Dosa Lima
Perkara
Oleh:
Mohamad Sobary
Pak
Jokowi, presiden kita yang tampak selalu informal, punya agenda dan siap
bekerja. Kabinetnya pun disebut Kabinet Kerja. Seolah yang lain-lain, para
pendahulunya, hanya kabinet tamasya. Seolah yang dulu sibuk membahas persoalan
sensitif, semata hanya untuk membangun sebuah wacana politik, yang
menggambarkan kesungguhan, tapi kemudian, sesudah lelah selama bekerja
berhari-hari, dan rakyat menantikan pemecahan dan jalan keluarnya, ternyata
keputusannya hanya berupa perintah atau ajakan,untuk mengendapkannya.
Kalau
hanya begini, banyak sekali jenisnya. Masyarakat kita penuh dengan semangat
bicara, dan kemudian mengendapkannya, karena itu yang paling mudah. Bahwa
ajakan presiden dulu itu membuat banyak sekali orang yang kecewa, dan merasa
dilecehkan kewarganegaraan, dan hak-hak politiknya, ya ”monggo mawon ”. Tapi
sang presiden, yang sudah memutuskan begitu, siapa bakal melawannya? Presiden
memang memiliki kekuasaan untuk berbuat seperti itu.
Kekuasaan
presiden besar. Dan jika kekuasaan besar itu masih dirasa kurang, bisa ditambah
lagi, supaya menjadi lebih besar. Tapi apakah perbuatan itu memang merupakan
bagian dari apa yang bisa dianggap mewakili aspirasi warga negara? Pak Jokowi
punya agenda, dan rakyat pun punya agenda. Para pendukung, yang kelihatan siap
bekerja keras, juga mendorong Pak Jokowi melakukan hal-hal penting lainnya,
yang menambah agenda Pak Jokowi menjadi lebih panjang, lebih mendalam, lebih
berat.
Dan,
bagaimana jika yang mereka sarankan itu ternyata di luar jangkauan kemampuan
Pak Jokowi? Gagasan Pak Jokowi mengenai ”tol laut”, yang berarti bukan sekedar
membenahi sistem transportasi laut, melainkan juga penegakan hukum di laut,
yang jelas merupakan pekerjaan yang tak terbayangkan kompleksitas dan
kesulitan-kesulitannya, ditambah banyak agenda baru, yang secara idealistis
didesakkan berbagai kalangan.
Pak
Jokowi punya agenda, para pendukung menambah kompleks agenda beliau. Kalau
duitnya ada, sumber daya manusianya ada, dan sebagai agenda, beberapa di
antaranya memang bisa dilaksanakan, kita tahu betapa bagusnya. Tapi untuk
menghidupkan kembali pelabuhan demi pelabuhan, yang bakal kelihatan sebagai
usaha mengembalikan kejayaan kemaritiman Majapahit dan Sriwijaya dulu,
bagaimana menempatkannya di dalam agenda kerja kabinet, yang memiliki
prioritas, dibatasi dana, dan dihadapkan pada kekurangan sumber daya manusia?
Pak
Jokowi dibuat tak berkutik oleh saran-saran idealistis, yang kelihatan
mendukungnya, siap membantunya bekerja keras, dan mewujudkannya menjadi
prestasi kabinetnya. Bagaimana kalau hanya sebagian saja dari agenda itu yang
bisa dilaksanakan?
Kerja
kabinet itu realis, bukan idealis. Dalam jangka lima tahun, saran-saran itu
mustahil dicapai. Dan, kabinet tidak boleh bekerja dalam kemustahilan. Kita
bicara mengenai apa yang mungkin. Apa yang tak mungkin, tak usah terlalu
menjadi pertimbangan, sebab siapa tahu hal itu kelak hanya menjadi jebakan
politik, untuk membuatnya malu, tapi sudah terlanjur tak berdaya?
Agenda
bidang pendidikan dan kebudayaan itu ibaratnya sudah segunung. Membenahi hutan
dan lingkungan sudah segunung lagi. Agenda memberantas kemiskinan juga
segunung. Menjaga gengsi pertumbuhan ekonomi merupakan tambahan lain yang juga
segunung besarnya. Siapa bakal menangani itu semua hanya dalam masa lima tahun?
Apalagi, kerja keras mewujudkan agenda demi agenda yang beberapa gunung besarnya
itu merupakan bagian dari cara mewujudkan kemandirian bangsa. Semangat mandiri
itu banyak wajahnya.
Bisa
mewujudkan agenda kemandirian bangsa melalui kemandirian di bidang hukum,
hingga aturan-aturan hukum kita tak terlalu penuh dengan campur tangan kepentingan
politikekonomi bangsa lain? Kalau satu agenda ini saja yang diprioritaskan, dan
bisa kita capai, Pak Jokowi akan dikenang sebagai orang besar, presiden besar,
pemimpin besar.
Dalam
idealisme Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang penuh semangat berbicara
mengenai ”Trisakti” itu, sebenarnya kemandirian di bidang hukum ini tidak
terlalu istimewa. Ini wujud kedaulatan kita di bidang kebudayaan, yang kita
damba-dambakan. Tapi beranikah Pak Jokowi berjanji, bakal bisa mewujudkan
perkara sederhana ini? Gagasan idealis mengenai apa yang kita sebut ”Trisakti”,
itu membutuhkan kerja keras, dan perjuangan politik yang tak mudah.
”Trisakti”
tak cukup hanya dipidatokan, dan sesudah itu seolah sudah tercapai. Tidak bisa.
Kemandirian di bidang hukum, salah satu wujud kedaulatan bangsa di dalam
kebudayaan ini bukan lagi wacana di atas mimbar, melainkan agenda kerja,
sebutannya ”kerja keras”, memeras keringat, membanting tulang, tak mengenal
siang tak mengenal malam. Kerja, kerja dan kerja itu pengabdiannya.
Dan jika
hal sederhana, yaitu kehendak untuk merdeka di bidang yang sempit dan khusus,
bidang hukum, tak tercapai, apa arti perjuangan mendambakan ”Trisakti” itu?
Selebihnya, agenda kemandirian bangsa juga bisa diwujudkan dalam corak lebih
sederhana lagi, lebih praktis, lebih nyata: jangan biarkan bangsa kita kleleran
mencari kerja, dan dilecehkan di negeri asing.
Mereka
menjadi, maaf, ”koeli ” murah, murahan, menderita, dan teraniaya. Bangsa
mandiri macam apa yang membiarkan warganya, harus mencari kehidupan di negeri
asing? Kemandirian apa yang didambakan bangsa itu, bila warganya disiksa di
luar batas kemanusiaan, disetrika tubuhnya, digantung dan bahkan diperkosa,
tapi negara diam, membisu seribu bahasa?
Kalau
tata kehidupan kerja dan usaha mencari penghidupan macam ini tak berubah
sesudah kita berniat mewujudkan kemandirian bangsa, kita memikul ”doso limang
perkoro ” (dosa lima perkara): dosa pada negara, dosa pada bangsa, dosa pada
rakyat, dosa pada diri sendiri, dan dosa pada kemanusiaan. Pak Jokowi,
presiden, orang baik, orang serius, orang jujur, pasti takut dengan ini semua.
Dan tak
mungkin berani melanggarnya. Jadi, saya kira begini Pak: silakan menjadi diri
sendiri, secara otentik, dan mandiri. Pemimpin yang hendak mewujudkan gagasan membuat
bangsanya mandiri, lebih dulu dirinya harus mandiri.
Banyak
saran, banyak permintaan, tapi kalau yang banyak itu menjadi kebanyakan, dan
bakal menjerat langkah Pak Jokowi, dan menjerumuskan nama baik di kubangan
politik Senayan, lebih baik lupakan. Dosa lima perkara itu tidak main-main.
Jauh dari itu, kredibilitas politik sang presiden takkan tergoyahkan. Dosa lima
perkara itu tanggung jawab ”fi dunya wal akhirah”. []
KORAN
SINDO, 03 November 2014
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar