Menolak Bughot
NU adalah organisasi Islam yang berakar pada
budaya setempat sehingga mampu beradaptasi dengan sitem yang berkembang di
masyarakat. Ketika semangat kebanaagsaan mulai bangkit NU menegaskan diri
sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan. Sikap itu dipertegas dalam
Muktamar di Banjarmasin 1936, NU menerima Hindia Belanda (Indonesia) s ebagai
Darus Salam bukan Darul Islam, karena itu menganggap negara yang ada bisa
diterima karena mayoritas penduduknya muslim dan selama beberapa abad dikuasai
oleh kerjaan Muslim.
Sejak pernyataan itu NU gigih membela kemerdekaan hingga lahir Indonesia. Banyak kelompok yang memberontak menuntut negara Islam, seperti yang dilakukan kelopok muslim modenis yang bergabung dalam Darul Islam (DI), tetapi NU menolak bergabung bahkan menuduhnya sebagai bughot, pemberotakan. NU menolak kepemimpinan Kartosuwiryo, dengan mengukuhkan kepemimpinan Presiden Soekarno dan mengukuhkan sebagai waliyul amri (penguasa yang sah) yang secara darurat bisa diangap sebagai pemimpin umat Islam (amirul mukminin). Dengan petualangannya itu DI dimusnahkan.
Begitu juga ketika kelompok Islam Islam modernis yang termasuk sisa-sisa DI bergabung dalam PRRI melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah pada tahun 1958. NU dengan tegas menolak. Akibat pemberontakan itu Masyumi dilarang dan terhenti seluruh aktivitasnya, bahkan nama umat Islam ikut tercoreng, sehingga Islam sering distigma sebagai kaum pemberontak.
Pada masa orde baru bekas DI dan PRRi masih terus berulah dengan gerakan Komando Jihad, menghadapi hal ini NU juga menolak keras gerakan ini. Melihat gejala ini pada tahun 1970-an ada sekelompok militer yang menagngakap dan mengintimidasi seorang ketua MWCNU Lumajang dipaksa mengaku sebagai pimpinan Komando jihad. Dengan harapan NU sebagai partai terkuat bisa dipukul dengan isu itu. Melihat kenyataan itu KH Machrus Ali Pimpinan NU Wilayah JawaTimur mendatangi Poangdam Brawijaya Mayjen Witarmin yang terkenal galak dengan dengan marah besar Kiai Machrus mengatakan, “Orang seperti ini pasti bohong, tidak ada ceritanya orang NU memberontak, di mana-mana kalau ada yang memberontak pasti ABRI karena yang punya senjata seperti Kartosuwiryo, Kol Husein, Kol Warrow dan Kol Sombolon”. Mendapat dampratan daeri Kiai kharismatik itu Pangdam Witarmin hanya tertunduk malu.
Kiai Maharus adalkah pewaris kelihaian dankeberanian Kiai Wahan Chasbullah tidak pernah gentar pada siapapun dalam dalam situasi apapun. Inilah tipe pemimpin NU yang berkarekter yang menar-benar ber-NU untuk membela negara agama dan bangsa. []
Sumber: Laporan Muktamr Ke-21 NU di Jakarta
1959 dan Biografi K Manaf, K Marzuqi dan K Mahrus
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar