Susi Tetap di Hati
Oleh:
Dahlan Iskan
Saya bisa
membayangkan dengan baik sulitnya mengevakuasi pesawat Susi Air yang jatuh di
pedalaman Papua Jumat lalu. Lokasi itu begitu terjal, penuh gunung, dan lembah
yang curam. Tidak jauh dari lembah terjal yang dengan susah payah saya kunjungi
bulan lalu. Yakni, ketika saya dan rombongan PLN harus berjalan kaki 15 km dari
Wamena ke wilayah atas Kabupaten Yahukimo, mencari lokasi ideal untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Ketika berada di lokasi itu saya sering mendongak karena ada
pesawat yang lewat. Rupanya di atas lokasi itu merupakan jalur penerbangan yang
baik untuk keluar dari lembah Wamena. Lokasi ini berada di sela-sela gunung.
Memang, setiap pesawat yang hendak keluar atau masuk Wamena harus mencari
celah-celah di antara gunung-gunung tinggi di sekeliling Wamena.Di kawasan itu
kita bisa terkaget-kaget ketika pesawat keluar dari awan tiba-tiba ada tebing
gunung tinggi di sebelah jendela. Itu saya alami sendiri ketika hendak mendarat
di Wamena bulan lalu. Pesawat masih berada di dalam kegelapan awan ketika pilot
mengumumkan kita segera mendarat. Saya pikir mau mendarat di mana? Wong tidak
kelihatan apa-apa begini. Eh, tidak lama kemudian pesawat keluar dari awan dan
seperti tiba-tiba berada di samping tebing puncak gunung yang terjal. Rasanya
ngeri-ngeri asyik.
Yang membuat hati saya tetap tenang adalah ini; pesawat ini, Susi
Air, dalam sejarahnya belum pernah mengalami kecelakaan. Pemiliknya, Susi yang saya
kenal baik, selalu membanggakan itu. Pesawat ini sejenis dengan yang jatuh itu
(atau jangan-jangan memang itu?) adalah pesawat yang masih relatif baru. Baru
berumur empat tahun. Toh, saya sering naik pesawat yang umurnya sudah lebih 30
tahun. Seperti Boeing 737-200 atau MD80 itu.
Yang juga membuat saya tenang, Susi Air menempatkan banyak pesawat
jenis ini di Papua, yang berarti perhatian terhadap perawatannya sangat baik.
Bahkan, Susi Air adalah pemilik terbanyak kedua di dunia untuk pesawat jenis Caravan
ini, setelah FedEx AS. Yang juga menambah ketenangan saya adalah (Ini sikap
yang saya sadari kurang baik, dan kelihatan lebih kurang baik setelah
terjadinya kecelakaan itu) pilot-pilotnya orang bule.
Susi Air memang punya kebijakan hanya mempekerjakan pilot asing
untuk 38 pesawatnya. Pilot-pilot Susi Air, ujar Susi kepada saya suatu saat,
mau mengerjakan semua hal yang terkait dengan pesawatnya: mengangkat bagasi,
menutup pintu, mencuci pesawat, dan menjadi pramugarinya sekalian. Ini sama
dengan sikap Susi sendiri yang senang mengerjakan apa saja. Meski seorang bos
besar, dia biasa melakukan pekerjaan yang remeh-temeh.
Pernah saya terbang dengan Susi Air dari Dobo di Maluku Tenggara.
Di situlah saya pertama kenal dengan dia. Semula saya pikir dia karyawan biasa.
Dia bertindak seperti petugas ground dan ketika ikut terbang di psesawat itu
dia yang melayani penumpang. Saya kagum ketika akhirnya tahu dialah bos besar
Susi Air. Orangnya cekatan, cerdas, antusias, bicaranya blak-blakan, suaranya besar,
agak parau, dan sangat tomboi.
Susi sangat bangga menjadi wanita Sunda yang lahir dan besar di
Pangandaran, pantai selatan Jabar, yang bisa menjadi bos dari begitu banyak
orang asing. Dia juga begitu bangga bisa mengabdi untuk republik dengan pesawat-pesawatnya.
Baik sebagai jembatan daerah terisolasi maupun saat menjadi relawan waktu
tsunami. Dia juga begitu bangga dengan desa kelahirannya, sehingga kantor pusat
Susi Air dia pertahankan tetap di Desa Pangandaran yang jauh dari Jakarta.
Termasuk di desa itu pula pusat pelatihan pilot dan peralatan simulasinya yang
canggih.
Dari Pantai Pangandaran memang Susi jadi orang. Yakni, ketika
awalnya dia mulai mencoba menampung udang hasil tangkapan nelayan di desanya
yang kualitasnya begitu tinggi. Lalu dia kirim ke Jakarta. Lalu dia ekspor.
Lalu dia mengalami kesulitan karena tak ada sarana yang bisa mengangkut udang
Pangandaran dengan cepat dan dalam keadaan masih hidup sudah tiba di Jakarta
atau Singapura. Lalu, demi udang nelayan Pangandaran itu dia sewa pesawat. Lalu
beli pesawat. Lalu beli lagi dan beli lagi hingga mencapai 38 buah. Lalu bikin
perusahaan penerbangan.
Saya begitu sering menggunakan jasa Susi Air. Banyak rute yang
penerbangan lain tidak mau, dia terbangi. Misalnya, Jakarta-Cilacap. Atau Medan-Meulaboh.
Atau antarkota kecil di Papua. Sebagai orang yang kini harus memikirkan listrik
sampai ke seluruh pelosok negeri yang terpencil, saya ikut berterima kasih
kepada Susi.
Saya agak heran mengapa kecelakaan itu terjadi. Selama ini saya
sangat yakin dengan peralatan modern di Caravan yang berisi 14 orang itu. Layar
radarnya yang cukup lebar bisa memberikan banyak indikasi cuaca. Saya sering
duduk di barisan paling dekat pilot sehingga sering bertanya makna tanda-tanda
yang muncul di layar. Ketika di depan sana ada awan tebal, layar itu bisa
menggambarkan mana awan yang berisiko dan yang tidak. Mana awan tipis dan
tebal. Gunung juga terbaca di situ.
Saya menduga kecelakaan itu karena pilot tidak berhasil mengangkat
atau menaikkan pesawat setinggi yang dibutuhkan untuk melompati sebuah puncak
gunung di situ. Misalnya, karena empat drum solar seberat 1,1 ton itu terlalu
berat.
Saya pernah naik Caravan Susi Air dari Nabire ke Timika di Papua
yang juga mendebarkan. Dua kota itu dipisahkan oleh pegunungan yang salah satu
puncaknya setinggi 4.500 meter. Sebelum take off, saya mengira pesawat akan
menghindari ketinggian itu dengan cara sedikit memutar ke atas Kaimana.
Ketika pesawat mengudara, saya terus memegang peta yang dalam
posisi membuka. Ketika saya rasakan pesawat terus meninggi, barulah saya tahu
bahwa sang pilot memilih meloncati saja puncak 4.500 meter itu. Wow! Kata saya
dalam hati. Pesawat begini kecil terbang 5.000 meter! Karena kami semua
memegang BlackBerry, kami menggunakannya juga untuk mengecek ketinggian. Benar.
5.000 meter!
Saya juga sering dibantu pilot Susi Air. Ketika terbang dari
Jakarta ke Pangandaran, kami diberi bonus bisa terbang rendah dan memutar dua
kali di atas Pegunungan Kamojang. Dengan cara begitu saya bisa melihat dari
atas secara jelas pembangkit listrik geotermal di lereng Gunung Kamojang dan
lereng Gunung Salak.
Demikian juga ketika saya terbang dari Bintuni ke Nabire, pilotnya
tidak keberatan ketika saya minta mengarah dulu ke selatan karena saya ingin melihat
dari atas fasilitas LNG Tangguh di pantai Teluk Bintuni. Bahkan, ketika ke
Digul dan pesawat diperkirakan tidak bisa mendarat karena landasan jelek, pilot
dengan sabar berusaha keras mendarat. Caranya, beberapa kali pilot menerbangkan
Caravannya rendah sekali menyusuri sebelah landasan Digul. Yakni, untuk melihat
dengan mata telanjang apakah landasan itu aman didarati. Akhirnya Susi Air
mendarat di Digul dengan mulusnya.
Tentu saya juga sering bergurau dengan pilot-pilot itu. Ketika
Susi Air mendarat di Merauke, saya menggoda pilot muda asal Australia itu.
“Apakah Anda ingin mampir pulang dulu?” tanya saya sambil menunjukkan jari ke arah Australia yang sudah begitu dekat.
Apa jawabnya? “Iya lho. Tinggal 150 mil lagi sudah Australia,”
jawabnya lantas senyum. Mudah-mudahan bukan dia yang jatuh di Yahukimo Jumat
lalu itu. Saya masih begitu ingat senyum perpisahan hari itu. (c2/lk)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar