Religiusitas Kaum Nelayan
Oleh: Komaruddin Hidayat
Suatu hari saya terlibat diskusi kecil dengan seorang antropolog
agama UIN Jakarta, Prof Jamhari Makruf, mengapa masyarakat nelayan senang
mengadakan ritual doa disertai melepas sesaji ke laut? Menurutnya, ini bermula
dari rasa cemas ketika mereka melaut mencari ikan.
Tidak saja cemas, mereka juga merasa dirinya sangat kecil dan
takut menghadapi kemungkinan datangnya ombak besar dan ganas yang bisa
menenggelamkan mereka. Sementara mereka tidak memiliki ladang penghasilan
kecuali dari laut sehingga mereka selalu berharap agar laut berbaik hati.
Sehingga memudahkan mereka dalam menangkap ikan yang merupakan satu-satunya
sandaran kehidupannya.
Perasaan takut menghadapi laut yang sedemikian besar, luas, dan
dalam ini benar-benar membuat seorang nelayan merasa sangat kecil dan takluk di
hadapan lautan. Karena itu, kaum nelayan lalu secara berkala mengadakan ritual
dan sesaji membujuk penguasa laut agar tidak mendatangkan malapetaka bagi
mereka.
Setiap upacara ritual yang bernuansa keagamaan selalu terdapat dua
kandungan pokoknya. Pertama , meminta pada penguasa semesta agar terhindar dari
malapetaka. Kedua, terima kasih atas kebaikan-Nya.
Secara antropologis, kita dapat membedakan tiga kategori
masyarakat dalam menyikapi misteri alam. Pertama, mereka yang berada dalam
tahap alam mistis. Mereka berpandangan dan berkeyakinan bahwa alam
sekelilingnya itu penuh kekuatan gaib semacam dewa sehingga yang dominan adalah
rasa takut.
Para dewa ini mesti dibujuk dan diberi sesaji agar tidak marah.
Bagi masyarakat mistis, jika terjadi ombak besar, hujan lebat, gunung meletus,
anak hilang di pantai, penyakit menular, semua itu kemarahan para dewa karena
kesalahan ulah manusia. Agar tidak terulang lagi, biasanya masyarakat melakukan
ruwatan, ritual dan sesaji, serta minta ampun.
Kategori kedua adalah cara pandang ontologis yaitu masyarakat yang
mulai memandang perilaku alam secara rasional, baik berkat pendidikan maupun
pengalaman panjang hidupnya sehingga pada fase ini masyarakat bisa memahami
secara rasional mengapa terjadi banjir, hujan lebat, dan ombak besar, serta
penyakit menular penyebabnya bukan karena dewa penguasa jagat marah, melainkan
itu kebiasaan alam yang terjadi secara berkala yang bisa dijelaskan dengan
nalar.
Dalam istilah akademis, itu hukum alam yang berlaku berdasarkan
rangkaian sebab-akibat. Yang diperlukan bagi para nelayan adalah memahami
siklus alam, kapan ombak besar, kapan musim hujan, dan bagaimana membuat
saluran air yang baik serta menjaga kebersihan agar terjauh dari penyakit.
Dalam tahap ini posisi alam dan manusia sejajar, sedangkan dalam
alam mistis manusia merasa dikuasai alam.
Kategori ketiga adalah masyarakat yang merasa sudah maju dalam
penggunaan sains dan teknologinya sehingga merasa mampu mengeksplorasi,
merekayasa, dan menguasai alam. Jika nelayan kecil takut pada ombak, pencari
ikan yang menggunakan kapal besar dengan peralatan teknologi canggih tak lagi
takut pada ombak dan hujan lebat. Mereka tak lagi percaya pada pertolongan
sesaji dan ritual doa-doa dalam menangkap ikan di tengah laut. Analisis dan
perhitungan sains dalam membaca cuaca dan ombak lebih penting ketimbang ritual
doa-doa dan memberikan sesaji pada penguasa laut.
Lalu, bagaimana dengan religiusitas kaum nelayan Indonesia?
Sebagian tentu masih berada dalam kurungan alam mistis meski sebagian dari
mereka telah mendapatkan sentuhan sains dan teknologi modern serta ajaran
keagamaan yang bersumber wahyu Ilahi. Namun, mitos-mitos tentang penjaga lautan
yang minta sesaji juga masih bertahan sampai sekarang yang diceritakan dari
generasi ke generasi.
Adapun sosok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang
berhasil membina karier sebagai eksportir ikan tentu saja sudah berada pada
tahapan fungsional. Dia bahkan menggunakan pesawat terbang untuk ekspor ikan ke
mancanegara. Secara sadar dia ingin melindungi nelayan kecil dari desakan dan
perampokan kapal asing yang menguras ikan di perairan Indonesia.
Secara antropologis kehadiran negara sangat diperlukan untuk
melindungi nelayan kecil yang selalu dicekam waswas dan takut, baik karena
ganasnya ombak, langkanya ikan, maupun langkanya bahan bakar minyak untuk
menggerakkan kapalnya. Secara perlahan campur tangan negara akan menggeser
sikap mistis dalam mengatasi sulitnya mencari ikan.
Mereka mengharapkan perlindungan tidak saja pada penguasa lautan,
tetapi juga uluran tangan negara, teknologi modern, dan bantuan bahan bakar
minyak. Betapapun rajinnya nelayan berdoa dan membuat sesaji, jika tidak
disertai teknologi modern serta perlindungan negara, pasti akan kalah bersaing
dengan maling-maling asing yang lebih canggih teknologinya meski mereka belum
tentu beragama.
Alam pikiran mistis di Nusantara ini tentu tidak akan hilang,
terlebih lagi bagi masyarakat penduduk sekitar pantai selatan yang ombaknya
besar dan sering menelan korban manusia. Namun, untuk wilayah pesisir utara
masyarakatnya lebih rasional dan terbuka.
Mungkin dipengaruhi oleh sejarah panjang yang mempertemukan
beragam penduduk, pedagang, dan nelayan asing sehingga di daerah pesisir utara
tradisi berdagang lebih berkembang dibanding penduduk pesisir selatan.
Bayangkan, sekian hari terombang-ambing di lautan yang penuh risiko, pasti
memunculkan dorongan berdoa pada penguasa lautan.
Sikap nelayan pada lautan itu mendua. Satu sisi sangat mencintai
dan berterima kasih pada lautan, di sisi lain sangat takut akan ganasnya ombak
dan kemungkinan langkanya ikan yang hendak mereka tangkap. Ada juga ketakutan
lain yaitu mahalnya harganya bahan bakar minyak dan kalah bersaing dengan
nelayan asing. []
KORAN SINDO, 21 November 2014
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar