Kontekstualisasi Semangat Hijrah
Sabtu, 25/10/2014 01:34
Oleh: Maman Imanulhaq
--Pada hari Jumat tanggal 13 Rabi‘ul Awwal atau 24 September 622
Masehi, setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Makkah, akhirnya
Rasulullah Saw. tiba di Yatsrib, sebuah kota yang kemudian terkenal dengan nama
Madinah Al-Munawwarah.
Rasulullah bersama pengikutnya terpaksa “menyingkir” dari Makkah
karena mendapatkan gempuran bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy. Gempuran itu
sangat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa Rasulullah dan para
pengikutnya. Kaum kafir Quraisy—terutama para penguasa (elit politik dan elit
ekonomi)-nya—tampaknya merasa terancam dengan keberadaan Rasulullah bersama
para pengikutnya yang menyiarkan ajaran baru yang (dianggap) membahayakan dan
subversib.
Ajaran baru yang bernama agama Islam itu mengajarkan tauhid,
kesetaraan, dan keadilan sosial di satu sisi, serta memekikkan perlawanan
terhadap rezim politik dan rezim ekonomi yang otoriter, feodal, represif, dan
hegemonik di sisi yang lain. Sudah barang tentu, ajaran yang seperti itu sangat
menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan dan hegemoni para penguasa kafir Quraisy.
Peristiwa berpindah (hijrah)-nya Rasulullah dari Makkah ke Madinah yang sangat
bersejarah itu, oleh Khalifah ‘Umar ibn Khaththâb dijadikan sebagai tonggak
awal diberlakukannya tahun baru dalam Islam yang disebut tahun Hijriyah (umat
Islam Indonesia secara simpel kadang mengucapkannya sebagai tahun “Hijrah”).
Hijrah: Berpindah dan Berubah
Hijrah yang bermakna “pindah”, hakikatnya merupakan sebuah
semangat untuk melakukan perubahan (transformation). Manusia yang “berpindah”,
diharapkan juga mengusung semangat “perubahan” menuju kehidupan yang semakin
baik, indah, dan bermakna. Dan, hakikat hidup adalah selalu bergerak, berubah,
dan dinamis. Untuk itu, siapa pun (khususnya umat Islam) yang ingin mewarisi
semangat “hijrah” harus mempunyai gairah untuk terus mencari hal-hal yang baru,
baik, dinamis, dan progresif dalam kehidupan yang kaya warna dan kaya nuansa
ini. Rasulullah melakukan hijrah dan ingin mengubah tatanan hidup, kebudayaan,
dan peradaban umat manusia yang rendah, primitif, bobrok, kejam, timpang, dan
tidak manusiawi, menuju tatanan hidup, kebudayaan, dan peradaban yang sehat,
adil, baik, sejahtera, dan manusiawi. Rasulullah menawarkan ajaran Islam
sebagai alternatif dan solusi kehidupan yang baik dan sehat.
Manusia yang progresif dan dinamis harus selalu memegang semangat
“hijrah” dan “berubah” karena kehidupan ini terus bergerak cepat, carut-marut,
dan kadang tak terduga. Manusia harus selalu bergerak untuk melakukan perubahan
guna merajut sejarah dan kehidupan yang kian cerah, indah, dan gilang-gemilang.
Mengutip kata-kata cendekiawan Muslim Muhammad Iqbal, “Sekali berhenti, berarti
mati.” Iqbal mengajak manusia untuk terus-menerus mencari hal-hal baru
yang segar, orisinal, dan inovatif. Jangan pernah berhenti berpikir, bergerak,
dan mencari, karena di dalamnya ada semangat hidup, gairah, dan eksotisme yang
tak terperi. Manusia harus punya semangat untuk melakukan evolusi (atau
revolusi) menuju kehidupan yang semakin baik, maju, dan progresif, bukan
semakin buruk, mundur, dan regresif. Hijrah sebaiknya kita lakukan dengan
niat yang tulus dengan cara melepaskan diri dari belenggu ambisi pribadi,
kepicikan, dan kepentingan sesaat. Manusia yang berhijrah harus selalu memiliki
optimisme dalam menyongsong masa depan dan hari depan umat manusia yang
seharusnya semakin baik.
Hijrah, Makna, dan Harapan
Hijrah adalah perubahan menuju arah yang lebih baik, misalnya
menuju sebuah kondisi dimana tatanan sosial-kemasyarakatan diwarnai dengan
partisipasi publik yang didasarkan pada kerelaan, keswasembadaan, ketaatan pada
hukum, keswadayaan, dan kemandirian.
Semangat hijrah harus dimulai dengan kekuatan mental yang selalu
optimistis dalam menatap masa depan, meskipun mendung, kegelapan, dan
destruktifitas masih terus mewarnai perjalanan sejarah umat manusia dari waktu
ke waktu. Keberadaan manusia akan punya makna jika ia punya harapan pada
hari esok yang lebih baik, indah, dan cerah. Manusia selalu mencita-citakan
masa depan yang lebih baik, lebih ramah, dan lebih sempurna. Jika sudah tidak
punya harapan lagi, apa artinya hidup bagi manusia?
Di zaman yang kian modern, sudah terlalu banyak manusia yang putus
asa dan putus harapan. Manusia modern mengalami stres, depresi, kegilaan, dan
krisis eksistensi yang sangat parah. Manusia modern mengalami kehampaan dan
krisis makna yang akut. Inilah yang mungkin bisa diistilahkan sebagai “nestapa
manusia modern”. Menurut psikolog sekaligus pendekar logoterapi Viktor Frankl,
orang yang tidak bisa memaknai hidupnya—meskipun ia kaya harta dan berkuasa
sekali pun—tetap akan mengalami depresi, kekosongan, dan kehampaan.
Ujung-ujungnya dia bisa mengalami kegilaan, bahkan melakukan bunuh diri. Untuk
itu, apapun problem yang dihadapi, manusia harus tetap mempunyai harapan hidup dan
optimisme akan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Dalam konteks ini,
pemikir sekaligus psikolog sosial Erich Fromm menyerukan apa yang disebutnya
sebagai “Revolution of Hope” (Revolusi Harapan) di tengah kehidupan yang
keras, gaduh, kacau, dan carut-marut.
Hidup yang Lebih Baik, Indah, dan Bermakna
Hijrah juga bisa berarti bergerak dan berubah untuk meraih makna
hidup yang lebih baik menuju harapan dan cita-cita hidup yang lebih indah dan
gemilang. Dalam konteks dunia dan global, semangat hijrah misalnya bisa diisi
dan diwarnai dengan perjuangan yang tak kunjung usai untuk menegakkan orde
keadilan dan perdamaian di tengah peperangan, kekerasan, penindasan,
ketimpangan sosial-politik-ekonomi, dan kezaliman yang makin menjadi-jadi.
Dalam konteks Indonesia mutakhir, hijrah juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk
bergerak dan berubah dari jeratan imperialisme modern menuju kemandirian dan
kemerdekaan bangsa yang sejati. Selain itu, semangat hijrah dalam pentas
Indonesia mutakhir juga bisa diwarnai dengan perjuangan melawan segala bentuk
ketidakadilan, kekerasan, penindasan, narkobaisme, korupsi, perusakan alam, dan
kezaliman-kezaliman lainnya yang semakin merajalela. Dengan semangat “hijrah”,
marilah kita ciptakan dunia dan kehidupan yang semakin baik, indah, cerah, dan
bermakna. []
KH. Maman Imanulhaq, anggota DPR RI Periode 2014-2019, pengasuh
Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis buku "Fatwa dan
Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih Sepi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar