KIH Gagal Tanggapi Perubahan
Oleh: Bambang Soesatyo
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) gagal menanggapi perubahan. Dominasi
Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR saat ini adalah wujud nyata dari desain
perubahan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal ingin membangun
pemerintahan dengan koalisi kekuatan politik yang ramping. KIH seharusnya
menerima status minoritas mereka sebagai konsekuensi logis dari perubahan itu.
Publik tentu masih ingat saat Jokowi mengatakan bahwa dia ingin
koalisi partai politik (parpol) pendukung yang ramping dalam pemerintahannya.
Tentu saja ada konsekuensi dari desain koalisi ramping versi Jokowi itu. Secara
tidak langsung, bagian terbesar dari kekuatan politik di DPR didorong untuk
berada di luar pemerintahan. Ekstremnya, disuruh menjadi oposisi. Desain itu
sudah terwujud.
Karena itu, fakta bahwa gabungan parpol dalam KMP menggenggam
posisi mayoritas mestinya disikapi dengan lapang dada. Jokowi bersama parpol
anggota KIH harus siap mental menghadapi kenyataan itu. Bahkan, KIH pun harus
mau realistis atas status minoritas mereka di DPR.
Sesungguhnya, dengan koalisi ramping, Presiden Jokowi secara tidak
langsung sudah mendesain kesetaraan eksekutif-legislatif. Pemerintahan Presiden
Jokowi ingin mengakhiri ”dominasi” eksekutif atas legislatif yang sudah
berlangsung puluhan tahun. Akibat dominasi eksekutif itu, DPR sudah dianggap
kehilangan daya kritisnya, bahkan dilecehkan dengan sebutan tukang stempel.
Dengan semakin dewasanya demokrasi di Indonesia, dominasi
eksekutif itu harus diakhiri. Pemerintah dan DPR harus setara. Kesetaraan
eksekutif-legislatif menuntut DPR yang kuat dan independen. Itulah konsekuensi
perubahan yang lahir dari konsep koalisi ramping yang diinginkan Presiden
Jokowi. Desain inilah yang mestinya dipahami oleh semua komponen KIH di DPR RI.
Jika KIH kemudian berulah dengan membentuk pimpinan DPR tandingan
untuk mengganggu ritme kerja DPR, parpol-parpol itu praktis gagal menanggapi
perubahan. KIH bisa dituduh sebagai kekuatan politik yang menolak kesetaraan
eksekutif-legislatif. Padahal untuk mengikis perilaku korup para oknum birokrat
sekaligus mewujudkan good and clean governance, kesetaraan eksekutif-legislatif
menjadi syarat mutlak. Dan, agar bisa efektif menjalankan fungsi check and
balances, DPR tidak boleh lagi berada di bawah ketiak pemerintah.
Manakala DPR tidak bisa efektif melaksanakan fungsi checks and
balances itu, akan ada banyak masalah yang berpotensi tidak bisa
dipertanggungjawabkan oleh presiden. Skandal Bank Century, praktik kartel minyak
dan kartel-kartel komoditi lainnya adalah beberapa contoh kasus paling faktual
yang sampai sekarang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, karena
kekuatan DPR untuk melakukan pengawasan terus dipreteli oleh pemerintah.
Kesetaraan eksekutif-legislatif dalam arti yang sebenar-benarnya,
belum pernah terwujud. Sepanjang era Orde Baru, DPR betul-betul hanya jadi
tukang stempel. Bahkan 10 tahun periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono
pun, fungsi checks and balances sama sekali tidak efektif karena dipreteli oleh
apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung
pemerintah.
Peran DPR yang salah itu tak boleh berulang. Unsur KMP di DPR
periode 2014-2019 sudah mempertegas posisinya. KIH pun seharusnya demikian,
mendukung pemerintahan Presiden Jokowi-JK tanpa harus kehilangan daya
kritisnya. Tidak pada tempatnya KIH mencurigai KMP ingin menjegal pemerintah.
Potensi Instabilitas
Karena itu, tindakan KIH membuat gaduh di DPR patut dipertanyakan
motifnya. Gaduh di DPR sekarang ini berpotensi mengganggu pemerintahan
Jokowi-JK yang startnya terbilang mulus. Sangat kontras. Ketika semua menteri
Kabinet Kerja mulai bekerja, KIH malah berulah membuat DPR terbelah.
KIH seharusnya sadar bahwa membuat pimpinan DPR tandingan adalah manuver
politik yang berpotensi menimbulkan kerusakan sangat serius. Pasalnya, manuver
KIH ini bisa menyeret pemerintahan Jokowi-JK ke pusaran konflik yang berujung
pada stagnasi jalannya pemerintahan mereka.
Manuver KIH dengan membentuk pimpinan DPR ilegal secara tidak
langsung menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis. Pasalnya, KIH secara
tidak langsung memaksa Jokowi-JK untuk membuat pilihan yang sangat ekstrem,
yakni mengakui pimpinan DPR yang sah, atau mengakui pimpinan DPR ilegal yang
dibentuk koalisi parpol pendukung Jokowi-JK.
Mengakui pimpinan DPR yang sah adalah sebuah keniscayaan
konstitusional bagi Jokowi-JK. Sebaliknya, Jokowi-JK bertindak inkonstitusional
jika mengakui pimpinan DPR ilegal bentukan KIH. Presiden-Wapres akan terlibat
konflik dengan pimpinan DPR yang sah. Jokowi-JK diyakini tidak akan mau
terperangkap dalam konflik seperti ini.
Persoalannya pun akan bertambah rumit bagi Jokowi-JK jika menolak
mengakui pimpinan DPR versi KIH. Di sinilah dilema bagi Jokowi-JK. Bukan tidak
mungkin akan terjadi keretakan hubungan antara Jokowi-JK dan parpol anggota KIH
yang mendukung mereka.
Lebih dari itu, medan konflik baru yang dibangun KIH akan merusak
mekanisme kerja sama DPR dengan pemerintah, terutama terkait anggaran. KIH
harus menyadari bahwa jika pemerintahan Jokowi-JK yang baru seumur jagung ini
stagnan atau terhenti akibat konflik di DPR, kerusakan yang ditimbulkannya akan
sangat serius. Manuver KIH berpotensi menimbulkan instabilitas. Setelah itu,
muncul kecenderungan berikutnya berupa tumbuhnya kesan ketidakpastian. Kalau
kecenderungan seperti itu berlarut-larut, kepercayaan semua komponen publik
terhadap pemerintahan Jokowi-JK akan merosot mendekati titik nol.
Dengan begitu, manuver KIH sekarang ini bukan hanya tidak cerdas,
tetapi benar-benar tanpa pertimbangan yang matang dan arif. Presiden dan Wapres
sudah menunjukkan rasa tidak nyaman akibat masalah yang berkembang di DPR.
Jokowi-JK seharusnya fokus pada langkah-langkah awal pemerintahan mereka.
Tetapi akibat ulah KIH di DPR, kedua pemimpin mau tak mau harus menyisihkan
waktu untuk mengamati perkembangan di DPR.
Padahal, ada beberapa persoalan strategis yang harus segera
ditangani Jokowi-JK, misalnya soal menipisnya stok BBM bersubsidi yang mulai
menimbulkan ekses di sejumlah daerah. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah
harus bekerja sama dengan DPR. Bagaimanapun, isu BBM bersubsidi adalah
pertaruhan politik bagi pemerintah sekarang ini.
Kalau benar alokasi BBM bersubsidi habis sebelum waktunya,
pilihannya hanya dua. Menambah alokasi BBM bersubsidi dengan persetujuan DPR,
atau memberi akses kepada Pertamina untuk menjual premium dan solar dengan
harga keekonomian. Jokowi-JK, KIH seharusnya lebih peduli pada
persoalan-persoalan seperti ini, daripada sekadar membuat gaduh di DPR. Sayang,
dengan suasana di DPR yang sarat konflik seperti harihari ini, pemerintahan
Jokowi-JK tentu saja dipaksa menunggu sampai situasinya kondusif. Persoalannya,
sampai kapan KIH akan berhenti berulah. []
KORAN SINDO, 04 November 2014
Bambang Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar DPR; Presidium Nasional KAHMI 2012–2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar