Selasa, 18 November 2014

Kang Komar: Logika Sosialisme



Logika Sosialisme
Oleh: Komaruddin Hidayat

Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat dan menantang.

Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis selesai, saya merasa nyaman kembali.

Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini. Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati saya.

Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani kesehatan tamunya dengan baik. Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang.

Dia merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia. Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.

Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja, berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya.

Jika pemerintah pusat menerima laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak. Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998 ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi.

Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan. Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.

Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar langsung dari seorang teman.

Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.

Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah kapitalisme.

Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik diIndonesia sangat mengecewakan.

Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman-teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil.

Alih-alih memberi kemudahan dan dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras. Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing. Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal ketimbang barang impor, khususnya dari China.

Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil.

Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?

Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan komunal. []

KORAN SINDO,  14 November 2014
Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar