Logika Sosialisme
Oleh: Komaruddin Hidayat
Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang
sejuk, alamnya yang indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah
lapangan golfnya yang memikat dan menantang.
Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam
harinya saya merasa dada sesak sehingga minta tolong petugas hotel untuk
memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter datang ditemani tiga orang lain,
lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis selesai, saya merasa
nyaman kembali.
Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua
ini gratis. Kami semata melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk
tamu yang berkunjung ke sini. Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu
tentu memberikan kesan tersendiri di hati saya.
Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa
melayani kesehatan tamunya dengan baik. Kenangan yang sudah cukup lama itu
muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu seorang teman yang berkarier
sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang.
Dia merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah
China kepada para pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya
dibanding produk Indonesia. Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu
memberi bantuan berupa kemudahan dan kecepatan izin kepada setiap pengusaha.
Bahkan juga keringanan pajak.
Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan
memberikan kesejahteraan bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan
mampu menciptakan lapangan kerja, berarti telah membantu meringankan tugas dan
beban negara sehingga pemerintah wajib berterima kasih dan membantu kelancaran
usahanya.
Jika pemerintah pusat menerima laporan bahwa birokrasi layanannya
mempersulit, langsung ditindak. Ada cerita lain dari seorang teman yang
memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998 ketika dilanda krisis
keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan untuk
menghemat biaya karena tamu sedang sepi.
Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu
hotelnya tak boleh dimatikan. Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi,
Shanghai di malam hari mesti gemerlap terang benderang. Kemegahan kota tidak
boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota yang mengurusi perhotelan,
pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan menurun, sehingga
manajemen mesti melakukan penghematan biaya.
Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan
berupa pengurangan pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan
pajak sampai keadaan kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset
ataupun baca buku, tetapi mendengar langsung dari seorang teman.
Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas
negara sangat berat. Terlebih China yang menamakan dirinya sebagai negara
sosialisme-komunisme, negara memiliki peran dan tanggung jawab jauh lebih besar
dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang menganut ideologi kapitalisme
yang menekankan kebebasan bagi warganya.
Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses
konvergensi antara narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut
ideologi kapitalisme semakin bergerak mendekati sosialisme, sementara negara
sosialisme-komunisme bergerak ke arah kapitalisme.
Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi
antara pertarungan dua narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran.
Tentang pelayanan birokrasi pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam
melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik diIndonesia sangat mengecewakan.
Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan
cerita dan keluhan teman-teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang
dipersulit memperoleh izin, kecuali mesti menyertakan saham kosong atau suap
dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya sebagai dosen yang berstatus
pegawai negeri sipil.
Alih-alih memberi kemudahan dan dorongan seperti cerita di atas,
melainkan malah memeras. Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga
beredar di kalangan pengusaha asing. Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi
rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal ketimbang barang impor,
khususnya dari China.
Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat
pada mazhab sosialisme yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong,
bukan pasar bebas yang memberikan panggung kompetisi bebas bagi para
aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga peran negara semakin lemah dalam
melindungi pemain-pemain kecil.
Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara,
negara sangat lemah dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil.
Aktor-aktor besar sudah pasti yang memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran
pemerintah dan wakil rakyat yang lahir karena pilihan rakyat untuk
memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?
Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan
moral. Pesan dan gerakan agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi
kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan
komunal. []
KORAN SINDO, 14 November 2014
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar