Berhijrah Sebelum Terlambat
Oleh: M. Akhfas Syifa Afandi
--Bagi umat Islam, bulan Muharram telah
menyisahkan banyak memoar dalam ingatan. Berbagai peristiwa penting terjadi di
bulan ini, peristiwa-peristiwa itu tak hanya menyisahkan kesan mendalam. Lebih
dari itu, Rasulullah Saw. mewanti-wanti akan keutamaan bulan satu ini lewat
pesan-pesan profetik beliau.
Seorang diantaranya al-Imam Zainuddin ibn
'Abdul 'Aziz ibn Zainuddin al-Malibary, telah mencatat rentetan peristiwa-peristiwa
tersebut dalam bukunya Irsyad al-Ibad ila Sabil Al-Rosyad. Dengan membicarakan
bulan Muharram, maka kita tak bisa mengabaikan peristiwa lain yang teramat
penting, yakni hijrahnya Nabi Saw dari Makkah ke Madinah. Dua peristiwa ini
seperti berjalan berkelindan, jika bulan Muharram menyimpan banyak keutamaan
dan pahala yang berlipat ganda, maka hijrah Nabi Saw. telah mengajarkan nilai,
norma, dan simbol ketaatan seseorang.
Sebegitu pentingnya peristiwa hijrah, hingga
para sejarawan muslim berusaha mendeskripsikannya dengan demikian gamblang. Ada
pula yang mencari relasi antara hijrah dan bulan Muharram. Hijrah nabi (baca:
perjalanan dari Mekkah ke Madinah) memang tidak terjadi di bulan Muharram,
namun peristiwa penting ini telah menandai Muharram sebagai awal bulan dalam
kalenderial Islam. Keputusan ini tak semudah yang dibayangkan, menyisahkan
polemik dan pelbagai tanggapan. Dan yang menarik –diantranya– riwayat tentang
Umar bin Khattab ra.. Suatu ketika, dalam pertemuan tertentu, seorang staf kekalifahan
menyodorkan draf kegiatan di bulan Sya’ban, begitu menerima Umar kebingungan.
“Bulan Sya’ban dalam draf ini yang telah lewat atau yang akan datang”, pinta
Umar memohon penjelasan. Umar tak mendapatkan jawaban. Beberapa kolega yang
hadir pun kebingungan, sebab saat itu belum ada patokan tentang tahun. Umar
lekas mengambil sikap, beliau perintahkan para sahabat untuk membuat kalender
Islam. Walhasil terjadilah perundingan, perbedaan pendapat sempat terjadi:
dalam hal semenjak kapan penghitungan akan dimulai. Hal ini tak berlangsung
lama, Umar segera bertindak dan para sahabat pun sepakat, awal kalender Islam
dimulai semenjak hijrah Nabi Saw. dari Makkah ke Madinah. Sesaat sebelum
penetapan, Umar terlebih dahulu meyakinkan para sahabat, “Pemilihan hijrah nabi
sebab momen tersebut menjadi permisah atnara yang baik (hak) dan buruk
(bathil)”, demikian pesan sang khalifah kepada para sahabat.
Makna, relevansi dan kritik social
Seorang mufassir kenamaan abad ke enam
hijriyyah, Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar atau yang dikenal
dengan nama pena al-Qurtubi, menurutnya, hijrah ialah mobilitas dari satu
tempat ke tempat lain dan berusaha mewujudkan kehidupan baru di tempat yang
dituju. Sementara lawan kata Al-Hajr adalah Al-Wasl, yang berarti menyambung.
Kata Al-Hijrah tak sendirian, kata ini mempunyai padanan, diantaranya Al-Hujroh
dan Al-Muhâjaroh, ketiganya mempunyai arti yang sama, mobilitas ke negeri lain.
Sebuah penafsiran yang cukup dialogis dan
sistematis diutarakan oleh seorang cendikia, pakar yuridis Islam, dan tokoh
sufi kenamaan, Muhyiddin ibn Arobi, beliau mengatakan, dalam terminologi hijrah
yang berupa perpindahan dari tempat tertentu (Al-Dihab fi al-Ard), para ulama
mengklasifikasikan kedalam dua bagian, Haroban dan Tolaban. Khusus untuk bagian
pertama terbagi menjadi enam, sala-satunya adalah Hijrah. Oleh Ibn Arabi hijrah
disini diartikan sebagai perpindahan dari daerah konflik (Dar al-Harb) menuju
tempat aman atau kawasan Islam (Dar al-Islâm), di masa Nabi Saw. hijrah semacam
ini hukumnya wajib (fardlu) dan hingga saat ini jika dilakukan akan mendapat
predikat yang sama, yakni kewajiban hingga hari kiyamat (Mafrudotun ila yaum
al-Qiyamah).
Kata hijrah juga banyak ditemukan dalam
al-Qur’an dan Hadist, namun ada beberapa ayat yang terang memerintahkan untuk
hijrah, antara lain: Qs. An-nisa 3:100, Qs. Al-baqarah 2:218, Qs. Al-Anfal
8:74, dan Qs. At-Taubah 9:20. Sementara dalam hadis nabi Saw., diantaranya yang
membicarakan tentang keutamaan niat, hijrah diartikan dengan meninggalkan keluarga
dan tanah kelahiran menuju kota (Madinah). Yang menarik dari perintah hijrah,
nabi memerintahkannya tidak atas dasar pencarian suaka atau perlindungan
keamanan semata. Namun bersinggungan dengan masalah yang prinsipil, yakni
menjadikan hijrah sebagai proses perjalanan ketaqwaan seseorang, maka tak
mengherankan jika kemudian hijrah diartikan demikian beragam.
Hingga pada taraf ini kita akan menemukan
makna hijrah yang begitu luas. Seorang bisa saja berhijrah secara lahiriyyah,
bisa juga bathiniyyah. Keduanya memberikan pilihan, untuk konteks zaman
sekarang sepertinya tidak mungkin untuk berhijrah secara lahiriyah, maka bagian
yang kedua adalah solusinya. Hijrah bathiniyyah adalah sebuah tawaran, manakala
seorang tak mampu untuk berhijrah fisik, paling tidak mampu melakukan hijrah
dengan cara berbeda: bermunajat dan taqorub pada sang khalik. Kita pasti
berharap hijrah semacam ini dapat menjadi landasan seorang dalam mengambil
langkah, sikap, dan keputusan. Kita bisa saja mengela, untuk kali ini tentu
berbeda, karena hijrah adalah usaha untuk menggapai harapan yang lebih baik.
Keputusan apapun tentu menginginkan hal yang terbaik. Namun tak selamanya dapat
terwujud, dan hijrah adalah solusinya: keluar dari belenggu yang dihadapi.
Disinilah kita akan menemukan makna hijrah yang demikian berbeda.
Berkenaan dengan hal tersebut, penggagas
faham Tazkiyah an-Nafs, Ibnu Qoyyim al-Jauzy mendeskripsikan hijrah kedalam dua
bagian. Pertama, hijrah lahiriyyah (jisim) sebagaimana makna hijrah diatas.
Kedua, hijrah bathiniyyah (qalb), yakni berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bagian ini lebih tepat diartikan sebagai hijrah spiritual, maksudnya hijrah
selain kepada Allah untuk kembali kepada-Nya, beribadah selain kepada Allah
untuk kembali mengesakan-Nya. Takut (khouf), meminta belas kasih (roja’),
rendah diri (tawadlu), bersikap tenang (istikhanah) dan pasrah (tawakkal)
selain kepada Allah untuk kembali kepada-Nya.
Ibu Qoyyim menegaskan, dengan hijrah
bathiniyyah seorang berarti telah menggapai dua deminsi berbeda. Pertama,
hijrah kepada Allah dengan menanamkan kasih sayang (mahabbah), senantiasa
beribadah (ubudiyyah), dan menerima keadaan (tawakkal). Kedua, hijrah
kepada Rssulullah Saw. baik dalam meneladani tingkah laku atau ketenangan fisik
(dohir) dan batin yang keduanya tetap sesuai dengan aturan syariat, dan menjadi
tahapan dalam menggapai ridlo dan maqom tertinggi disisi-Nya.
Merenungi ungkapan Ibnu Qoyyim, kita telah
menemukan makna hijrah yang demikian luas: hijrah tidak sebatas perpindahan
dari satu wilayah ke wilayah lain atau mobilitas dari satu masa ke masa lain.
Namun, hijrah diartikan pula sebagai perjalan spiritual hamba dengan Tuhannya.
Maka tak berlebihan ketika seorang telah berhijrah, berarti ia mendapat
predikat insan terbaik, karena hijrah adalah sikap, dorongan dan perjalanan
ruhani dari semula kurang baik ke arah tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam
penafsiran selanjutnya, kita akan menemukan perlunya mengaplikasikan hijrah
dalam keseharian. Dalam kondisi tertentu kita tak selamanya berada dalam
keberuntungan: kegalauan hidup, problem yang di hadapi dan masalah-masalah
lainnya senantiasa menghadang. Disinilah hijrah diperlukan, keluar dari
belenggu yang terus mengekang. Karena hijrah adalah solusi, maka kapan pun akan
selalu menjadi prioritas.
Menyelami makna hijrah, kita tak bisa
mengabaikan penafsiran ulama tasawuf, mereka mempunyai penafsiran yang jauh
lebih dalam. Menurutnya, hijrah terbagi kedalam dua kelompok, hijrah sughro dan
kubro. Hijrah sughro secara definitif hampir sama dengan pengertian hijrah
diatas dan mungkin dilakukan oleh banyak khalayak. Sedangkan hijrah kubro ialah
perjalanan menembus batas (hijrotun nafs) dengan mengendalikan hawa nafsu dan
menolaknya untuk kembali continu kepada sang pencipta jagat raya, Allah Swt. Taraf
ini, tidak akan mampu di gapai kecuali oleh orang yang mempunyai kehendak
yang luhur (Himam as-Saniyyah) dan maksud yang luhur pula (Maqosid al-Ulya).
Selain itu, dalam hijrah terdapat ihwal lain yang teramat penting, yakni adzan
yang menurut pelaku sejarah, nabi Saw. baru melegalkan setelah hijrah beliau
dari Makkah ke Madinah.
Seiring berjalannya waktu, belakangan mulai
muncul pertanyaan yang mempertaruhkan relevansi hijrah. Sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Muawiyyah ra. paling tidak telah memberikan jawaban. Nabi
Saw. bersabda, "Hijrah tidak akan terhenti (terputus) sampai terputusnya
pintu taubat, dan pintu taubat tidak akan terhenti (tertutup) sampai keluarnya
matahari dari ufuk barat (kiamat)". Hadist ini berbicara sampai kapan
hijrah dapat dilakukan. Meskipun para ahli tafsir (mufassirin) mengartikan
hijrah dalam hadist tersebut sebagai hijrahnya seorang muslim yang menetap di
Negara non-muslim dan tidak dimungkinkan untuk mengikuti aturan-aturan dinegara
tersebut. Hadist ini diakui berbicara dalam konteks bebeda, hal ini paling
tidak menjadi legitimasi bahwa hijrah tetap relevan sampai kapanpun. Hanya yang
dibutuhkan kini, bagaimana mengaplikasikan hijrah untuk kontek saat ini. Adalah
hijrah sebagai sebuah solusi, hijrah yang adaptif dengan berbagai persoalan
yang terjadi. Baik persoalan pribadi, bangsa atau umat beragama. Disinilah
hijrah yang diharapkan, hijrah yang dapat menyelesaikan persoalan umat dan
bangsa.
Kita patut bersyukur, penduduk bangsa ini
bisa hidup rukun berdampingan. Namun kita juga patut mengelus dada, bangsa ini
masih terlampau jauh untuk dikatakan subur-makmur. Sekedar mapan hidup pun
sepertinya cukup sulit. Tapi siapa sangka ditengah palilit hidup, kita masih
dikenal sebagai masyarakat yang hedonis, konsumerisme, dan yang tak ketinggalan
prilaku para pemimpin bangsa yang sekenaknya ngemplang duit rakyat. Dalam
kondisi seperti ini, kita masih disuguhkan berbagai sentimen umat beragama yang
terus terjadi. Kita menyadari, sebagai umat beragama kita diatur oleh pranata
atau aturan-aturan. Namun sepertinya selama ini agama hanya diingat disaat
tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Kita telah kenyang, seringkali
suguhan menarik tersaji, bayangan ‘kesalehan’ umat ada dimana-mana. Dengan
penampilan khas berjenggot, berjubah, dan mondar-mandir membawa tasbih. Namun,
pekertinya tidak sesaleh penampilanya. Pada bagian ini, relevansi hijrah
kembali dipertaruhkan.
Disinilah perlunya kembali memaknai hijrah
sebagai sebuah reposisi, di saat elan-elan penting dalam kehidupan terabaikan,
hijrah semestinya menjadi pilihan. Persoalan yang dihadapi bangsa ini ataupun menjamurnya
bayangan kesalehan umat, sejatinya telah menampilkan jati diri siapa sebenarnya
bangsa kita. Ada banyak cara untuk keluar dari trem semacam ini, hijrah hanya
salah-satunya. Untuk itu segeralah berhijrah sebelum anda terlambat! []
M. Achfas Syifa Afandi, santri Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri, penikmat kitab kuning, sejarah dan sastra-sastra
populis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar