Kamis, 20 November 2014

Kang Maman: Menyalakan Obor Toleransi



Menyalakan Obor Toleransi
Oleh: Maman Imanulhaq

BICARA tentang toleransi, bukan perkara prioritas melainkan menyangkut keselamatan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Betapa tidak, angka kekerasan dan intoleransi, merujuk pada laporan-laporan tengah tahun (Januari-Juni 2014) yang dilakukan Setara Institute, dari 60 pelanggaran di seluruh Indonesia, 19 di antaranya terjadi di Jawa Barat. Jumlah itu terbilang tinggi jika dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya.

Di peringkat kedua ada Jawa Tengah dengan 10 kasus dan Jawa Timur 8 kasus. Dari 81 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 34 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari ke-34 tindakan negara tersebut, 30 tindakan merupakan tindakan aktif, sementara 4 tindakan merupakan tindakan pembiaran.Pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan, merupakan bagian dari tindakan aktif negara.

Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang cinta damai, toleran dan menghargai pluralitas. Bahkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi prinsip kebangsaan yang kuat sejak masa kegemilangan silam dengan tradisi dan kemajemukan masyarakat Nusantara hingga terbentuknya negara dan bangsa bernama Indonesia saat ini. Sebuah konsensus bersama disepakati dalam bentuk konstitusi. Bernegara itu berkonstitusi.

Beragama yang toleran

Salah satu dimensi kehidupan paling vital di Indonesia ialah dimensi agama. Hal itu kiranya bisa dimaklumi karena rakyat Indonesia begitu patuh akan ajaran agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Keberagamaan dan keyakinan seperti demikian tidaklah bermasalah, selama agama dan kepercayaan yang dianut atas dasar ketukan nurani, bukan karena paksaan dan apalagi intimidasi. Sikap toleransi yang benar dan sehat mendorong semua orang untuk saling menghargai, saling mencintai dan bekerja sama. Sikap beragama yang berlapang dada, terbuka, dan damai akan melahirkan toleransi. Sebaliknya, sikap ketertutupan dalam beragama tidak akan pernah melahirkan toleransi dan justru melegitimasi radikalisme dan segala bentuk kekerasan beragama.

Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian, kasih sayang, dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan kebencian, keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Nilai ketuhanan yang diyakini dan dihayati bangsa Indonesia harus bersifat membebaskan, memuliakan keadilan, dan menjadi dasar, mengutip Bung Hatta, ke arah jalan persaudaraan.

Kasus unjuk rasa dan kekerasan hanya karena ogah menyetujui Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak perlu terjadi bila hanya karena Ahok nonmuslim. Ormas sekaliber Nahdlatul Ulama (NU) pun tak pernah memberikan fatwa keharaman seorang nonmuslim menjadi pemimpin. Islam merupakan agama toleran sejak dari penamaan. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan.Maka sikap seorang muslim atau kelompok Islam senantiasa mengedepankan pendekatan dan sikap yang damai, toleran, dan memberi rasa aman.

Padahal, semua agama dan aliran kepercayaan ada tidak lain untuk mengemban misi kedamaian dan harmoni. Termasuk Islam, ia `turun' semata-mata untuk menjadi inspirasi dan gerbong dalam menyongsong kehidupan yang toleran bagi semesta alam (lihat QS. Al-Anbiya [21]: 107). Islam yang ditampilkan dengan wajah yang ramah, santun, dan menyejukkan. Islam yang mengakomodasi semua manusia apapun agama dan identitas sosial lainnya. “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sementara me reka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka/bebas“, (Mata ista'badtum al-Nasa, wa qad waladathum ummahatuhum ahrara), begitu kutipan kalimat bernada tegas yang pernah dilontarkan Umar bin al-Khathab.

Lontaran tegas itu dijadikan rujukan Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur sebagai argumen bahwa kemerdekaan atau kebebasan merupakan salah satu ajaran utama Islam berkenaan dengan toleransi.Kebebasan juga menjadi bagian penting dari tujuan universal syariat Islam (maqashid al-Syari'ah) selain egaliter/persamaan derajat (al-Musawa), merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-'Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat kehidupan (hifdz al-Nafs) dan merawat harta (hifdz al-Mal).

Kita berharap juga kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk berkomitmen senantiasa memperkukuh jalinan toleransi bangsa, dengan menghadirkan nilai agama yang mengakomodasi tradisi dan budaya Indonesia, tidak menutup akses kepada semua penganut agama dan kepercayaan lain untuk melakukan `dakwahnya' masing-masing.

Hari toleransi dunia

Sejak 1995, PBB menetapkan 16 November ialah peringatan hari toleransi dunia. Peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana bagi seluruh bangsa untuk mengakui adanya perbedaan di setiap sudut bumi. Hari toleransi dunia merupakan sarana bagi setiap manusia untuk melakukan perenungan bahwa kehidupan dunia ini dibangun peradaban yang beragam, termasuk pengakuan keberagaman itu diakui bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika.

Hari toleransi bagi bangsa Indonesia merupakan momen yang tepat untuk mengajak seluruh elemen bangsa menyadari serta mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang, kemudian menyadari betapa ketidakadilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebencian berbasis agama, dan kekerasan berdampak sangat buruk bagi kehidupan bersama. Peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana untuk terus mengingatkan negara agar memberikan jaminan dan hak-hak warga negara yang selama ini tercerabut dari akarnya. Dengan begitu jaminan konstitusi 1945 dapat dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan hidup bangsa Indonesia dapat tercapai.

Mengukur toleransi atau intoleransi hanya berdasarkan angka malah akan menjerumuskan kita kepada kegagalan memahami perkembangan sosial. Sebab, gejala sosial yang ada saat ini ialah terjadinya penguatan konservatisme agama, kecenderungan segregasi sosial berdasarkan identitas agama, dan kemerosotan penghargaan pandangan antarindividu dan kelompok yang berbeda keyakinan.

Hingga kini, penyebab-penyebab terjadinya pelanggaran kebebasan/ berkeyakinan belum diatasi aktor negara, seperti pembiaran produk hukum yang diskriminatif, diskriminasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan menikmati impunitas dan immunitas karena tidak diadili secara fair, juga pembiaran berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap kelompok-kelompok agama atau keyakinan rentan lainnya.

Kita perlu melihat toleransi bukan dari berapa banyak jumlah rumah ibadah yang bertambah tiap tahun, bukan pula pada meriahnya pertemuan-pertemuan lintas agama. Tidak juga hanya melihat pada deklarasi-deklarasi perdamaian yang hanya disorot media, tetapi masih menyimpan sekam. Toleransi ialah `obor' yang harus terus dinyalakan, mengutip Nurcholish Madjid, “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban“ tetap terjaga dalam prilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi suatu keharusan bagi masa depan dan keselamatan bangsa Indonesia. Negara harus hadir dalam setiap persoalan bangsa. Jangan biarkan intoleransi kembali menggerus kebinekaan. []

MEDIA INDONESIA,  15 November 2014
Maman Imanulhaq  ;   Majelis Nasional ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), Anggota DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar