Senin, 03 November 2014

Kang Maman: Kontekstualisasi Semangat Hijrah



Kontekstualisasi Semangat Hijrah
Sabtu, 25/10/2014 01:34
Oleh: Maman Imanulhaq

--Pada hari Jumat tanggal 13 Rabi‘ul Awwal atau 24 September 622 Masehi, setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Makkah, akhirnya Rasulullah Saw. tiba di Yatsrib, sebuah kota yang kemudian terkenal dengan nama Madinah Al-Munawwarah.

Rasulullah bersama pengikutnya terpaksa “menyingkir” dari Makkah karena mendapatkan gempuran bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy. Gempuran itu sangat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa Rasulullah dan para pengikutnya. Kaum kafir Quraisy—terutama para penguasa (elit politik dan elit ekonomi)-nya—tampaknya merasa terancam dengan keberadaan Rasulullah bersama para pengikutnya yang menyiarkan ajaran baru yang (dianggap) membahayakan dan subversib.

Ajaran baru yang bernama agama Islam itu mengajarkan tauhid, kesetaraan, dan keadilan sosial di satu sisi, serta memekikkan perlawanan terhadap rezim politik dan rezim ekonomi yang otoriter, feodal, represif, dan hegemonik di sisi yang lain. Sudah barang tentu, ajaran yang seperti itu sangat menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan dan hegemoni para penguasa kafir Quraisy. Peristiwa berpindah (hijrah)-nya Rasulullah dari Makkah ke Madinah yang sangat bersejarah itu, oleh Khalifah ‘Umar ibn Khaththâb dijadikan sebagai tonggak awal diberlakukannya tahun baru dalam Islam yang disebut tahun Hijriyah (umat Islam Indonesia secara simpel kadang mengucapkannya sebagai tahun “Hijrah”).

Hijrah: Berpindah dan Berubah

Hijrah yang bermakna “pindah”, hakikatnya merupakan sebuah semangat untuk melakukan perubahan (transformation). Manusia yang “berpindah”, diharapkan juga mengusung semangat “perubahan” menuju kehidupan yang semakin baik, indah, dan bermakna. Dan, hakikat hidup adalah selalu bergerak, berubah, dan dinamis. Untuk itu, siapa pun (khususnya umat Islam) yang ingin mewarisi semangat “hijrah” harus mempunyai gairah untuk terus mencari hal-hal yang baru, baik, dinamis, dan progresif dalam kehidupan yang kaya warna dan kaya nuansa ini. Rasulullah melakukan hijrah dan ingin mengubah tatanan hidup, kebudayaan, dan peradaban umat manusia yang rendah, primitif, bobrok, kejam, timpang, dan tidak manusiawi, menuju tatanan hidup, kebudayaan, dan peradaban yang sehat, adil, baik, sejahtera, dan manusiawi. Rasulullah menawarkan ajaran Islam sebagai alternatif dan solusi kehidupan yang baik dan sehat.

Manusia yang progresif dan dinamis harus selalu memegang semangat “hijrah” dan “berubah” karena kehidupan ini terus bergerak cepat, carut-marut, dan kadang tak terduga. Manusia harus selalu bergerak untuk melakukan perubahan guna merajut sejarah dan kehidupan yang kian cerah, indah, dan gilang-gemilang. Mengutip kata-kata cendekiawan Muslim Muhammad Iqbal, “Sekali berhenti, berarti mati.”  Iqbal mengajak manusia untuk terus-menerus mencari hal-hal baru yang segar, orisinal, dan inovatif. Jangan pernah berhenti berpikir, bergerak, dan mencari, karena di dalamnya ada semangat hidup, gairah, dan eksotisme yang tak terperi. Manusia harus punya semangat untuk melakukan evolusi (atau revolusi) menuju kehidupan yang semakin baik, maju, dan progresif, bukan semakin buruk, mundur, dan regresif. Hijrah sebaiknya  kita lakukan dengan niat yang tulus dengan cara melepaskan diri dari belenggu ambisi pribadi, kepicikan, dan kepentingan sesaat. Manusia yang berhijrah harus selalu memiliki optimisme dalam menyongsong masa depan dan hari depan umat manusia yang seharusnya semakin baik.

Hijrah, Makna, dan Harapan

Hijrah adalah perubahan menuju arah yang lebih baik, misalnya menuju sebuah kondisi dimana tatanan sosial-kemasyarakatan diwarnai dengan partisipasi publik yang didasarkan pada kerelaan, keswasembadaan, ketaatan pada hukum, keswadayaan, dan kemandirian.

Semangat hijrah harus dimulai dengan kekuatan mental yang selalu optimistis dalam menatap masa depan, meskipun mendung, kegelapan, dan destruktifitas masih terus mewarnai perjalanan sejarah umat manusia dari waktu ke waktu.  Keberadaan manusia akan punya makna jika ia punya harapan pada hari esok yang lebih baik, indah, dan cerah. Manusia selalu mencita-citakan masa depan yang lebih baik, lebih ramah, dan lebih sempurna. Jika sudah tidak punya harapan lagi, apa artinya hidup bagi manusia?

Di zaman yang kian modern, sudah terlalu banyak manusia yang putus asa dan putus harapan. Manusia modern mengalami stres, depresi, kegilaan, dan krisis eksistensi yang sangat parah. Manusia modern mengalami kehampaan dan krisis makna yang akut. Inilah yang mungkin bisa diistilahkan sebagai “nestapa manusia modern”. Menurut psikolog sekaligus pendekar logoterapi Viktor Frankl, orang yang tidak bisa memaknai hidupnya—meskipun ia kaya harta dan berkuasa sekali pun—tetap akan mengalami depresi, kekosongan, dan kehampaan. Ujung-ujungnya dia bisa mengalami kegilaan, bahkan melakukan bunuh diri. Untuk itu, apapun problem yang dihadapi, manusia harus tetap mempunyai harapan hidup dan optimisme akan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Dalam konteks ini, pemikir sekaligus psikolog sosial Erich Fromm menyerukan apa yang disebutnya sebagai “Revolution of Hope” (Revolusi Harapan) di tengah kehidupan yang  keras, gaduh, kacau, dan carut-marut.

Hidup yang Lebih Baik, Indah, dan Bermakna

Hijrah juga bisa berarti bergerak dan berubah untuk meraih makna hidup yang lebih baik menuju harapan dan cita-cita hidup yang lebih indah dan gemilang. Dalam konteks dunia dan global, semangat hijrah misalnya bisa diisi dan diwarnai dengan perjuangan yang tak kunjung usai untuk menegakkan orde keadilan dan perdamaian di tengah peperangan, kekerasan, penindasan, ketimpangan sosial-politik-ekonomi, dan kezaliman yang makin menjadi-jadi. Dalam konteks Indonesia mutakhir, hijrah juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk bergerak dan berubah dari jeratan imperialisme modern menuju kemandirian dan kemerdekaan bangsa yang sejati. Selain itu, semangat hijrah dalam pentas Indonesia mutakhir juga bisa diwarnai dengan perjuangan melawan segala bentuk ketidakadilan, kekerasan, penindasan, narkobaisme, korupsi, perusakan alam, dan kezaliman-kezaliman lainnya yang semakin merajalela. Dengan semangat “hijrah”, marilah kita ciptakan dunia dan kehidupan yang semakin baik, indah, cerah, dan bermakna. []

KH. Maman Imanulhaq, anggota DPR RI Periode 2014-2019, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih Sepi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar