Peringatan dan Amarah
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
Guru saya
di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah
terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi
Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatu pun yang
pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling
rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru
kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten
untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering
diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak
mungkin saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan
keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami,
bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid
yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan
masuk pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi
menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas
saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair?
Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair
pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup
saya tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya
sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu
mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya
mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi:
“Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan
khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja
tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak
bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan
ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang
pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan
lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah
ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan
macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya?
Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah
satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak:
“Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya
didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak
setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena
suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya
kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya
diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak
ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra,
politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan
suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”.
Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil
saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi
dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu
tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu
wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki,
saya ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni
yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak
punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel
ngomong ngunu!”. *****
(Dokumentasi
Progress)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar