Kamis, 06 November 2014

Kang Sobary: Dosa Lima Perkara



Dosa Lima Perkara
Oleh: Mohamad Sobary

Pak Jokowi, presiden kita yang tampak selalu informal, punya agenda dan siap bekerja. Kabinetnya pun disebut Kabinet Kerja. Seolah yang lain-lain, para pendahulunya, hanya kabinet tamasya. Seolah yang dulu sibuk membahas persoalan sensitif, semata hanya untuk membangun sebuah wacana politik, yang menggambarkan kesungguhan, tapi kemudian, sesudah lelah selama bekerja berhari-hari, dan rakyat menantikan pemecahan dan jalan keluarnya, ternyata keputusannya hanya berupa perintah atau ajakan,untuk mengendapkannya.

Kalau hanya begini, banyak sekali jenisnya. Masyarakat kita penuh dengan semangat bicara, dan kemudian mengendapkannya, karena itu yang paling mudah. Bahwa ajakan presiden dulu itu membuat banyak sekali orang yang kecewa, dan merasa dilecehkan kewarganegaraan, dan hak-hak politiknya, ya ”monggo mawon ”. Tapi sang presiden, yang sudah memutuskan begitu, siapa bakal melawannya? Presiden memang memiliki kekuasaan untuk berbuat seperti itu.

Kekuasaan presiden besar. Dan jika kekuasaan besar itu masih dirasa kurang, bisa ditambah lagi, supaya menjadi lebih besar. Tapi apakah perbuatan itu memang merupakan bagian dari apa yang bisa dianggap mewakili aspirasi warga negara? Pak Jokowi punya agenda, dan rakyat pun punya agenda. Para pendukung, yang kelihatan siap bekerja keras, juga mendorong Pak Jokowi melakukan hal-hal penting lainnya, yang menambah agenda Pak Jokowi menjadi lebih panjang, lebih mendalam, lebih berat.

Dan, bagaimana jika yang mereka sarankan itu ternyata di luar jangkauan kemampuan Pak Jokowi? Gagasan Pak Jokowi mengenai ”tol laut”, yang berarti bukan sekedar membenahi sistem transportasi laut, melainkan juga penegakan hukum di laut, yang jelas merupakan pekerjaan yang tak terbayangkan kompleksitas dan kesulitan-kesulitannya, ditambah banyak agenda baru, yang secara idealistis didesakkan berbagai kalangan.

Pak Jokowi punya agenda, para pendukung menambah kompleks agenda beliau. Kalau duitnya ada, sumber daya manusianya ada, dan sebagai agenda, beberapa di antaranya memang bisa dilaksanakan, kita tahu betapa bagusnya. Tapi untuk menghidupkan kembali pelabuhan demi pelabuhan, yang bakal kelihatan sebagai usaha mengembalikan kejayaan kemaritiman Majapahit dan Sriwijaya dulu, bagaimana menempatkannya di dalam agenda kerja kabinet, yang memiliki prioritas, dibatasi dana, dan dihadapkan pada kekurangan sumber daya manusia?

Pak Jokowi dibuat tak berkutik oleh saran-saran idealistis, yang kelihatan mendukungnya, siap membantunya bekerja keras, dan mewujudkannya menjadi prestasi kabinetnya. Bagaimana kalau hanya sebagian saja dari agenda itu yang bisa dilaksanakan?

Kerja kabinet itu realis, bukan idealis. Dalam jangka lima tahun, saran-saran itu mustahil dicapai. Dan, kabinet tidak boleh bekerja dalam kemustahilan. Kita bicara mengenai apa yang mungkin. Apa yang tak mungkin, tak usah terlalu menjadi pertimbangan, sebab siapa tahu hal itu kelak hanya menjadi jebakan politik, untuk membuatnya malu, tapi sudah terlanjur tak berdaya?

Agenda bidang pendidikan dan kebudayaan itu ibaratnya sudah segunung. Membenahi hutan dan lingkungan sudah segunung lagi. Agenda memberantas kemiskinan juga segunung. Menjaga gengsi pertumbuhan ekonomi merupakan tambahan lain yang juga segunung besarnya. Siapa bakal menangani itu semua hanya dalam masa lima tahun? Apalagi, kerja keras mewujudkan agenda demi agenda yang beberapa gunung besarnya itu merupakan bagian dari cara mewujudkan kemandirian bangsa. Semangat mandiri itu banyak wajahnya.

Bisa mewujudkan agenda kemandirian bangsa melalui kemandirian di bidang hukum, hingga aturan-aturan hukum kita tak terlalu penuh dengan campur tangan kepentingan politikekonomi bangsa lain? Kalau satu agenda ini saja yang diprioritaskan, dan bisa kita capai, Pak Jokowi akan dikenang sebagai orang besar, presiden besar, pemimpin besar.

Dalam idealisme Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang penuh semangat berbicara mengenai ”Trisakti” itu, sebenarnya kemandirian di bidang hukum ini tidak terlalu istimewa. Ini wujud kedaulatan kita di bidang kebudayaan, yang kita damba-dambakan. Tapi beranikah Pak Jokowi berjanji, bakal bisa mewujudkan perkara sederhana ini? Gagasan idealis mengenai apa yang kita sebut ”Trisakti”, itu membutuhkan kerja keras, dan perjuangan politik yang tak mudah.

”Trisakti” tak cukup hanya dipidatokan, dan sesudah itu seolah sudah tercapai. Tidak bisa. Kemandirian di bidang hukum, salah satu wujud kedaulatan bangsa di dalam kebudayaan ini bukan lagi wacana di atas mimbar, melainkan agenda kerja, sebutannya ”kerja keras”, memeras keringat, membanting tulang, tak mengenal siang tak mengenal malam. Kerja, kerja dan kerja itu pengabdiannya.

Dan jika hal sederhana, yaitu kehendak untuk merdeka di bidang yang sempit dan khusus, bidang hukum, tak tercapai, apa arti perjuangan mendambakan ”Trisakti” itu? Selebihnya, agenda kemandirian bangsa juga bisa diwujudkan dalam corak lebih sederhana lagi, lebih praktis, lebih nyata: jangan biarkan bangsa kita kleleran mencari kerja, dan dilecehkan di negeri asing.

Mereka menjadi, maaf, ”koeli ” murah, murahan, menderita, dan teraniaya. Bangsa mandiri macam apa yang membiarkan warganya, harus mencari kehidupan di negeri asing? Kemandirian apa yang didambakan bangsa itu, bila warganya disiksa di luar batas kemanusiaan, disetrika tubuhnya, digantung dan bahkan diperkosa, tapi negara diam, membisu seribu bahasa?

Kalau tata kehidupan kerja dan usaha mencari penghidupan macam ini tak berubah sesudah kita berniat mewujudkan kemandirian bangsa, kita memikul ”doso limang perkoro ” (dosa lima perkara): dosa pada negara, dosa pada bangsa, dosa pada rakyat, dosa pada diri sendiri, dan dosa pada kemanusiaan. Pak Jokowi, presiden, orang baik, orang serius, orang jujur, pasti takut dengan ini semua.

Dan tak mungkin berani melanggarnya. Jadi, saya kira begini Pak: silakan menjadi diri sendiri, secara otentik, dan mandiri. Pemimpin yang hendak mewujudkan gagasan membuat bangsanya mandiri, lebih dulu dirinya harus mandiri.

Banyak saran, banyak permintaan, tapi kalau yang banyak itu menjadi kebanyakan, dan bakal menjerat langkah Pak Jokowi, dan menjerumuskan nama baik di kubangan politik Senayan, lebih baik lupakan. Dosa lima perkara itu tidak main-main. Jauh dari itu, kredibilitas politik sang presiden takkan tergoyahkan. Dosa lima perkara itu tanggung jawab ”fi dunya wal akhirah”. []

KORAN SINDO, 03 November 2014
Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar