cerdas, antusias, bicaranya blak-blakan, suaranya besar, agak parau, dan sangat tomboi.

Susi sangat bangga menjadi wanita Sunda yang lahir dan besar di Pangandaran, pantai selatan Jabar, yang bisa menjadi bos dari begitu banyak orang asing. Dia juga begitu bangga bisa mengabdi untuk republik dengan pesawat-pesawatnya. Baik sebagai jembatan daerah terisolasi maupun saat menjadi relawan waktu tsunami. Dia juga begitu bangga dengan desa kelahirannya, sehingga kantor pusat Susi Air dia pertahankan tetap di Desa Pangandaran yang jauh dari Jakarta. Termasuk di desa itu pula pusat pelatihan pilot dan peralatan simulasinya yang canggih.

Dari Pantai Pangandaran memang Susi jadi orang. Yakni, ketika awalnya dia mulai mencoba menampung udang hasil tangkapan nelayan di desanya yang kualitasnya begitu tinggi. Lalu dia kirim ke Jakarta. Lalu dia ekspor. Lalu dia mengalami kesulitan karena tak ada sarana yang bisa mengangkut udang Pangandaran dengan cepat dan dalam keadaan masih hidup sudah tiba di Jakarta atau Singapura. Lalu, demi udang nelayan Pangandaran itu dia sewa pesawat. Lalu beli pesawat. Lalu beli lagi dan beli lagi hingga mencapai 38 buah. Lalu bikin perusahaan penerbangan.

Saya begitu sering menggunakan jasa Susi Air. Banyak rute yang penerbangan lain tidak mau, dia terbangi. Misalnya, Jakarta-Cilacap. Atau Medan-Meulaboh. Atau antarkota kecil di Papua. Sebagai orang yang kini harus memikirkan listrik sampai ke seluruh pelosok negeri yang terpencil, saya ikut berterima kasih kepada Susi.

Saya agak heran mengapa kecelakaan itu terjadi. Selama ini saya sangat yakin dengan peralatan modern di Caravan yang berisi 14 orang itu. Layar radarnya yang cukup lebar bisa memberikan banyak indikasi cuaca. Saya sering duduk di barisan paling dekat pilot sehingga sering bertanya makna tanda-tanda yang muncul di layar. Ketika di depan sana ada awan tebal, layar itu bisa menggambarkan mana awan yang berisiko dan yang tidak. Mana awan tipis dan tebal. Gunung juga terbaca di situ.

Saya menduga kecelakaan itu karena pilot tidak berhasil mengangkat atau menaikkan pesawat setinggi yang dibutuhkan untuk melompati sebuah puncak gunung di situ. Misalnya, karena empat drum solar seberat 1,1 ton itu terlalu berat.

Saya pernah naik Caravan Susi Air dari Nabire ke Timika di Papua yang juga mendebarkan. Dua kota itu dipisahkan oleh pegunungan yang salah satu puncaknya setinggi 4.500 meter. Sebelum take off, saya mengira pesawat akan menghindari ketinggian itu dengan cara sedikit memutar ke atas Kaimana.

Ketika pesawat mengudara, saya terus memegang peta yang dalam posisi membuka. Ketika saya rasakan pesawat terus meninggi, barulah saya tahu bahwa sang pilot memilih meloncati saja puncak 4.500 meter itu. Wow! Kata saya dalam hati. Pesawat begini kecil terbang 5.000 meter! Karena kami semua memegang BlackBerry, kami menggunakannya juga untuk mengecek ketinggian. Benar. 5.000 meter!

Saya juga sering dibantu pilot Susi Air. Ketika terbang dari Jakarta ke Pangandaran, kami diberi bonus bisa terbang rendah dan memutar dua kali di atas Pegunungan Kamojang. Dengan cara begitu saya bisa melihat dari atas secara jelas pembangkit listrik geotermal di lereng Gunung Kamojang dan lereng Gunung Salak.

Demikian juga ketika saya terbang dari Bintuni ke Nabire, pilotnya tidak keberatan ketika saya minta mengarah dulu ke selatan karena saya ingin melihat dari atas fasilitas LNG Tangguh di pantai Teluk Bintuni. Bahkan, ketika ke Digul dan pesawat diperkirakan tidak bisa mendarat karena landasan jelek, pilot dengan sabar berusaha keras mendarat. Caranya, beberapa kali pilot menerbangkan Caravannya rendah sekali menyusuri sebelah landasan Digul. Yakni, untuk melihat dengan mata telanjang apakah landasan itu aman didarati. Akhirnya Susi Air mendarat di Digul dengan mulusnya.

Tentu saya juga sering bergurau dengan pilot-pilot itu. Ketika Susi Air mendarat di Merauke, saya menggoda pilot muda asal Australia itu.

“Apakah Anda ingin mampir pulang dulu?” tanya saya sambil menunjukkan jari ke arah Australia yang sudah begitu dekat.

Apa jawabnya? “Iya lho. Tinggal 150 mil lagi sudah Australia,” jawabnya lantas senyum. Mudah-mudahan bukan dia yang jatuh di Yahukimo Jumat lalu itu. Saya masih begitu ingat senyum perpisahan hari itu. (c2/lk)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar