Menyalakan Obor Toleransi
Oleh: Maman Imanulhaq
BICARA tentang toleransi, bukan perkara prioritas melainkan
menyangkut keselamatan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Betapa
tidak, angka kekerasan dan intoleransi, merujuk pada laporan-laporan tengah
tahun (Januari-Juni 2014) yang dilakukan Setara Institute, dari 60 pelanggaran
di seluruh Indonesia, 19 di antaranya terjadi di Jawa Barat. Jumlah itu
terbilang tinggi jika dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya.
Di peringkat kedua ada Jawa Tengah dengan 10 kasus dan Jawa Timur
8 kasus. Dari 81 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan, terdapat 34 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara
negara sebagai aktor. Dari ke-34 tindakan negara tersebut, 30 tindakan
merupakan tindakan aktif, sementara 4 tindakan merupakan tindakan
pembiaran.Pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang
terjadinya kekerasan, merupakan bagian dari tindakan aktif negara.
Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang cinta damai, toleran dan
menghargai pluralitas. Bahkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi
prinsip kebangsaan yang kuat sejak masa kegemilangan silam dengan tradisi dan
kemajemukan masyarakat Nusantara hingga terbentuknya negara dan bangsa bernama
Indonesia saat ini. Sebuah konsensus bersama disepakati dalam bentuk
konstitusi. Bernegara itu berkonstitusi.
Beragama yang toleran
Salah satu dimensi kehidupan paling vital di Indonesia ialah
dimensi agama. Hal itu kiranya bisa dimaklumi karena rakyat Indonesia begitu
patuh akan ajaran agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan berbagai
aliran kepercayaan lainnya. Keberagamaan dan keyakinan seperti demikian
tidaklah bermasalah, selama agama dan kepercayaan yang dianut atas dasar
ketukan nurani, bukan karena paksaan dan apalagi intimidasi. Sikap toleransi
yang benar dan sehat mendorong semua orang untuk saling menghargai, saling
mencintai dan bekerja sama. Sikap beragama yang berlapang dada, terbuka, dan
damai akan melahirkan toleransi. Sebaliknya, sikap ketertutupan dalam beragama
tidak akan pernah melahirkan toleransi dan justru melegitimasi radikalisme dan
segala bentuk kekerasan beragama.
Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian,
kasih sayang, dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan
kebencian, keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Nilai
ketuhanan yang diyakini dan dihayati bangsa Indonesia harus bersifat
membebaskan, memuliakan keadilan, dan menjadi dasar, mengutip Bung Hatta, ke
arah jalan persaudaraan.
Kasus unjuk rasa dan kekerasan hanya karena ogah menyetujui Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak perlu terjadi bila
hanya karena Ahok nonmuslim. Ormas sekaliber Nahdlatul Ulama (NU) pun tak
pernah memberikan fatwa keharaman seorang nonmuslim menjadi pemimpin. Islam
merupakan agama toleran sejak dari penamaan. Islam berarti kepasrahan,
kedamaian, dan keselamatan.Maka sikap seorang muslim atau kelompok Islam
senantiasa mengedepankan pendekatan dan sikap yang damai, toleran, dan memberi
rasa aman.
Padahal, semua agama dan aliran kepercayaan ada tidak lain untuk
mengemban misi kedamaian dan harmoni. Termasuk Islam, ia `turun' semata-mata
untuk menjadi inspirasi dan gerbong dalam menyongsong kehidupan yang toleran
bagi semesta alam (lihat QS. Al-Anbiya [21]: 107). Islam yang ditampilkan
dengan wajah yang ramah, santun, dan menyejukkan. Islam yang mengakomodasi
semua manusia apapun agama dan identitas sosial lainnya. “Sejak kapan kalian
memperbudak manusia, sementara me reka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan
merdeka/bebas“, (Mata ista'badtum al-Nasa, wa qad waladathum ummahatuhum
ahrara), begitu kutipan kalimat bernada tegas yang pernah dilontarkan Umar bin
al-Khathab.
Lontaran tegas itu dijadikan rujukan Syekh Muhammad Thahir Ibnu
Asyur sebagai argumen bahwa kemerdekaan atau kebebasan merupakan salah satu
ajaran utama Islam berkenaan dengan toleransi.Kebebasan juga menjadi bagian
penting dari tujuan universal syariat Islam (maqashid al-Syari'ah) selain
egaliter/persamaan derajat (al-Musawa), merawat agama (hifdz al-Din), merawat
akal (hifdz al-'Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat kehidupan
(hifdz al-Nafs) dan merawat harta (hifdz al-Mal).
Kita berharap juga kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk berkomitmen
senantiasa memperkukuh jalinan toleransi bangsa, dengan menghadirkan nilai
agama yang mengakomodasi tradisi dan budaya Indonesia, tidak menutup akses
kepada semua penganut agama dan kepercayaan lain untuk melakukan `dakwahnya'
masing-masing.
Hari toleransi dunia
Sejak 1995, PBB menetapkan 16 November ialah peringatan hari
toleransi dunia. Peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana bagi seluruh
bangsa untuk mengakui adanya perbedaan di setiap sudut bumi. Hari toleransi
dunia merupakan sarana bagi setiap manusia untuk melakukan perenungan bahwa
kehidupan dunia ini dibangun peradaban yang beragam, termasuk pengakuan
keberagaman itu diakui bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Hari toleransi bagi bangsa Indonesia merupakan momen yang tepat
untuk mengajak seluruh elemen bangsa menyadari serta mengakui dan menghargai
hak dan keyakinan orang, kemudian menyadari betapa ketidakadilan, penindasan,
rasisme, diskriminasi, kebencian berbasis agama, dan kekerasan berdampak sangat
buruk bagi kehidupan bersama. Peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana
untuk terus mengingatkan negara agar memberikan jaminan dan hak-hak warga
negara yang selama ini tercerabut dari akarnya. Dengan begitu jaminan
konstitusi 1945 dapat dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan hidup
bangsa Indonesia dapat tercapai.
Mengukur toleransi atau intoleransi hanya berdasarkan angka malah
akan menjerumuskan kita kepada kegagalan memahami perkembangan sosial. Sebab,
gejala sosial yang ada saat ini ialah terjadinya penguatan konservatisme agama,
kecenderungan segregasi sosial berdasarkan identitas agama, dan kemerosotan
penghargaan pandangan antarindividu dan kelompok yang berbeda keyakinan.
Hingga kini, penyebab-penyebab terjadinya pelanggaran kebebasan/
berkeyakinan belum diatasi aktor negara, seperti pembiaran produk hukum yang
diskriminatif, diskriminasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan
menikmati impunitas dan immunitas karena tidak diadili secara fair, juga
pembiaran berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap
kelompok-kelompok agama atau keyakinan rentan lainnya.
Kita perlu melihat toleransi bukan dari berapa banyak jumlah rumah
ibadah yang bertambah tiap tahun, bukan pula pada meriahnya pertemuan-pertemuan
lintas agama. Tidak juga hanya melihat pada deklarasi-deklarasi perdamaian yang
hanya disorot media, tetapi masih menyimpan sekam. Toleransi ialah `obor' yang
harus terus dinyalakan, mengutip Nurcholish Madjid, “pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban“ tetap terjaga dalam prilaku kehidupan
berbangsa dan bernegara. Toleransi suatu keharusan bagi masa depan dan
keselamatan bangsa Indonesia. Negara harus hadir dalam setiap persoalan bangsa.
Jangan biarkan intoleransi kembali menggerus kebinekaan. []
MEDIA INDONESIA, 15 November 2014
Maman Imanulhaq ; Majelis Nasional ANBTI
(Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), Anggota DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar